Sunday, 19 April 2015

My Father is No Kidding: hukum terbolak-balik


“Ayah...............!!!!!!!!!!!!!!!!!!!”
Suara Liani terdengar menggelegar ke seluruh ruangan. Bahkan ke seluruh rumah mulai dari halaman depan sampai ke belakang. Mungkin juga suaranya terdengar sampai ke tetangga. Melihat rumahnya tipe 21 alias rumah RSSS a.k.a Rumah Sangat Sederhana Sekali.
Liani geram. Maskara murah di meja rias tak sengaja disenggolnya dan tumpah. Dia semakin kesal, kakinya melangkah ke seluruh ruangan mencari keberadaan ayahnya.
“Ayah........!!! Ayah.........!!!” teriaknya semakin keras.
Tiba-tiba ayahnya keluar dari kamar mandi. Pak Rusman, sibuk memegangi perutnya. Dari raut mukanya, kelihatan sangat lega.
“Ada apa Sayang?” jawabnya ketika Liani menemukannya. Tepat setelah ayahnya keluar. Di depan pintu kamar mandi.
“Bilang sama Liani, uangnya kemana?” tanya Liani kesal. Ayahnya cuma balas nyengir kuda.
“Dipakai mediasi* buat klien,” jawab ayahnya singkat.
“Ayah......!!!!” teriak Liani lagi. Pak Rusman menutup telinga.
“Iya, Ayah tahu. Nanti Ayah ganti.”
“Ayah nggak mungkin bisa ganti itu. Sudah berapa duit yang ayah ambil dari Liani, nggak ada yang pernah dikembalikan! Padahal uang itu kan buat beli tas gucci,” ujar Liani kesal.
“Seberapa penting sih tas gucci itu? Ini persoalan kasus nenek tua yang sudah bau tanah mencuri buah pear di rumah tetangganya untuk cucunya umur lima tahun. Masa kamu tega si nenek dipenjara?” ungkap Pak Rusman.

Liani terdiam beberapa saat. Ayahnya mengira dia telah sadar dan berpikir. Ternyata diluar dugaan dia mengeluarkan bantahan keras.
“Ayah juga terlibat kasus pencurian. Berdasarkan pasal 362 KUHP: Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah,ujar Liani menunggingkan senyum kemenangan.
“Anak kemarin sore mau melawan Ayah rupanya,” Pak Rusman berkata sambil tersenyum.
“Ayah harus berani melawan anak kemarin sore kayak aku!” ujar Liani masih dengan senyum anehnya.
“Oke ayah balas. Jangan lupa dengan norma hukum Das Sollen* dapat menjadi Das Sein**, hukum yang semula merupakan harga mati dapat menjadi hidup. Semua tergantung keadaan si tersangka dan kebijakan aparatur negara yang menangani perkara pidana. Lagipula kamu dalam posisi keluarga dekat, dapat digunakan metode Alternatif Dispute Resolution yaitu penyelesaian kesepakatan untuk mufakat. Tidak perlu repot-repot ke pengadilan. Lagian mana mungkin putriku mau aku dipenjara,” balas Pak Rusman membuat Liani mati kutu. Pak Rusman membelai kepala Liani dengan sayangnya.
“Sabar yah! Lagian kamu harus mengalah dalam perdebatan kali ini, soalnya ayah mau berangkat ke kantor. Ini sudah pukul 09.00, bukannya hari ini kamu akan mengambil sumpah advokat di pengadilan tinggi?” tanya ayahnya balik. Liani tampaknya sangat terkejut. Dia berlari tergesa-gesa menuju ke kamarnya. Dia tidak menyadari ayahnya telah pergi.
“Ayah! Jasku yang ayah setrika kemarin kemana?” tanya Liani berteriak sendiri mengobrak-ngabrik lemari pakaiannya.

* Das Sollen: istilah hukum yang menyatakan bahwa hukum itu pasif dan bersifat teori.
**Das Sein: istilah hukum yang menyatakan bahwa hukum tergantung pada keadaan dan tidak pasif, melainkan aktif. Serta tidak teori melainkan praktek


 


Pintu kamar terbuka. Rupanya Adam Risky, partner sekaligus murid ayahnya masuk. Dia dan Liani adalah teman sedari ingusan.
“Ayahmu sudah pergi. Ini jasnya!” kata Adam menyerahkan jas itu kepada Liani.
“Makasih ya Dam, aku mau ganti baju. Bisa tolong menghadap ke belakang?” Adam menghadap ke belakang sambil tersipu malu.
“Owh ya Dam, nanti aku nebeng kamu ya! Soalnya ayahku pasti pakai motorku ke kantor!” kata Liani sambil masih asyik ganti baju. Adam mengangguk saja. Karena tidak saling berhadapan Liani tidak melihat anggukan itu.
“Mau nggak Dam?” ulangnya.
“Iya.......... Lia!” Adam menyetujui setengah berteriak. Lia tersenyum.
“Thanks ya Dam!”
_____________
Kantor Pengadilan Tinggi Surabaya.
Liani sudah siap dengan jas hitam dan map kuning motif batik yang berisi sumpah advokat. Raut wajahnya sangat tegang, karena perjuangannya selama tiga tahun ini, dari ujian advokat sampai magang dua tahun di kantor ayahnya. Meskipun magang di kantor ayahnya, tidak lantas memudahkan Liani. Ayahnya tidak pernah memberikan korting pekerjaan padanya. Terkadang Liani malah bekerja di luar batas. Dia pernah tidak tidur selama dua hari dua malam untuk mencari bukti kasus pencurian sandal polisi. Kadang dia merasa ayahnya adalah orang di luar batas kewajaran. Memikirkan semua hal itu membuat dirinya semakin dongkol saja.
“Liani!” panggil seseorang membuyarkan lamunan panjang tentang perjuangannya. Ternyata Adam yang memanggilnya.
“Semoga sukses ya!!!” ujarnya sambil melempar snack coklat ke arah Liani.
“Nggak heran kalau aku nggak bisa diet. Kamu selalu ngasihin aku cemilan!” ujar Liani ke Adam. Adam tersenyum.
Adam adalah seorang pria umur 27 tahun yang sudah ikut ayahnya sedari kecil. Adam sebenarnya tampan. Wajahnya agak cina, matanya yang sipit dilapisi kacamata menandakan ia seorang yang pandai. Dan ternyata memang begitu. Namun Adam bukanlah tipe cowok playboy, malah cenderung kaku dengan orang yang belum dikenalnya. Tidak heran di usia yang matang, dia belum juga memiliki pacar.
Adam telah berlalu, meninggalkan Liani dengan senyuman khasnya. Liani melangkah masuk ke dalam pengadilan tinggi, sambil menyapu pandangannya ke sekeliling. Rata-rata setiap orang datang bersama anggota keluarganya. Ada sedikit terbesit rasa iri di hatinya. Namun ditepisnya jauh-jauh. Fokus Liani!
Akhirnya Liani sibuk membetulkan dandanannya sambil duduk di sebuah kursi. Ia juga sibuk membetulkan roknya yang lumayan pendek, sampai tiba-tiba seseorang datang dan menyapanya.
“Loh, Nak Liani kan?” suara itu terdengar familiar di telinga Liani. Liani mendongakkan kepalanya. Terkejut melihat sosok yang dikaguminya sejak kuliah dulu. Beliau adalah Prof. Dr. Suryoto, SH, MH.
“Wah iya, Prof. Suryo,” Jawab Liani mengkonfirmasi. Prof. Suryo tersenyum.
“Akan disumpah juga hari ini?” tanya Prof. Suryo lagi.
“Iya Pak!” jawab Liani tersipu malu.
“Wah, Bapak ucapkan selamat! Bapak akan menjadi saksi bakat-bakat baru dalam bidang hukum, oh iya, bagaimana kabar ayahmu?” tanya beliau. Memang ayah Liani dan Prof. Suryoto pernah bekerja di pengadilan tinggi. Ayah Liani dulunya seorang jaksa. Namun tidak tahu apa sebabnya beliau mengundurkan diri.
“Iya, ayah baik-baik saja!” kata Liani tersenyum, begitu pun Prof. Suryoto. Beliau segera mohon diri dan masuk ke dalam ruang pengadilan.
Liani sedikit deg-degan karena Prof. Suryoto akan menjadi salah satu saksi sumpahnya. Ia sendiri sudah sangat akrab dengan beliau sejak masih kuliah. Dia pernah satu tahun menjadi asisten Prof Suryoto. Belakangan ada kabar terdengar, beliau berhenti jadi dosen dan sekarang telah menjadi hakim di pengadilan tinggi Surabaya.
Dia bergegas ingin masuk ke dalam ruang pengadilan, tidak sadar melihat orang yang berbisik-bisik di belakangnya. Lama-kelamaan ia merasa ada yang tidak beres dengan dirinya. Sehingga ia menengok kebelakang, meraba roknya, dan mendapati sesuatu tertempel di rok pendeknya itu. ternyata itu adalah secarik kertas yang tertulis.
JANGAN PAKAI ROK TERLALU PENDEK, YANG BAHKAN MEMPERLIHATKAN APA YANG ADA DALAM ISI ROK. CAMKAN ITU PUTRIKU!!!
AYAH.
            Setelah membaca tulisan itu, Liani sangat geram bukan kepalang. Rasa-rasanya ingin sekali ia berteriak sekeras-kerasnya memanggil ayahnya. Namun ia tidak bisa karena acara pengambilan sumpah advokat akan segera dimulai. Hanya senyuman getir yang diberikannya terhadap orang di sekitar yang telah melihat kertas itu sedari tadi.
______________
“Apa itu tidak keterlaluan Bos?” tanya Adam kepada ayah Lani.
“Biar saja Dam, biar anak itu kapok pakai rok pendek. Sekarang sedang marak kasus pelecehan seksual,” Pak Rusman beralasan. Adam hanya mengangguk.
“Kamu akan mengerti setelah memiliki anak. Apalagi anak perempuan, sangat sulit menjaganya. Liani memang tidak cantik, tapi dia pandai bergaul dan baik,” lanjut Pak Rusman lagi.
“Owh ya Dam, tolong periksa berkas kasus Haryono untukku. Ada kasus sama yang aku tangani sekarang. Terus jangan lupa atur pertemuan dengan Nenek Badriah!” Perintah Pak Rusman pada Adam.
“Segera saya laksanakan Pak!” ujar Adam segera mengerjakan pekerjaannya.
Pak Rusman sibuk membersihkan mejanya. Tanpa sengaja dia melihat bingkai foto di salah satu sisi meja kerjanya. Tampak disana Pak Rusman muda berfoto bersama seorang pria seusianya.
“Dam!” panggilan ditujukan ke Adam.
“Ada apa Pak?”
“Coba kesini sebentar!”
Adam berjalan menuju Pak Rusman. Pak Rusman menunjukkan bingkai foto yang ada di tangannya. Adam melihat benda itu. raut mukanya kelihatan kurang baik.
“Ini semua salah bapak. Seharusnya bapak yang ada di pesawat itu, bukan ayahmu!” tampak penyesalan mendalam di mata orang tua ini. Adam tidak berkata apa-apa. Dia menatap foto yang ditunjukkan ayah Liani padanya. Di dalam foto itu ayah Liani dan ayahnya tersenyum sangat sumringah. Sejenak ia kembali ke kenangan masa kecilnya. Ketika ayahnya masih hidup. Waktu itu ia masih umur 10 tahun, tak ada seorang pun yang mengulurkan tangan untuk menolong ayahnya yang sedang kesulitan keuangan. Hanya ayah Liani yang menolong mereka.
Saat itu, Adam masih terlalu kecil untuk mengetahui segala kebenaran itu. Kebenaran dibalik kematian ayahnya yang mendadak di pesawat yang akan dinaiki oleh ayah Liani. Yah, saat itu, ayah Liani dan ayahnya adalah anggota relawan suatu organisasi independen yang bergerak di bidang pengawasan korupsi. Kematian mendadak ini, semuanya dapat ia yakini 100% adalah kamuflase pembesar-pembesar yang licik.
“Nggak apa-apa Bos! Aku yakin semua ini bukan salah Bos! Aku kerja dulu Bos! Oh iya, aku juga harus pergi ke pengadilan untuk mendengar amar sidang kasus Nona Septiana,” ujar Adam mengalihkan pembicaraan. Dia segera pergi meninggalkan kantor.
_____________
“......6. bahwa saya tidak akan menolak untuk melakukan pembelaan atau memberi jasa hukum di dalam suatu perkara yang menurut hemat saya merupakan bagian daripada tanggung jawab profesi saya sebagai seorang Advokat.”
Bait keenam dari sumpah advokat baru dikumandangkan. Di ruang sidang pengadilan negeri Surabaya, ada 20 orang advokat muda yang diambil sumpahnya hari ini. Salah satunya adalah Liani. Akhirnya selesai sudah perjalanan prosedur menjadi advokat yang sangat melelahkan dirinya. Untuk selanjutnya pikirannya menuju ke satu hal yaitu BELANJA.
Liani keluar dari pengadilan tinggi dengan gembira. Pelan saja, namun ia bersenandung. Dirinya tidak sabar segera menuju salah satu pusat perbelanjaan di Surabaya. Namun tak ayal, dia segera memukul kepalanya sendiri.
“Uangku kan dipakai Ayah! Aku lupa lagi!” dia mulai berbicara sendiri. Diurungkannya niat untuk pergi ke pusat perbelanjaan. Dia akan segera pergi ke firma hukum ayahnya.
“Kemana Mbak?” tanya seorang supir metromini yang berhenti di depannya. Liani cukup terkejut.
“Ke Pasar Besar Pak....!” jawab Liani singkat. Metromini terus melaju ke tempat tujuan.
_____________
“Ayah harus kembaliin uang aku pokoknya! Itu uang hasil nulis aku Yah!” Liani menuntut uangnya kembali. Pak Rusman sibuk dengan berkas-berkasnya. Dia tidak menanggapi serius putrinya yang tampak sangat geram.
“Iya, nanti ayah ganti. Ayah nggak ingkar janji kok kali ini!” kata Pak Rusman berhenti sejenak bekerja lalu memandang putrinya. Liani semakin kesal saja.
“Ayah, 3 juta bukan uang kecil. Mau sampai kapan kita miskin begini? Ayah sangat kompeten sebagai seorang pengacara, kenapa kita mesti hidup begini?” Liani berkata dengan terus memegangi kepalanya, pusing dan muak dengan kehidupan ayahnya sebagai pengacara pro-bono. Ayahnya segera mendongakkan kepalanya. Lalu tersenyum sambil memegangi kedua bahu Liani pelan.
“Iya, nanti ayah ganti. Tapi jangan nangis dong!” ujar Pak Rusman menenangkan Liani.
“Siapa yang nangis?”
“Nah, itu air mata!”
Liani mendongak ke atas, memandangi langit-langit kantor. Dia pun segera membuka gorden jendela dekat dengan tempat duduk ayahnya, ternyata di luar turun hujan. Ia akhirnya mengerti asal dari ‘air mata’ tadi ternyata dari atas genteng.
“Wah, bocor lagi ini! Tolong ambil ember di dapur terus bantu ayah beresin kertas-kertas ini!” perintah Pak Rusman pada putrinya sambil menarik napas panjang.
“Ayah!!!!!!” Liani berteriak. Pak Rusman terlonjak kaget. Namun Liani tidak peduli. Ia tak dapat lagi menahan emosinya yang sudah mencapai ubun-ubun. Segera ditinggalkannya kantor. Ia mendengar ayahnya mengomelinya dari belakang.
“Advokat baru disumpah kok malas kerja, gara-gara tas. Lupa isi sumpah advokat bait keenam ya Nduk. Pantas Indonesia ini nggak bisa maju. Barusan disumpah kok lupa!!!!!”
Liani terus berjalan keluar, tak peduli hujan deras mengguyurnya. Ini memang bukan tipenya untuk berdiri di tengah hujan seperti ini. Namun dia terus berjalan, pergi ke halte bus yang tak jauh dari situ. Sepanjang jalan ia menangis. Ia menangis bukan karena tidak jadi membeli tas gucci, bahkan sebodo amat dengan tas itu.
Ia hanya muak dengan hidup ayahnya. Ia capek hidup seperti ini. Rumah kecil, kantor kecil, genteng bocor, semua itu membuatnya capek. Dia ingat sering diejek temannya karena selalu memakai pakaian bekas atau loakan. Ia muak dengan ayahnya. Muak dengan kebodohannya memilih menjadi pengacara pro-bono*. Muak dengan kemiskinan yang terus-menerus ada di keluarga kecilnya.
Ia lebih bersyukur jika ayahnya mengambil uang itu untuk memperbaiki kantor atau membeli barang-barang pribadi kebutuhannya sendiri. Ayahnya bahkan tidak pernah membeli baju lebaran selama 3 tahun terakhir. Kemeja yang dipakainya ke kantor sangat lusuh, kemeja yang baru dibelikan Liani bahkan diberikan pada klien. Liani sampai heran mengapa ada orang yang sebaik ayahnya.
Yang paling menyedihkan adalah kejadian tadi. Pak Rusman bahkan tidak mengejarnya keluar karena takut Liani akan melihat sepatunya yang sudah aus. Liani bahkan tidak ingat kapan ayahnya mengganti sepatunya. Itu yang membuatnya semakin marah, bahwa betapa banyak kekurangannya sebagai anak. Ayahnya adalah orang yang sangat baik, jujur, dan dermawan. Mengapa ia selalu marah?
Jawabannya adalah dia terlalu capek. Dulu ayahnya selalu menyekolahkannya di sekolah elit di kota Surabaya. Liani bukannya bangga, tapi merasa malu. Semua anak datang dengan mobil, punya mainan, dan baju bermerek. Sedangkan dia hidup dengan barang-barang bekas, berhemat dengan naik bus bersama Adam. Dia dikucilkan, dianggap sederajat dengan anak pembantu.

*Pro-bono: istilah untuk pengacara yang tidak mengutamakan profit atau kuntungan.

“Anak pengacara kok miskin!” itulah kata-kata yang sering Liani dengar dari mereka. Ia hanya dapat menangis, namun lama-kelamaan ia terbiasa dengan semua itu. Ia anak yang cukup kuat menahan sendiri. Ia merasa ayahnya tak perlu tahu apa yang terjadi dengannya di sekolah. Ia tahu ayahnya adalah pengacara yang baik. Justru itulah kesalahan ayahnya, dia terlalu baik.
Hujan semakin deras saja. Ia masih tergugu berusaha menahan isak tangis. Orang-orang di sekelilingnya memandangnya heran. Perlahan isak tangisnya mulai reda. Hingga bus jurusan Krian telah datang, Liani menaiki bus itu, masih dengan terhuyung, dia menghempaskan dirinya ke salah satu bangku. Ia hanya dapat melihat keluar jendela bus, masih ada titik-titik hujan yang mengalir. Seiring dengan derasnya air mata yang tak mau berhenti mengalir.
__________________
Rumah adalah yang terbaik. Liani berlari masuk. Ia telah basah kuyup. Rumah tampak sepi tak berpenghuni. Dia merogoh sakunya, mencari-cari keberadaan kunci rumah. Setelah mendapatkan kunci, ia terburu-buru masuk ke dalam rumah.
Tempat yang pertama ditujunya adalah kamarnya. Satu kesan yang dapat diucapkan, kamar itu sangat berantakan. Biasanya hanya ayahnya yang selalu membereskan. Dia pun segera keluar kamar menuju kamar mandi. Sekaligus mengganti bajunya yang basah kuyup.
Selesai mandi, ia ingin membaca majalah fashion yang baru dibelinya minggu lalu. Namun ia tidak dapat menemukannya dimana-mana. Tidak heran memang, melihat keadaan kamarnya yang ‘awut-awutan’. Yang bersih hanya lemari tempat koleksi tas dan sepatunya. Ia sendiri tidak mengerti mengapa ia begitu terobsesi dengan tas dan sepatu bermerek. Padahal ia jarang memakainya. Kebiasaannya yang gila belanja ini, tidak tahu sejak kapan munculnya. Bisa dibilang dia juga seorang shopaholic.
Bosan mencari majalah yang belum ketemu, dia menyalakan TV. Tampak OC Kaligis di televisi, sepertinya menangani kasus perceraian artis. Terpikir olehnya, kapan ayahnya bisa seperti itu.muncul di televisi dan mendapat bayaran yang besar dari kliennya.
Hampir setengah jam mencari majalah, akhirnya ia temukan juga. Ternyata majalah itu ada di kamar ayahnya, tepatnya diatas meja kerja. Liani baru ingat, kemarin sore ia disuruh mencari berkas Nenek Badriah. Ia membawa majalah itu bersamanya, karena ketika dipanggil ia sibuk membaca. Ditariknya majalah fashion itu sambil tersenyum sumringah. Namun ada satu buku dari meja kerja ayahnya terjatuh. Liani segera mengambil buku itu. Buku itu mirip jurnal harian. Mungkin diari ayahnya. Rasa isengnya segera menjalar. Dia membuka jurnal tersebut. ternyata ada foto lama ayahnya bersama seorang wanita yang tak dikenalnya.
“Siapa ini ya?” gumamnya sendiri pelan. Dia ingin membalik foto tersebut. Mungkin ada petunjuk yang tertulis dibelakang foto.
“Assalamu’alaikum!” seseoran tampaknya ada diluar. Matanya beralih ke foto itu, lalu dia menyimpannya kembali.
“Sebentar!” teriaknya dari dalam. Ia pun segera keluar dari kamar lalu membuka pintu depan.
“Cari siapa ya?” Liani bertanya.
“Bapak ada?” ujar lelaki yang ditaksirnya berumur 30 tahunan, dengan jas lengkap. Diluar juga ada sebuah mobil. Tampaknya orang kaya.
“Klien ya? Ayah lagi di kantor, langsung saja kesana!” ujar Liani.
“Bukan, kami dari kepolisian! Anda siapa?” bantah lelaki itu.
“Owh, saya Liani, putrinya Pak Rusman, ada apa ini ya?” Liani merasa Pak polisi ini tidak masuk di akal.
“Saya Ikhwan. Inspektur Ikhwan Nur Wahid. Ayah Anda terpidana kasus konspirasi pembunuhan di tahun 2001!” Inspektur itu menjelaskan semuanya.
“Tapi........ Ayah tidak mungkin....,” ucapan Liani terputus. Ia sangat terkejut dengan penuturan Inspektur Ikhwan.
“Baiklah, kami akan langsung ke kantor Beliau. Ini surat perintah kami. Mohon izinkan anak buah saya untuk memeriksa seluruh rumah ini!” Inspektur Ikhwan tegas. Para polisi berbondong-bondong masuk ke dalam rumah Liani. Liani masih tidak percaya apa yang terjadi. Ia terpuruk bersandar di dinding. Diambilnya handphone yang ada di dalam sakunya.
Tut....tut..... suara nada sambungan telepon. Liani cemas. Ayahnya belum juga menjawab.
“Halo.......,” suara diseberang jelas bukan suara ayah Liani. Suaranya jelas Adam.
“Ayah mana Dam?” tanya Liani cemas.
“A......nu...... entar........ ya........ masih ...... entar aku hubungin lagi,” Adam menutup telepon.
“Tunggu Dam.....!” Liani sudah kehilangan kesempatan untuk bicara. Ia bergegas memakai sepatunya dan pergi ke firma hukum ayahnya. Hatinya berdegup keras masih tak percaya. Sepanjang perjalanan, pikirannya diliputi dengan memori-memori bersama ayahnya.
__________________
Firma hukum ayah Liani, pukul 14.00.
Liani sangat terkejut melihat ayahnya sudah berada di dalam mobil polisi. Diketuk-ketuknya kaca mobil polisi. Seorang petugas membuka kaca jendela mobil.
“Ayah........! Ayah.......!” Liani memanggil ayahnya. Tatapan matanya sayu, seakan ingin berkata sesuatu. Beliau menatap Liani dalam. Ayahnya hanya mengangguk saja tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Mobil polisi segera melaju. Meninggalkan Liani yang masih terpuruk. Isak tangisnya mulai terdengar. Adam menghampirinya.
“Sabar Lia, nanti kita cari jalan keluar yang tepat untuk menghadapi semua ini,” ujar Adam berusaha menenangkan Liani.
“Tapi ayah...... tidak mungkin kan Dam?” tanya Liani diselingi isak tangis yang dalam.
“Tentu saja Pak Rusman bukan orang seperti itu, kamu harus percaya,” Adam mengguncang bahu Liani.
Dan disinilah mereka, di ruangan ayah Liani. Liani, Adam dan 4 karyawan lainnya. Mereka mulai membahas masalah yang terjadi. Adam memberi  Liani artikel 12 tahun yang lalu. Kasus konspirasi meninggalnya seorang relawan yang sangat heboh di tahun itu. bahkan hingga sekarang kejadian itu masih janggal karena belum terselesaikan sampai hari ini.
Relawan itu bernama Adi Setiawan. Orang ini sangat terkenal di tahun itu. dia adalah pelopor yang menentang orde baru dan sangat penuh percaya diri mengungkapkan kasus-kasus yang terjadi di tahun 1998. Ketika berangkat ke Belanda untuk konferensi disana, tiba-tiba saja sang relawan tewas di dalam pesawat. Berdasarkan hasil autopsi ditemukan sianida di perutnya. Kala itu hakim memutuskan bahwa yang bersalah adalah pilot dan seorang pramugari.
“Ini jelas kebohongan publik,” ujar Adam. Liani masih merenung. Dibacanya artikel itu dengan seksama.
“Kita tidak cukup bukti, kita harus mendapatkan bukti yang lebih kuat,” Liani terdengar putus asa.
“Ayo kita berbagi tugas,” Adam memberi perintah. “Kau dan aku akan memeriksa daftar orang-orang yang naik pesawat pada hari dan tanggal dimana sang relawan meninggal. Erin tolong ke rumah Bapak untuk mengawasi polisi disana. Mila dan Doni, tolong cari informasi dari polisi. Sedangkan Dedy, tolong tinggal di kantor untuk mengawasi polisi disini!” kata Adam tegas. 4 orang karyawan tadi yang diperintah Adam langsung bergegas. Seperti yang diduga Liani, Adam selalu dapat diandalkan.
“Terima kasih Dam,” Liani terdengar lesu. Adam tersenyum.
“Apapun yang terjadi nanti, aku mohon kamu bisa tegar. Ada satu hal yang belum aku bisa beritahu sekarang!” ungkap Adam. Ia menatap Liani tajam.
“Apa itu?” tanya Liani lagi.
“Belum saatnya. Nanti kalau tiba saatnya aku pasti akan beritahu semuanya. Apapun itu aku berharap, kamu tetap mempercayai ayahmu sampai akhir.” Adam tampak sangat serius.
_________________________
Liani mulai memeriksa daftar seluruh penumpang pesawat yang sangat susah payah didapatkannya. Dia dan Adam benar-benar sangat serius. Seorang staf yang bernama Doni, tergopoh-gopoh datang.
“Gawat Mbak, Mas......,” katanya panik. Wajahnya pucat pasi.
“Ada apa Don?” tanya Liani.
“Ba....pak..... Mbak..... tidak mau menerima pembelaan apa-apa!” Doni berkata masih dengan wajah pucat pasinya. Liani terkesima. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan ayahnya. Ia mendesah sendiri kesal dengan sikap ayahnya yang selalu mengorbankan dirinya dalam hal ini.
Adam masih memeriksa daftar penumpang dengan seksama. Ia mendapati satu nama yang sangat familiar bagi Liani.
“Ya, coba lihat ini!” Adam menunjukkan satu nama yang tidak asing. “Ini kan Prof. Suryoto!”
“Coba aku lihat dulu!” Liani merebut kertas dari Adam. “Aku akan menanyakan langsung ke Prof tentang hal ini!” lanjutnya lagi.
Liani setengah berlari menuju ke rumah Prof. Suryoto. Ia segera memanggil taksi. Sepanjang perjalanan, ia berusaha untuk tenang. Taksi telah mendarat mulus di kediaman Prof. Suryoto. Liani sendiri lumayan lama menjadi asisten beliau sehingga tahu betul jadwal Prof. Suryoto. Para pembantu beliau juga mengenal Liani dengan baik. Liani memencet bel yang ada di gerbang. Sesosok yang merupakan pembantu di rumah itu datang dan menyambut Liani.
“Mbak, aduh.... sudah lama tidak kemari. Ayo masuk Mbak!” si pembantu mempersilahkan masuk.
“Bapak ada... mau berangkat kebetulan tadi istirahat. Sekarang mau ke pengadilan,” ujar si pembantu. Tak berapa lama Prof. Suryoto muncul. Liani segera memberi salam.
“Prof.....!” Liani menunduk seperti biasa memberi hormat kepada mantan dosennya itu.
“Saya dengar ayahmu ditangkap polisi. Poor kid....!” nada suara itu tidak biasanya dikeluarkan Prof. Suryoto. Nada suara itu terdengar menyindir. Sepersekian detik Liani menyadari sesuatu yang janggal.
“Maaf Prof......,” kata Liani terdengar setengah heran. Ekspresi Prof. Suryoto juga berganti 180 derajat dari biasanya. Beliau tersenyum aneh, seperti mencibir perilaku Liani.
“Coba kesini Nak!” perintah Prof. Suryoto kepada Liani untuk mendekatinya. Prof. Suryoto merapatkan mulutnya ke telinga Liani sambil berbisik, “Ayahmu itu terlalu baik sekaligus terlalu bodoh, jangan mengikuti dia!”
Liani sangat terkejut dengan kata-kata Prof. Suryoto. Beliau sendiri langsung undur diri dengan senyum khasnya. Yah, senyuman yang selama ini belum pernah Liani lihat. Ia merasa sangat rendah. Tidak pernah sekali pun ia berpikir mengapa ayahnya mengundurkan diri sebagai jaksa dan memilih menjadi pengacara probono. Air matanya mulai menetes lagi. Seiring dengan rasa bersalah pada ayahnya yang menghantui.
Ia harus kuat untuk bertemu dengan ayahnya hari ini. Ia ingin medengar sendiri dari ayahnya apa yang sebenarnya yang terjadi. Benar-benar ia tidak ingin menjadi bulan-bulanan dan dibodoh-bodohi oleh orang-orang ini. Ia sudah muak dengan semua ini.
Sesampainya di lapas siang itu, ia mendapati Adam masih belum masuk ke dalam. Ia masih mematung di depan lapas sambil menatap gerbang lapas. Liani segera menghampiri Adam.
“Kok tidak masuk Dam?” tanya Liani penasaran. Adam hanya tertunduk lesu.
“Aku bukannya tidak mau masuk. Tapi petugas menitipkan ini untuk kita. Ini surat dari ayahmu. Aku sudah selesai membacanya. Sekarang giliran kamu!” kata Adam sambil menyerahkan surat itu. pelan saja Liani membuka surat berwarna putih itu. hatinya bergetar.
Liani dan Adam sayang,
Sekali lagi ayahmu ini minta maaf atas kekacauan yang telah ayah perbuat. Tolong kalian jangan terlalu khawatir. Apapun yang terjadi nanti, jangan coba-coba untuk memanggil siapapun untuk menolong ayah. Ini adalah hukuman ayah. Ayah mencelakai ayah Adam, Adi Setiawan yang merupakan teman baik ayah. Ibumu meninggal karena rasa bersalahnya terhadap orang tua Adam yang begitu besar. Hentikan mencari kambing hitam, tapi lihatlah pada ayahmu yang rendah ini. Ayah memiliki rasa bersalah yang terus menghantui dari orang-orang yang benar-benar ayah cintai. Dan seluruh rasa bersalah ini, sudah membuat ayah tidak pernah tenang tidur selama ini. Semua kesalahan ini akan ayah bawa sebagai dosa yang mungkin tidak dapat diampuni.
Kalian berdua hiduplah yang baik. Dan jangan kunjungi ayah lagi. Bahkan jika mereka menjatuhkan hukuman yang paling buruk, maka ayah sangat pantas untuk menerimanya.
Dari ayahmu.
Liani masih terisak-isak membaca surat dari ayahnya. Adam hanya bisa melihat Liani yang tampaknya sangat terpukul dengan pernyataan ayahnya.
“Ayah......!” suara Liani setengah tak terdengar. Ia menghampiri Adam, berlutut. Adam tampak terkejut melihat sikap Liani.
“Adam, aku.... minta maaf atas kesalahan ayahku. Aku tahu ini mungkin bukan dosa yang bisa kamu ampuni, tapi aku benar-benar bermohon,” Liani meminta maaf bersama isak tangisnya. Suaranya terdengar bergetar. Adam juga kemudian berlutut dan memeluk Liani. ia merasakan bagaimana air mata Liani mengalir ke bahunya hangat. Adam tidak berdaya. Ia sudah tahu semuanya dari awal. Dari awal pula, ia sudah memaafkan mereka semua.
Liani merasa bersalah kepada ayahnya karena ia merasa belum sempat berbakti. Pak Rusman dipenuhi rasa bersalah kepada orang tua Adam dan ibu Liani. Adam merasa bersalah karena bahkan tidak dapat membenci pembunuh ayahnya. Semua orang pasti memiliki rasa bersalah dalam hidupnya, rasa bersalah muncul setelah penyesalan. Penyesalan memang selalu datang dibelakang. Namun yang terpenting adalah kita ingin terus dihantui rasa bersalah atau segera membayarnya agar dapat memulai hidup lebih baik.

TAMAT

Sinopsis
Judul                           : My Father is No Kidding
Genre                          : Hukum, komedi.
Jumlah halaman           : 17 lembar

Liani, seorang gadis umur 25 tahun adalah seorang pengacara. Ia sangat membenci ayahnya Pak Rusman yang berhenti menjadi jaksa dan memilih menjadi pengacara probono yang miskin. Pak Rusman suka menolong dengan menangani kasus-kasus masyarakat menengah ke bawah tanpa meminta bayaran. Liani terkena imbasnya. Ayahnya terlalu sibuk memikirkan orang lain. Karena sejak kecil hidup serba kekurangan, Liani tumbuh menjadi ratu belanja saat memiliki uang. Ada juga Adam, anak teman sahabat ayah Liani yang sejak kecil sudah hidup bersama mereka. Suatu ketika ayah Liani ditangkap polisi karena terbukti melakukan pembunuhan berencana atas ayah Adam. Liani merasa bersalah kepada ayahnya karena ia merasa belum sempat berbakti. Pak Rusman dipenuhi rasa bersalah kepada orang tua Adam dan ibu Liani. Adam merasa bersalah karena bahkan tidak dapat membenci pembunuh ayahnya.

No comments:

Post a Comment