Suara Liani terdengar
menggelegar ke seluruh ruangan. Bahkan ke seluruh rumah mulai dari halaman
depan sampai ke belakang. Mungkin juga suaranya terdengar sampai ke tetangga.
Melihat rumahnya tipe 21 alias rumah RSSS a.k.a Rumah Sangat Sederhana Sekali.
Liani geram. Maskara
murah di meja rias tak sengaja disenggolnya dan tumpah. Dia semakin kesal,
kakinya melangkah ke seluruh ruangan mencari keberadaan ayahnya.
“Ayah........!!!
Ayah.........!!!” teriaknya semakin keras.
Tiba-tiba ayahnya
keluar dari kamar mandi. Pak Rusman, sibuk memegangi perutnya. Dari raut
mukanya, kelihatan sangat lega.
“Ada apa Sayang?”
jawabnya ketika Liani menemukannya. Tepat setelah ayahnya keluar. Di depan pintu
kamar mandi.
“Bilang sama Liani,
uangnya kemana?” tanya Liani kesal. Ayahnya cuma balas nyengir kuda.
“Dipakai mediasi* buat
klien,” jawab ayahnya singkat.
“Ayah......!!!!” teriak
Liani lagi. Pak Rusman menutup telinga.
“Iya, Ayah tahu. Nanti
Ayah ganti.”
“Ayah nggak mungkin
bisa ganti itu. Sudah berapa duit yang ayah ambil dari Liani, nggak ada yang
pernah dikembalikan! Padahal uang itu kan buat beli tas gucci,” ujar Liani
kesal.
“Seberapa penting sih
tas gucci itu? Ini persoalan kasus nenek tua yang sudah bau tanah mencuri buah
pear di rumah tetangganya untuk cucunya umur lima tahun. Masa kamu tega si
nenek dipenjara?” ungkap Pak Rusman.
Liani terdiam beberapa
saat. Ayahnya mengira dia telah sadar dan berpikir. Ternyata diluar dugaan dia
mengeluarkan bantahan keras.
“Ayah juga terlibat
kasus pencurian. Berdasarkan pasal 362 KUHP: Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian
kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum,
diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau
denda paling banyak sembilan ratus rupiah,” ujar Liani menunggingkan senyum
kemenangan.
“Anak kemarin sore mau
melawan Ayah rupanya,” Pak Rusman berkata sambil tersenyum.
“Ayah harus berani
melawan anak kemarin sore kayak aku!” ujar Liani masih dengan senyum anehnya.
“Oke ayah balas. Jangan
lupa dengan norma hukum Das Sollen*
dapat menjadi Das Sein**, hukum yang
semula merupakan harga mati dapat menjadi hidup. Semua tergantung keadaan si
tersangka dan kebijakan aparatur negara yang menangani perkara pidana. Lagipula
kamu dalam posisi keluarga dekat, dapat digunakan metode Alternatif Dispute
Resolution yaitu penyelesaian
kesepakatan untuk mufakat. Tidak perlu repot-repot ke pengadilan. Lagian mana
mungkin putriku mau aku dipenjara,” balas Pak Rusman membuat Liani mati kutu.
Pak Rusman membelai kepala Liani dengan sayangnya.
“Sabar yah! Lagian kamu harus mengalah dalam perdebatan kali ini,
soalnya ayah mau berangkat ke kantor. Ini sudah pukul 09.00, bukannya hari ini kamu
akan mengambil sumpah advokat di pengadilan tinggi?” tanya ayahnya balik. Liani
tampaknya sangat terkejut. Dia berlari tergesa-gesa menuju ke kamarnya. Dia
tidak menyadari ayahnya telah pergi.
“Ayah! Jasku yang ayah setrika kemarin kemana?” tanya Liani berteriak
sendiri mengobrak-ngabrik lemari pakaiannya.
|
* Das
Sollen: istilah hukum yang menyatakan bahwa hukum itu pasif dan bersifat
teori.
**Das
Sein: istilah hukum yang menyatakan bahwa hukum tergantung pada keadaan dan
tidak pasif, melainkan aktif. Serta tidak teori melainkan praktek
|
Pintu kamar terbuka. Rupanya Adam Risky, partner sekaligus murid
ayahnya masuk. Dia dan Liani adalah teman sedari ingusan.
“Ayahmu sudah pergi. Ini jasnya!” kata Adam menyerahkan jas itu kepada
Liani.
“Makasih ya Dam, aku mau ganti baju. Bisa tolong menghadap ke
belakang?” Adam menghadap ke belakang sambil tersipu malu.
“Owh ya Dam, nanti aku nebeng kamu ya! Soalnya ayahku pasti pakai
motorku ke kantor!” kata Liani sambil masih asyik ganti baju. Adam mengangguk saja.
Karena tidak saling berhadapan Liani tidak melihat anggukan itu.
“Mau nggak Dam?” ulangnya.
“Iya.......... Lia!” Adam menyetujui setengah berteriak. Lia tersenyum.
“Thanks ya Dam!”
_____________
Kantor
Pengadilan Tinggi Surabaya.
Liani sudah siap dengan
jas hitam dan map kuning motif batik yang berisi sumpah advokat. Raut wajahnya
sangat tegang, karena perjuangannya selama tiga tahun ini, dari ujian advokat
sampai magang dua tahun di kantor ayahnya. Meskipun magang di kantor ayahnya,
tidak lantas memudahkan Liani. Ayahnya tidak pernah memberikan korting
pekerjaan padanya. Terkadang Liani malah bekerja di luar batas. Dia pernah
tidak tidur selama dua hari dua malam untuk mencari bukti kasus pencurian
sandal polisi. Kadang dia merasa ayahnya adalah orang di luar batas kewajaran.
Memikirkan semua hal itu membuat dirinya semakin dongkol saja.
“Liani!” panggil
seseorang membuyarkan lamunan panjang tentang perjuangannya. Ternyata Adam yang
memanggilnya.
“Semoga sukses ya!!!”
ujarnya sambil melempar snack coklat ke arah Liani.
“Nggak heran kalau aku
nggak bisa diet. Kamu selalu ngasihin aku cemilan!” ujar Liani ke Adam. Adam
tersenyum.
Adam adalah seorang
pria umur 27 tahun yang sudah ikut ayahnya sedari kecil. Adam sebenarnya
tampan. Wajahnya agak cina, matanya yang sipit dilapisi kacamata menandakan ia
seorang yang pandai. Dan ternyata memang begitu. Namun Adam bukanlah tipe cowok
playboy, malah cenderung kaku dengan orang yang belum dikenalnya. Tidak heran
di usia yang matang, dia belum juga memiliki pacar.
Adam telah berlalu,
meninggalkan Liani dengan senyuman khasnya. Liani melangkah masuk ke dalam
pengadilan tinggi, sambil menyapu pandangannya ke sekeliling. Rata-rata setiap
orang datang bersama anggota keluarganya. Ada sedikit terbesit rasa iri di
hatinya. Namun ditepisnya jauh-jauh. Fokus Liani!
Akhirnya Liani sibuk
membetulkan dandanannya sambil duduk di sebuah kursi. Ia juga sibuk membetulkan
roknya yang lumayan pendek, sampai tiba-tiba seseorang datang dan menyapanya.
“Loh, Nak Liani kan?”
suara itu terdengar familiar di telinga Liani. Liani mendongakkan kepalanya.
Terkejut melihat sosok yang dikaguminya sejak kuliah dulu. Beliau adalah Prof.
Dr. Suryoto, SH, MH.
“Wah iya, Prof. Suryo,”
Jawab Liani mengkonfirmasi. Prof. Suryo tersenyum.
“Akan disumpah juga
hari ini?” tanya Prof. Suryo lagi.
“Iya Pak!” jawab Liani
tersipu malu.
“Wah, Bapak ucapkan
selamat! Bapak akan menjadi saksi bakat-bakat baru dalam bidang hukum, oh iya,
bagaimana kabar ayahmu?” tanya beliau. Memang ayah Liani dan Prof. Suryoto pernah
bekerja di pengadilan tinggi. Ayah Liani dulunya seorang jaksa. Namun tidak
tahu apa sebabnya beliau mengundurkan diri.
“Iya, ayah baik-baik
saja!” kata Liani tersenyum, begitu pun Prof. Suryoto. Beliau segera mohon diri
dan masuk ke dalam ruang pengadilan.
Liani sedikit deg-degan
karena Prof. Suryoto akan menjadi salah satu saksi sumpahnya. Ia sendiri sudah
sangat akrab dengan beliau sejak masih kuliah. Dia pernah satu tahun menjadi
asisten Prof Suryoto. Belakangan ada kabar terdengar, beliau berhenti jadi
dosen dan sekarang telah menjadi hakim di pengadilan tinggi Surabaya.
Dia bergegas ingin
masuk ke dalam ruang pengadilan, tidak sadar melihat orang yang berbisik-bisik
di belakangnya. Lama-kelamaan ia merasa ada yang tidak beres dengan dirinya.
Sehingga ia menengok kebelakang, meraba roknya, dan mendapati sesuatu tertempel
di rok pendeknya itu. ternyata itu adalah secarik kertas yang tertulis.
JANGAN PAKAI ROK
TERLALU PENDEK, YANG BAHKAN MEMPERLIHATKAN APA YANG ADA DALAM ISI ROK. CAMKAN
ITU PUTRIKU!!!
AYAH.
Setelah membaca tulisan itu, Liani sangat geram bukan
kepalang. Rasa-rasanya ingin sekali ia berteriak sekeras-kerasnya memanggil
ayahnya. Namun ia tidak bisa karena acara pengambilan sumpah advokat akan
segera dimulai. Hanya senyuman getir yang diberikannya terhadap orang di
sekitar yang telah melihat kertas itu sedari tadi.
______________
“Apa itu tidak
keterlaluan Bos?” tanya Adam kepada ayah Lani.
“Biar saja Dam, biar
anak itu kapok pakai rok pendek. Sekarang sedang marak kasus pelecehan seksual,”
Pak Rusman beralasan. Adam hanya mengangguk.
“Kamu akan mengerti
setelah memiliki anak. Apalagi anak perempuan, sangat sulit menjaganya. Liani
memang tidak cantik, tapi dia pandai bergaul dan baik,” lanjut Pak Rusman lagi.
“Owh ya Dam, tolong
periksa berkas kasus Haryono untukku. Ada kasus sama yang aku tangani sekarang.
Terus jangan lupa atur pertemuan dengan Nenek Badriah!” Perintah Pak Rusman
pada Adam.
“Segera saya laksanakan
Pak!” ujar Adam segera mengerjakan pekerjaannya.
Pak Rusman sibuk
membersihkan mejanya. Tanpa sengaja dia melihat bingkai foto di salah satu sisi
meja kerjanya. Tampak disana Pak Rusman muda berfoto bersama seorang pria
seusianya.
“Dam!” panggilan
ditujukan ke Adam.
“Ada apa Pak?”
“Coba kesini sebentar!”
Adam berjalan menuju
Pak Rusman. Pak Rusman menunjukkan bingkai foto yang ada di tangannya. Adam
melihat benda itu. raut mukanya kelihatan kurang baik.
“Ini semua salah bapak.
Seharusnya bapak yang ada di pesawat itu, bukan ayahmu!” tampak penyesalan
mendalam di mata orang tua ini. Adam tidak berkata apa-apa. Dia menatap foto
yang ditunjukkan ayah Liani padanya. Di dalam foto itu ayah Liani dan ayahnya
tersenyum sangat sumringah. Sejenak ia kembali ke kenangan masa kecilnya.
Ketika ayahnya masih hidup. Waktu itu ia masih umur 10 tahun, tak ada seorang
pun yang mengulurkan tangan untuk menolong ayahnya yang sedang kesulitan
keuangan. Hanya ayah Liani yang menolong mereka.
Saat itu, Adam masih
terlalu kecil untuk mengetahui segala kebenaran itu. Kebenaran dibalik kematian
ayahnya yang mendadak di pesawat yang akan dinaiki oleh ayah Liani. Yah, saat
itu, ayah Liani dan ayahnya adalah anggota relawan suatu organisasi independen
yang bergerak di bidang pengawasan korupsi. Kematian mendadak ini, semuanya
dapat ia yakini 100% adalah kamuflase pembesar-pembesar yang licik.
“Nggak apa-apa Bos! Aku
yakin semua ini bukan salah Bos! Aku kerja dulu Bos! Oh iya, aku juga harus
pergi ke pengadilan untuk mendengar amar sidang kasus Nona Septiana,” ujar Adam
mengalihkan pembicaraan. Dia segera pergi meninggalkan kantor.
_____________
“......6. bahwa saya tidak akan menolak untuk
melakukan pembelaan atau memberi jasa hukum di dalam suatu perkara yang menurut
hemat saya merupakan bagian daripada tanggung jawab profesi saya sebagai
seorang Advokat.”
Bait keenam dari sumpah
advokat baru dikumandangkan. Di ruang sidang pengadilan negeri Surabaya, ada 20
orang advokat muda yang diambil sumpahnya hari ini. Salah satunya adalah Liani.
Akhirnya selesai sudah perjalanan prosedur menjadi advokat yang sangat melelahkan
dirinya. Untuk selanjutnya pikirannya menuju ke satu hal yaitu BELANJA.
Liani keluar dari
pengadilan tinggi dengan gembira. Pelan saja, namun ia bersenandung. Dirinya
tidak sabar segera menuju salah satu pusat perbelanjaan di Surabaya. Namun tak
ayal, dia segera memukul kepalanya sendiri.
“Uangku kan dipakai
Ayah! Aku lupa lagi!” dia mulai berbicara sendiri. Diurungkannya niat untuk
pergi ke pusat perbelanjaan. Dia akan segera pergi ke firma hukum ayahnya.
“Kemana Mbak?” tanya
seorang supir metromini yang berhenti di depannya. Liani cukup terkejut.
“Ke Pasar Besar
Pak....!” jawab Liani singkat. Metromini terus melaju ke tempat tujuan.
_____________
“Ayah harus kembaliin
uang aku pokoknya! Itu uang hasil nulis aku Yah!” Liani menuntut uangnya kembali.
Pak Rusman sibuk dengan berkas-berkasnya. Dia tidak menanggapi serius putrinya
yang tampak sangat geram.
“Iya, nanti ayah ganti.
Ayah nggak ingkar janji kok kali ini!” kata Pak Rusman berhenti sejenak bekerja
lalu memandang putrinya. Liani semakin kesal saja.
“Ayah, 3 juta bukan
uang kecil. Mau sampai kapan kita miskin begini? Ayah sangat kompeten sebagai
seorang pengacara, kenapa kita mesti hidup begini?” Liani berkata dengan terus
memegangi kepalanya, pusing dan muak dengan kehidupan ayahnya sebagai pengacara
pro-bono. Ayahnya segera mendongakkan kepalanya. Lalu tersenyum sambil
memegangi kedua bahu Liani pelan.
“Iya, nanti ayah ganti.
Tapi jangan nangis dong!” ujar Pak Rusman menenangkan Liani.
“Siapa yang nangis?”
“Nah, itu air mata!”
Liani mendongak ke
atas, memandangi langit-langit kantor. Dia pun segera membuka gorden jendela
dekat dengan tempat duduk ayahnya, ternyata di luar turun hujan. Ia akhirnya
mengerti asal dari ‘air mata’ tadi ternyata dari atas genteng.
“Wah, bocor lagi ini!
Tolong ambil ember di dapur terus bantu ayah beresin kertas-kertas ini!”
perintah Pak Rusman pada putrinya sambil menarik napas panjang.
“Ayah!!!!!!” Liani
berteriak. Pak Rusman terlonjak kaget. Namun Liani tidak peduli. Ia tak dapat
lagi menahan emosinya yang sudah mencapai ubun-ubun. Segera ditinggalkannya
kantor. Ia mendengar ayahnya mengomelinya dari belakang.
“Advokat baru disumpah
kok malas kerja, gara-gara tas. Lupa isi sumpah advokat bait keenam ya Nduk.
Pantas Indonesia ini nggak bisa maju. Barusan disumpah kok lupa!!!!!”
Liani terus berjalan
keluar, tak peduli hujan deras mengguyurnya. Ini memang bukan tipenya untuk
berdiri di tengah hujan seperti ini. Namun dia terus berjalan, pergi ke halte
bus yang tak jauh dari situ. Sepanjang jalan ia menangis. Ia menangis bukan
karena tidak jadi membeli tas gucci, bahkan sebodo amat dengan tas itu.
Ia hanya muak dengan
hidup ayahnya. Ia capek hidup seperti ini. Rumah kecil, kantor kecil, genteng
bocor, semua itu membuatnya capek. Dia ingat sering diejek temannya karena selalu
memakai pakaian bekas atau loakan. Ia muak dengan ayahnya. Muak dengan
kebodohannya memilih menjadi pengacara pro-bono*. Muak dengan kemiskinan yang
terus-menerus ada di keluarga kecilnya.
Ia lebih bersyukur jika
ayahnya mengambil uang itu untuk memperbaiki kantor atau membeli barang-barang
pribadi kebutuhannya sendiri. Ayahnya bahkan tidak pernah membeli baju lebaran
selama 3 tahun terakhir. Kemeja yang dipakainya ke kantor sangat lusuh, kemeja
yang baru dibelikan Liani bahkan diberikan pada klien. Liani sampai heran
mengapa ada orang yang sebaik ayahnya.
Yang paling menyedihkan
adalah kejadian tadi. Pak Rusman bahkan tidak mengejarnya keluar karena takut
Liani akan melihat sepatunya yang sudah aus. Liani bahkan tidak ingat kapan
ayahnya mengganti sepatunya. Itu yang membuatnya semakin marah, bahwa betapa
banyak kekurangannya sebagai anak. Ayahnya adalah orang yang sangat baik,
jujur, dan dermawan. Mengapa ia selalu marah?
Jawabannya adalah dia
terlalu capek. Dulu ayahnya selalu menyekolahkannya di sekolah elit di kota
Surabaya. Liani bukannya bangga, tapi merasa malu. Semua anak datang dengan
mobil, punya mainan, dan baju bermerek. Sedangkan dia hidup dengan
barang-barang bekas, berhemat dengan naik bus bersama Adam. Dia dikucilkan,
dianggap sederajat dengan anak pembantu.
|
*Pro-bono:
istilah untuk pengacara yang tidak mengutamakan profit atau kuntungan.
|
Hujan semakin deras
saja. Ia masih tergugu berusaha menahan isak tangis. Orang-orang di
sekelilingnya memandangnya heran. Perlahan isak tangisnya mulai reda. Hingga
bus jurusan Krian telah datang, Liani menaiki bus itu, masih dengan terhuyung,
dia menghempaskan dirinya ke salah satu bangku. Ia hanya dapat melihat keluar
jendela bus, masih ada titik-titik hujan yang mengalir. Seiring dengan derasnya
air mata yang tak mau berhenti mengalir.
__________________
Rumah adalah yang
terbaik. Liani berlari masuk. Ia telah basah kuyup. Rumah tampak sepi tak
berpenghuni. Dia merogoh sakunya, mencari-cari keberadaan kunci rumah. Setelah
mendapatkan kunci, ia terburu-buru masuk ke dalam rumah.
Tempat yang pertama
ditujunya adalah kamarnya. Satu kesan yang dapat diucapkan, kamar itu sangat
berantakan. Biasanya hanya ayahnya yang selalu membereskan. Dia pun segera
keluar kamar menuju kamar mandi. Sekaligus mengganti bajunya yang basah kuyup.
Selesai mandi, ia ingin
membaca majalah fashion yang baru dibelinya minggu lalu. Namun ia tidak dapat
menemukannya dimana-mana. Tidak heran memang, melihat keadaan kamarnya yang
‘awut-awutan’. Yang bersih hanya lemari tempat koleksi tas dan sepatunya. Ia
sendiri tidak mengerti mengapa ia begitu terobsesi dengan tas dan sepatu
bermerek. Padahal ia jarang memakainya. Kebiasaannya yang gila belanja ini,
tidak tahu sejak kapan munculnya. Bisa dibilang dia juga seorang shopaholic.
Bosan mencari majalah
yang belum ketemu, dia menyalakan TV. Tampak OC Kaligis di televisi, sepertinya
menangani kasus perceraian artis. Terpikir olehnya, kapan ayahnya bisa seperti
itu.muncul di televisi dan mendapat bayaran yang besar dari kliennya.
Hampir setengah jam
mencari majalah, akhirnya ia temukan juga. Ternyata majalah itu ada di kamar
ayahnya, tepatnya diatas meja kerja. Liani baru ingat, kemarin sore ia disuruh
mencari berkas Nenek Badriah. Ia membawa majalah itu bersamanya, karena ketika
dipanggil ia sibuk membaca. Ditariknya majalah fashion itu sambil tersenyum
sumringah. Namun ada satu buku dari meja kerja ayahnya terjatuh. Liani segera mengambil
buku itu. Buku itu mirip jurnal harian. Mungkin diari ayahnya. Rasa isengnya
segera menjalar. Dia membuka jurnal tersebut. ternyata ada foto lama ayahnya
bersama seorang wanita yang tak dikenalnya.
“Siapa ini ya?”
gumamnya sendiri pelan. Dia ingin membalik foto tersebut. Mungkin ada petunjuk
yang tertulis dibelakang foto.
“Assalamu’alaikum!”
seseoran tampaknya ada diluar. Matanya beralih ke foto itu, lalu dia
menyimpannya kembali.
“Sebentar!” teriaknya
dari dalam. Ia pun segera keluar dari kamar lalu membuka pintu depan.
“Cari siapa ya?” Liani
bertanya.
“Bapak ada?” ujar
lelaki yang ditaksirnya berumur 30 tahunan, dengan jas lengkap. Diluar juga ada
sebuah mobil. Tampaknya orang kaya.
“Klien ya? Ayah lagi di
kantor, langsung saja kesana!” ujar Liani.
“Bukan, kami dari
kepolisian! Anda siapa?” bantah lelaki itu.
“Owh, saya Liani,
putrinya Pak Rusman, ada apa ini ya?” Liani merasa Pak polisi ini tidak masuk
di akal.
“Saya Ikhwan. Inspektur
Ikhwan Nur Wahid. Ayah Anda terpidana kasus konspirasi pembunuhan di tahun 2001!”
Inspektur itu menjelaskan semuanya.
“Tapi........ Ayah tidak
mungkin....,” ucapan Liani terputus. Ia sangat terkejut dengan penuturan
Inspektur Ikhwan.
“Baiklah, kami akan
langsung ke kantor Beliau. Ini surat perintah kami. Mohon izinkan anak buah
saya untuk memeriksa seluruh rumah ini!” Inspektur Ikhwan tegas. Para polisi
berbondong-bondong masuk ke dalam rumah Liani. Liani masih tidak percaya apa
yang terjadi. Ia terpuruk bersandar di dinding. Diambilnya handphone yang ada
di dalam sakunya.
Tut....tut..... suara
nada sambungan telepon. Liani cemas. Ayahnya belum juga menjawab.
“Halo.......,” suara
diseberang jelas bukan suara ayah Liani. Suaranya jelas Adam.
“Ayah mana Dam?” tanya
Liani cemas.
“A......nu......
entar........ ya........ masih ...... entar aku hubungin lagi,” Adam menutup
telepon.
“Tunggu Dam.....!”
Liani sudah kehilangan kesempatan untuk bicara. Ia bergegas memakai sepatunya
dan pergi ke firma hukum ayahnya. Hatinya berdegup keras masih tak percaya.
Sepanjang perjalanan, pikirannya diliputi dengan memori-memori bersama ayahnya.
__________________
Firma hukum ayah Liani,
pukul 14.00.
Liani sangat terkejut
melihat ayahnya sudah berada di dalam mobil polisi. Diketuk-ketuknya kaca mobil
polisi. Seorang petugas membuka kaca jendela mobil.
“Ayah........!
Ayah.......!” Liani memanggil ayahnya. Tatapan matanya sayu, seakan ingin
berkata sesuatu. Beliau menatap Liani dalam. Ayahnya hanya mengangguk saja
tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Mobil polisi segera melaju. Meninggalkan
Liani yang masih terpuruk. Isak tangisnya mulai terdengar. Adam menghampirinya.
“Sabar Lia, nanti kita
cari jalan keluar yang tepat untuk menghadapi semua ini,” ujar Adam berusaha
menenangkan Liani.
“Tapi ayah...... tidak
mungkin kan Dam?” tanya Liani diselingi isak tangis yang dalam.
“Tentu saja Pak Rusman
bukan orang seperti itu, kamu harus percaya,” Adam mengguncang bahu Liani.
Dan disinilah mereka,
di ruangan ayah Liani. Liani, Adam dan 4 karyawan lainnya. Mereka mulai
membahas masalah yang terjadi. Adam memberi
Liani artikel 12 tahun yang lalu. Kasus konspirasi meninggalnya seorang
relawan yang sangat heboh di tahun itu. bahkan hingga sekarang kejadian itu
masih janggal karena belum terselesaikan sampai hari ini.
Relawan itu bernama Adi
Setiawan. Orang ini sangat terkenal di tahun itu. dia adalah pelopor yang
menentang orde baru dan sangat penuh percaya diri mengungkapkan kasus-kasus
yang terjadi di tahun 1998. Ketika berangkat ke Belanda untuk konferensi disana,
tiba-tiba saja sang relawan tewas di dalam pesawat. Berdasarkan hasil autopsi
ditemukan sianida di perutnya. Kala itu hakim memutuskan bahwa yang bersalah
adalah pilot dan seorang pramugari.
“Ini jelas kebohongan
publik,” ujar Adam. Liani masih merenung. Dibacanya artikel itu dengan seksama.
“Kita tidak cukup
bukti, kita harus mendapatkan bukti yang lebih kuat,” Liani terdengar putus
asa.
“Ayo kita berbagi
tugas,” Adam memberi perintah. “Kau dan aku akan memeriksa daftar orang-orang
yang naik pesawat pada hari dan tanggal dimana sang relawan meninggal. Erin
tolong ke rumah Bapak untuk mengawasi polisi disana. Mila dan Doni, tolong cari
informasi dari polisi. Sedangkan Dedy, tolong tinggal di kantor untuk mengawasi
polisi disini!” kata Adam tegas. 4 orang karyawan tadi yang diperintah Adam
langsung bergegas. Seperti yang diduga Liani, Adam selalu dapat diandalkan.
“Terima kasih Dam,”
Liani terdengar lesu. Adam tersenyum.
“Apapun yang terjadi
nanti, aku mohon kamu bisa tegar. Ada satu hal yang belum aku bisa beritahu
sekarang!” ungkap Adam. Ia menatap Liani tajam.
“Apa itu?” tanya Liani
lagi.
“Belum saatnya. Nanti
kalau tiba saatnya aku pasti akan beritahu semuanya. Apapun itu aku berharap,
kamu tetap mempercayai ayahmu sampai akhir.” Adam tampak sangat serius.
_________________________
Liani mulai memeriksa
daftar seluruh penumpang pesawat yang sangat susah payah didapatkannya. Dia dan
Adam benar-benar sangat serius. Seorang staf yang bernama Doni, tergopoh-gopoh
datang.
“Gawat Mbak,
Mas......,” katanya panik. Wajahnya pucat pasi.
“Ada apa Don?” tanya
Liani.
“Ba....pak.....
Mbak..... tidak mau menerima pembelaan apa-apa!” Doni berkata masih dengan
wajah pucat pasinya. Liani terkesima. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan
ayahnya. Ia mendesah sendiri kesal dengan sikap ayahnya yang selalu
mengorbankan dirinya dalam hal ini.
Adam masih memeriksa
daftar penumpang dengan seksama. Ia mendapati satu nama yang sangat familiar
bagi Liani.
“Ya, coba lihat ini!”
Adam menunjukkan satu nama yang tidak asing. “Ini kan Prof. Suryoto!”
“Coba aku lihat dulu!”
Liani merebut kertas dari Adam. “Aku akan menanyakan langsung ke Prof tentang
hal ini!” lanjutnya lagi.
Liani setengah berlari
menuju ke rumah Prof. Suryoto. Ia segera memanggil taksi. Sepanjang perjalanan,
ia berusaha untuk tenang. Taksi telah mendarat mulus di kediaman Prof. Suryoto.
Liani sendiri lumayan lama menjadi asisten beliau sehingga tahu betul jadwal
Prof. Suryoto. Para pembantu beliau juga mengenal Liani dengan baik. Liani
memencet bel yang ada di gerbang. Sesosok yang merupakan pembantu di rumah itu
datang dan menyambut Liani.
“Mbak, aduh.... sudah
lama tidak kemari. Ayo masuk Mbak!” si pembantu mempersilahkan masuk.
“Bapak ada... mau
berangkat kebetulan tadi istirahat. Sekarang mau ke pengadilan,” ujar si
pembantu. Tak berapa lama Prof. Suryoto muncul. Liani segera memberi salam.
“Prof.....!” Liani
menunduk seperti biasa memberi hormat kepada mantan dosennya itu.
“Saya dengar ayahmu
ditangkap polisi. Poor kid....!” nada suara itu tidak biasanya dikeluarkan
Prof. Suryoto. Nada suara itu terdengar menyindir. Sepersekian detik Liani
menyadari sesuatu yang janggal.
“Maaf Prof......,” kata
Liani terdengar setengah heran. Ekspresi Prof. Suryoto juga berganti 180
derajat dari biasanya. Beliau tersenyum aneh, seperti mencibir perilaku Liani.
“Coba kesini Nak!”
perintah Prof. Suryoto kepada Liani untuk mendekatinya. Prof. Suryoto
merapatkan mulutnya ke telinga Liani sambil berbisik, “Ayahmu itu terlalu baik
sekaligus terlalu bodoh, jangan mengikuti dia!”
Liani sangat terkejut
dengan kata-kata Prof. Suryoto. Beliau sendiri langsung undur diri dengan
senyum khasnya. Yah, senyuman yang selama ini belum pernah Liani lihat. Ia
merasa sangat rendah. Tidak pernah sekali pun ia berpikir mengapa ayahnya
mengundurkan diri sebagai jaksa dan memilih menjadi pengacara probono. Air
matanya mulai menetes lagi. Seiring dengan rasa bersalah pada ayahnya yang
menghantui.
Ia harus kuat untuk
bertemu dengan ayahnya hari ini. Ia ingin medengar sendiri dari ayahnya apa
yang sebenarnya yang terjadi. Benar-benar ia tidak ingin menjadi bulan-bulanan
dan dibodoh-bodohi oleh orang-orang ini. Ia sudah muak dengan semua ini.
Sesampainya di lapas
siang itu, ia mendapati Adam masih belum masuk ke dalam. Ia masih mematung di
depan lapas sambil menatap gerbang lapas. Liani segera menghampiri Adam.
“Kok tidak masuk Dam?”
tanya Liani penasaran. Adam hanya tertunduk lesu.
“Aku bukannya tidak mau
masuk. Tapi petugas menitipkan ini untuk kita. Ini surat dari ayahmu. Aku sudah
selesai membacanya. Sekarang giliran kamu!” kata Adam sambil menyerahkan surat
itu. pelan saja Liani membuka surat berwarna putih itu. hatinya bergetar.
Liani dan Adam sayang,
Sekali lagi ayahmu ini
minta maaf atas kekacauan yang telah ayah perbuat. Tolong kalian jangan terlalu
khawatir. Apapun yang terjadi nanti, jangan coba-coba untuk memanggil siapapun
untuk menolong ayah. Ini adalah hukuman ayah. Ayah mencelakai ayah Adam, Adi
Setiawan yang merupakan teman baik ayah. Ibumu meninggal karena rasa
bersalahnya terhadap orang tua Adam yang begitu besar. Hentikan mencari kambing
hitam, tapi lihatlah pada ayahmu yang rendah ini. Ayah memiliki rasa bersalah
yang terus menghantui dari orang-orang yang benar-benar ayah cintai. Dan
seluruh rasa bersalah ini, sudah membuat ayah tidak pernah tenang tidur selama
ini. Semua kesalahan ini akan ayah bawa sebagai dosa yang mungkin tidak dapat
diampuni.
Kalian berdua hiduplah
yang baik. Dan jangan kunjungi ayah lagi. Bahkan jika mereka menjatuhkan
hukuman yang paling buruk, maka ayah sangat pantas untuk menerimanya.
Dari ayahmu.
Liani masih
terisak-isak membaca surat dari ayahnya. Adam hanya bisa melihat Liani yang
tampaknya sangat terpukul dengan pernyataan ayahnya.
“Ayah......!” suara
Liani setengah tak terdengar. Ia menghampiri Adam, berlutut. Adam tampak
terkejut melihat sikap Liani.
“Adam, aku.... minta
maaf atas kesalahan ayahku. Aku tahu ini mungkin bukan dosa yang bisa kamu
ampuni, tapi aku benar-benar bermohon,” Liani meminta maaf bersama isak
tangisnya. Suaranya terdengar bergetar. Adam juga kemudian berlutut dan memeluk
Liani. ia merasakan bagaimana air mata Liani mengalir ke bahunya hangat. Adam tidak
berdaya. Ia sudah tahu semuanya dari awal. Dari awal pula, ia sudah memaafkan
mereka semua.
Liani merasa bersalah
kepada ayahnya karena ia merasa belum sempat berbakti. Pak Rusman dipenuhi rasa
bersalah kepada orang tua Adam dan ibu Liani. Adam merasa bersalah karena
bahkan tidak dapat membenci pembunuh ayahnya. Semua orang pasti memiliki rasa
bersalah dalam hidupnya, rasa bersalah muncul setelah penyesalan. Penyesalan
memang selalu datang dibelakang. Namun yang terpenting adalah kita ingin terus
dihantui rasa bersalah atau segera membayarnya agar dapat memulai hidup lebih
baik.
TAMAT
Sinopsis
Judul : My Father is No
Kidding
Genre : Hukum, komedi.
Jumlah
halaman : 17 lembar
Liani, seorang gadis
umur 25 tahun adalah seorang pengacara. Ia sangat membenci ayahnya Pak Rusman
yang berhenti menjadi jaksa dan memilih menjadi pengacara probono yang miskin.
Pak Rusman suka menolong dengan menangani kasus-kasus masyarakat menengah ke
bawah tanpa meminta bayaran. Liani terkena imbasnya. Ayahnya terlalu sibuk
memikirkan orang lain. Karena sejak kecil hidup serba kekurangan, Liani tumbuh
menjadi ratu belanja saat memiliki uang. Ada juga Adam, anak teman sahabat ayah
Liani yang sejak kecil sudah hidup bersama mereka. Suatu ketika ayah Liani
ditangkap polisi karena terbukti melakukan pembunuhan berencana atas ayah Adam.
Liani merasa bersalah kepada ayahnya karena ia merasa belum sempat berbakti.
Pak Rusman dipenuhi rasa bersalah kepada orang tua Adam dan ibu Liani. Adam
merasa bersalah karena bahkan tidak dapat membenci pembunuh ayahnya.
.jpg)
No comments:
Post a Comment