Kembali Ke Poso
Pagi
hari, pukul 09.00......
Tit....tit....tit.....
Nada
bunyi handphoneku berbunyi. Aku terbangun, menyadari matahari pagi yang
menyengat sangat. Layar menunjukkan kontak ‘Mom’. Aku mengangkatnya setengah
malas.
“Halo,
iya Bu!” kataku singkat.
“Halo!”
suara diseberang terdengar asing. Kayak suara lelaki, begitu di pikiranku.
Kutengok kembali layar hpku, tapi benar kontaknya punya ibu. Seketika aku
tersadar.
“Halo!”
ujar orang yang diseberang setengah berteriak.
“Iya,
maaf... ini nomor ibu saya, maaf.... Anda......,” aku terbata-bata mengucapkan
kata-kata itu.
“Iya,
ini dari rumah sakit. Ibu Anda ditemukan pingsan di lift rumah sakit kami. Di
rumah sakit P,” ujar orang yang ditelepon. Aku panik. Rumah sakit P ya, berarti
di rumah sakit ini. Tergopoh-gopoh aku lari dan segera bertanya pada resepsionis
di ruangan mana ibuku dirawat. Ibuku tak sadarkan diri, tapi beliau baik-baik
saja.
“Claustropobhia,”
ujar dokter Hanif setelah selesai memeriksa ibuku. Kebetulan dokter Hanif
pernah menjadi salah satu klienku. Tiga bulan yang lalu beliau baru saja resmi
bercerai dengan istrinya yang juga seorang dokter.
“Kok
saya nggak tahu ya Dok, kalau ibu saya claustrophobia. Tidak pernah ada
tanda-tanda beliau takut dengan ruangan sempit atau gelap,” ujarku.
“Ini
pasti sudah lama, bukan kejadian baru. Soalnya saya menemukan obat ini, jatuh
disamping Ibu Anda,” ujar dokter menunjukkan botol obat berikut resepnya. “Ini
resep penenang dan obat khusus claustropobhia,” lanjut dokter itu.
Aku
masih terheran-heran sepanjang jalan. Ibu takut gelap? Atau ruangan sempit? Ibu
tidak pernah bilang apa-apa. Atau aku yang selalu tidak mendengarkan?
Aku keluar
dari ruangan dokter Hanif dengan langkah berat. Air mataku menetes, sungguh....
ibu menanggung semuanya sendirian. Aku yang begitu egois. Itulah aku selalu
memikirkan diriku sendiri.
Aku
masuk ke ruang 101, tempat ibuku dirawat. Beliau tersenyum lemah, menyambut
kedatanganku. Aku mendekati ibu perlahan, air mataku mulai menetes.
“Anak
ibu menangis?” ibu bertanya padaku seperti biasanya. Aku benar-benar terharu.
Tangisku semakin keras saja. Ibu memelukku.
“Ibu.....
Rina tidak akan bertanya soal ayah lagi,” ujarku tulus, masih dalam pelukan
ibu.
“Tidak
Rin, ibu memang harus cerita,” ibu melepaskan pelukannya sambil membelaiku
manja. “Ini......,” ditunjukkannya sebuah foto tua. Ada empat orang disana, yang
pasti satunya ada ibuku, ada satu lagi perempuan dan dua laki-laki.
“Siapa
ini Bu?” tanyaku. Ibu menghela napas.
“Ini
ayahmu,” kata ibu menunjuk ke salah satu lelaki di foto itu. aku memperhatikan
foto itu dengan seksama, ayahku benar-benar tampan. Aku tersenyum.
“Ayahmu....
dia bukan laki-laki yang buruk sama sekali. Ibu tidak bisa bercerita. Ini
terlalu berat buat ibu. Bagaimana kalau kamu pergi sendiri mencari tahu?” kata
ibu sambil tersenyum.
“Ini
dimana Bu?” tanyaku lagi.
“Di
tempat asal ibu, di Poso, Sulawesi Tengah. Kejadiannya sudah lama sekali 15
tahun lalu. Kamu mungkin sudah lupa, waktu itu kamu masih kecil,” ujar ibu.
“Kalau kamu ada waktu, kamu boleh kesana. Sudah saatnya semuanya terbongkar,”
lanjut Ibu lagi.
“Tidak
perlu Ibu. Rina sudah puas hanya dengan Ibu saja,” ujarku tersenyum. Lebih dari
cukup buatku apabila ibu bahagia. Hari pernikahan juga sudah semakin dekat,
pamali kalau pergi jauh-jauh,” jawabku sambil memeluk ibu. Aku memutuskan untuk
tidak lagi memikirkan tentang ayahku. Mulai sekarang aku akan memperhatikan
ibu. Mas Hendra juga akan menjadi suamiku segera. Tidak ada lagi yang perlu
dikhawatirkan.
“Kamu
yakin Nak tidak ingin menemui ayahmu?” tanya ibuku lagi. Aku menggeleng. Yakin.
“Ibu
sendiri tidak menceritakan, berarti itu sangat menyakitkan. Ingatanku sebelum
umur 10 tahun juga menghilang, berarti memang harus disegel,” kataku sambil
memandang ibu. Ibu tersenyum sambil memegang kedua pipiku dengan kedua
tangannya. Hmmm... hangatnya.
___________________________________________________________
Hari
Minggu pagi, pukul 10.00. Aku mendapat panggilan dari kantor, padahal
jelas-jelas sekarang weekend. Aku berpikir keras kira-kira apa yang terjadi.
Sepanjang jalan, aku tidak tenang. Aku bahkan meninggalkan ibu sendirian di
rumah sakit.
Kecemasanku
semakin meningkat, ketika aku melihat pengacara-pengacara yang notabene adalah
beberapa rekan kerjaku sibuk mondar-mandir di depan ruangan pimpinan.
“Gawat
ini Bu Pengacara!” Nina, asistenku tampak sangat kebingungan.
“Ada
apa sih Nin?” aku bertanya penasaran. Kutengok Alda yang juga terlihat cemas. Iya,
pimpinan firma ini memang ayah Alda. Ketika aku memandangnya, ia menatapku
cukup lama, tatapan mata yang tidak biasa sepertinya prihatin. Ia langsung
berlari ke arahku, mengajakku masuk ke dalam.
“Ayo
masuk! Ayah sedang marah besar,” ujarnya lemah. Aku ikuti saja apa mau Alda.
Alda sudah membuka pintu sambil memberitahu ayahnya kalau aku sudah datang. Aku
sedikit tegang ketika melihat ekspresi ayah Alda, Prof. Santoso.
“Kamu
sudah baca ini? Ini koran hari ini!” kata Prof. Suroso membuang koran di
depanku. Aku membaca artikel utama dari koran itu berjudul ‘percobaan bunuh
diri istri anggota DPR RI, Didi Supriatna’. Aku benar-benar terkejut, yang
paling parahnya nama inisialku disebutkan, firma hukum tempatku berkerja, malah
disebutkan secara jelas nama dan tempatnya. Disebutkan bahwa aku menggunakan medical
record pasien, yang sudah jelas tidak bisa menjadi barang bukti, karena itu
ilegal.
“Apa?
Itu kan second opinion? Bukan medical record, Prof saya bisa
menjelaskan semua ini.................,” kataku tegas. Aku tidak terima
disalahkan begini.
“Kita
tidak bisa menghentikan media. Saya tahu Anda pengacara yang kompeten. Tapi
untuk meredam pemberitaan, sebaiknya Anda istirahat dulu! Bukankah Anda akan
segera menikah? Anggap saja cuti lebih awal,” Kalimat itu terdengar seperti
petir di siang bolong.
“Tunggu
dulu Prof! pemberitaan ini tinggal kita konfirmasi ulang dengan Pak Didi. Kita
bisa membuat press conference untuk mengungkapkan kebenarannya,” ujarku
memberi solusi.
“Tampaknya
Anda memang tidak membaca koran atau menonton televisi kemarin,” kata Prof
Santoso sambil menghela napas. “Ini saya perlihatkan video rekaman hasil
wawancara kemarin dengan Pak Didi.
“Iya,
saya hanya mengikuti perintah pengacara saya saja. Saya sama sekali tidak
berniat merebut anak-anak dari istri saya. Pengacara saya yang menasihati agar
saya membawa anak-anak ke tempat yang jauh karena resiko yang terjadi, mungkin
anak-anak saya akan diculik, melihat kondisi istri saya yang sakit jiwa,”
ungkap Pak Didi dengan wajah penuh kepalsuan. Aku
sangat geram. Orang ini.... menipu dan menikamku dari belakang. Teganya orang
ini. Ia memfitnahku demi imej politiknya. Sampah!!!!!!!
“Saya
mohon Nak Rina, let’s take a break!” kata Prof Santoso berubah menjadi
tidak formal. Aku memang akrab dengan Alda sejak masih SMA dulu. Dan semua
sikap ini, bukan sifat Prof Santoso yang biasanya ketika berada di kantor. Aku
tertunduk lemas, keluar dari ruangan Prof Santoso lunglai. Seseorang harus tahu
kapan dia mundur. Alda masih menunggu di depan kantor ayahnya, terkejut
melihatku keluar dari ruangan terlihat lesu sekali.
“Gimana
Rin?” tanyanya penasaran padaku.
“Bagaimana
Bu Pengacara?” Nina bertanya juga penasaran dengan apa yang terjadi di dalam.
Kupaksakan tersenyum melihat Alda dan Nina.
“Kayaknya
kita bakal libur lumayan lama Nin,” ujarku pelan. Nina menghela napas.
“So
are you suspended by my Dad?” Alda bertanya setengah berteriak kepadaku.
Kubalas saja dengan anggukan.
“Biar
aku yang bicara dengan ayah Rin!” Alda ingin menerobos masuk.
“Tidak
usah Da, emang semua ini salahku!” kataku melarang Alda. Takutnya ayahnya
semakin naik darah dibuat anaknya yang hot temperature ini. Aku tahu
Alda dan emosinya, berarti akan memicu pertengkaran hebat dengan ayahnya?
Aku
berjalan keluar firma dengan langkah gontai. Pekerjaan adalah segalanya bagiku,
sehingga aku bahkan memutuskan untuk tidak berbulan madu, dan akan mengambil
cuti tiga hari sebelum hari H. Namun kenyataannya aku harus mengambil liburan
lebih panjang dari perkiraanku. Sebenarnya tidak ada jeleknya juga. Aku jadi
bisa fokus pada persiapan pernikahan.
Ku
keluarkan handphoneku untuk menelepon Mas Hendra, namun tidak dijawab. Aku
memutuskan untuk ke kantornya saja, menunggunya sambil memberitahu kesedihanku.
Baru aku akan kembali ke rumah sakit untuk merawat ibu.
Sebenarnya
bekerja di firma hukum terkenal merupakan mimpiku sejak aku di bangku kuliah.
Aku sudah meraihnya. Aku digaji dengan gaji yang tinggi. Semua itu tentu sesuai
dengan budget dari klien-klienku yang notabene adalah pembesar dan artis. Hanya
saja satu resiko yang tidak pernah diberi di mata kuliah hukum manapun selama
aku kuliah, bahwa hidup di firma ini, kamu
harus menerima kasus apapun itu yang diberikan, siapapun klien yang akan
kamu hadapi. Entah itu bertentangan dengan hati nuranimu atau tidak. Bukannya aku tidak bersyukur, sesekali
pekerjaan ini membuatku dilema. Aku tetap tidak punya pilihan lain, selain
melakukan yang terbaik untuk klienku.
Itulah
yang menjadi bahan pikiranku, sampai taksi membawaku ke kantor kejaksaan. Aku
memutuskan kesana dan menunggu Mas Hendra, lebih tepatnya untuk dihibur. Tidak
ada salahnya ini terjadi, setidaknya aku punya waktu luang yang aku sendiri tak
tahu harus dihabiskan untuk mengerjakan apa.
Aku
menemukan investigator Dandi setengah mengantuk di ujung meja, ketika aku
hendak masuk ke ruangan Mas Hendra. Ia segera terbangun melihat aku datang.
“Dandi,
Pak Hendra ada di dalam?” tanyaku pada Dandi.
“Oh
iya Bu Pengacara, ada..... tapi Bu......,” omongan Dandi terputus, ketika aku
berdiri di depan pintu Mas Hendra. Terdengar suara yang sangat jelas di dalam.
Suara Mas Hendra.
“Ibu.......,”
Dandi hendak mengatakan sesuatu, tapi segera kuletakkan jari telunjukku diatas
bibir, sinyal untuk diam. Terdengar suara dari dalam.
“Itu
bisa diatur Pak, anak Bapak sudah pasti aman. Datang saja ke kejaksaan besok
sebagai formalitas, keluarganya hanya nelayan, beberapa lainnya juga bisa
diatur. Hanya saja kalau anak Bapak tidak datang sekarang, opini media terlalu
kuat. Tidak baik untuk imej bapak nantinya,” suara Mas Hendra disambung dengan
suara tawa dari Mas Hendra dan lawan bicaranya.
“Saya
sudah sediakan sedikit hadiah. Ini ada obat tradisional,” terdengar suara lain
yang mungkin lawan bicara Mas Hendra. Aku yang masih bingung, langsung masuk ke
kantor Mas Hendra.
“Permisi
Mas.... aku........,” belum selesai perkataanku, Mas Hendra langsung
memotongnya.
“Ini
tunangan saya Pak, Arina. Dia kerja di bidang hukum juga, pengacara Pak,” Mas
Hendra menjelaskan identitasku. Aku tidak punya pilihan saat itu selain
memperkenalkan diri.
“Oh,
saya tahu..... dia sedang hangat di media. Kasus Pak Didi Anda yang menangani
kan? Jaksa Hendra, kamu memilih orang yang tepat,” katanya terdengar seperti hinaan
di telingaku. Mas Hendra mencubit tanganku. Aku pun segera memperkenalkan diri
meskipun sedikit kesal.
“Saya
Arina. Senang bertemu Bapak!” ujarku sambil menjabat tangan kandidat kuat ketua
DPR RI, Bapak Andi Suseno. Pak Andi Suseno hanya mengangguk lalu tersenyum.
Baru-baru ini anaknya yang baru pulang kuliah dari Amerika tersandung kasus, ia
mabuk dan menabrak lima anak TK dan satu orang guru TK yang sedang yang
berjalan di zebra cross. Diantara lima anak TK, hanya satu yang selamat,
sedangkan sang guru tewas seketika terinjak mobil karena berusaha melindungi
murid-muridnya.
“Kamu
tidak mau duduk Sayang?” suara Mas Hendra membuyarkan lamunanku. Mas Hendra
yang aku anggap sempurna itu, entah mengapa aku begitu kecewa. Aku bingung,
kepalaku sakit.
“Mas....
aku...... kenapa Mas? Aku.....,” aku tak bisa melanjutkan kata-kataku lagi.
“Oh
iya, kamu sudah lihat gedungnya? Terus gaun pengantinnya bagaimana?” Mas Hendra
lagi-lagi memotong kalimatku.
“Mas,
aku rasa ini tidak benar, Mas....... anak orang itu menabrak lima orang anak TK
dan satu guru mereka Mas! Ini bukan saatnya kita membahas gedung atau gaun
pengantin kita!” kataku geram. Kesal dengan kelakuan Mas Hendra yang
berpura-pura tidak melakukan kesalahan apapun. Mas Hendra mendekat, lalu
memelukku kuat.
“Kita
hanya perlu menutup mata. Saat kita membuka mata semuanya sudah selesai,” ujar
Mas Hendra masih memelukku. Aku berontak, menolak pelukan Mas Hendra. Ia
kemudian melepasku. Aku mulai mundur, menjauh dari Mas Hendra. Pikiranku
benar-benar campur aduk. Aku tidak tahu lagi, kemana perginya Mas Hendra yang
aku temui 4 tahun yang lalu.
“Jangan
mendekat Mas!” Teriakku mengancam Mas Hendra yang ingin mendekatiku lagi. “Mas,
sepertinya pernikahan ini..... mari kita pikirkan dengan lebih matang. Ayo kita
berpisah sementara waktu dan saling instropeksi diri!” lanjutku. Pandanganku
mungkin terlihat seperti mengancam Mas hendra.
“Apa
yang salah dengan itu? bukannya kamu sendiri juga melakukan hal yang sama,
mengambil keuntungan dari masalah politisi dan artis? Semua itu demi apa? Demi
uang kan?” Mas Hendra terlihat geram. Nada suaranya terdengar tinggi, pertanda
ia sangat marah. Saat itu, aku merasa aku sudah benar-benar kehilangan Mas
Hendra.
“Aku
memang munafik Mas. Kamu juga. Hubungan kita juga adalah kemunafikan kita
berdua. Karena itulah ini tidak akan berhasil!” nada suaraku saat itu memang
cukup tinggi.
“Tunggu
dulu Rin! Aku tidak bermaksud begitu, kamu sudah salah paham. Iya sayang, aku
minta maaf! Ini semua salahku,” kata-kata Mas Hendra jelas memohon padaku.
Bagaimana pun aku tidak akan luluh. Apa yang dilakukan Mas Hendra, aku
benar-benar tidak dapat mengerti.
“Ini
bukan salah Mas Hendra, tapi aku. Aku yang bermasalah. Mas.... justru karena
itu kita harus memikirkan kembali pernikahan kita. Aku rasa kita terlalu
berbeda. Jangan hanya karena masalah ini di hari kita sudah menikah kelak,
malah membuat semuanya rusak,” ujarku sambil membuka pintu ruangan Mas Hendra.
“Tapi
Rin.......,” Mas Hendra menggengam tanganku. Aku menahan air mataku. Mas Hendra
membuatku merasa bersalah. Aku menepis tangannya pelan.
“Maaf
Mas......,” suaraku mulai bergetar menahan tangis. Mas Hendra akhirnya
melepaskan genggamannya. Aku keluar dari kantor sambil menangis. Kudengar dari
luar kantor, Mas Hendra marah dan membuang sesuatu sehingga terdengar bunyi
yang sangat keras. Aku tak tahu apa yang akan kulakukan. Pada akhirnya aku
memilih untuk angkat kaki dari kantor Mas Hendra tanpa berpaling sedikit pun.
Siang
itu aku menelepon Alda sambil menangis hebat. Alda yang mungkin kebingungan
dengan teleponku, memutuskan untuk bertemu denganku. Kita berdua pun berjanji
bertemu di kafe tempat biasa kami istirahat. Letak kafe tersebut memang tidak
jauh dari firma tempat kami bekerja.
Alda
datang tergopoh-gopoh, melihatku yang sedang duduk di salah satu meja tempat
favorit kami. Ia segera berlari ke arahku.
“Ada
apa Rin? Muka kamu sudah tidak karuan begitu,” kata Alda terkejut melihatku
dengan mata bengkak khas pasca fase menangis.
“Aku
putus sama Mas Hendra Da!” ujarku. Entah kenapa menyebutkan nama Mas Hendra
membuat air mataku semakin mengalir deras.
“What?????????
Kamu putus sama Mas Hendra? Jangan bercanda deh Rin! Kamu udah mau kawin sama
dia. Jangan gila Rin! Aku baru mau bilang undangan kamu baru saja selesai
dicetak loh!” Alda jelas sangat serius sekaligus terkejut dengan semua ini.
“Aku
benar-benar tidak tahu lagi Da, Mas Hendra yang dulu kemana. Kamu harus denger
ceritaku dulu!” ujarku lagi masih tersedu-sedu.
“Oke,
aku akan mendengarkan!” ujar Alda. “Tapi kamu tenangkan diri kamu dulu baru
cerita!” lanjutnya.
“Jadi
tadi Da aku.........,” begitulah aku menceritakan seluruh masalahku dengan Mas
Hendra kepada Alda. Alda mendengarkan sambil sesekali memberi komentar tentang
masalah itu.
“Aku
tidak bisa menyalahkan kamu juga,” suara Alda terdengar prihatin dengan
keadaanku. “Kalau aku jadi kamu, aku mungkin akan melakukan hal yang sama. Yang
harus kamu lakukan sekarang menguatkan hatimu. Apapun yang kamu pilih, aku
selalu mendukung kamu Rin!” lanjut Alda memberi semangat.
Pertemuan
kami berakhir. Alda harus segera kembali ke kantor karena ada urusan penting.
Aku sendiri hendak kembali ke rumah sakit. Sepanjang jalan menuju ke rumah
sakit, aku terus berpikir keras mengenai apa yang harus aku lakukan
selanjutnya. Aku benar-benar merasa bersalah pada Mas Hendra. Apa yang membuat
aku seperti ini. Bukankah aku sama saja dengan Mas Hendra? Berapa penderitaan
yang aku timbulkan dari kasus-kasus yang aku tangani? Aku tidak tahu. Aku
bahkan tidak lebih baik dari Mas Hendra. Ibu Anita juga merupakan korbanku.
Bagaimana dengan anak-anak korban perceraian? Pernahkah aku memikirkan perasaan
mereka?
Diantara
semua hal, sebenarnya hal ini yang paling aku sesalkan. Apa hakku untuk
menghakimi Mas Hendra seperti itu? Masing-masing dari kami terlalu terbawa arus
untuk kesuksesan dan uang. Hanya air mata yang terus mengalir membasahi pipiku.
Menyesal. Disaat seperti ini aku merasa aku memang perlu istirahat dari
hingar-bingar dunia hukum.
Entah
kenapa tidak ada angin ataupun hujan, tiba-tiba ide gila muncul di kepalaku.
Aku mengeluarkan foto 15 tahun yang lalu yang diberikan ibu. Aku berusaha
meyakinkan diriku tentang apa yang ingin kulakukan.
Pukul
15.00 aku telah tiba di rumah sakit P, tepatnya di ruangan 101, tempat ibuku
dirawat. Tergopoh-gopoh aku datang, sehingga membangunkan ibu yang sedang
tidur. Ibu berusaha untuk duduk, aku pun membantunya. Setelah itu aku segera
berlutut dihadapan ibu.
“Ibu
maaf, Rina tidak bermaksud mengecewakan Ibu. Tapi Rina harus ke kampung Ibu.
Rina benar-benar ingin melihat ayah kandung Rina!” kataku tegas masih berlutut
dihadapan ibu. Ibu sedikit terkejut, namun akhirnya tersenyum.
“Bagaimana
dengan Hendra? Dan pernikahan kamu?” ibuku tampak bingung dengan permintaanku
yang sangat mendadak.
“Tolong
Bu, Rina sedang tidak ingin membahas itu lagi, yang penting buat Rina sekarang
adalah ayah, tolong hargain keputusan Rina Bu,” ujarku memohon. Ibu tersenyum.
Membelaiku dengan penuh kasih sayang.
“Baiklah
Nak, kalau itu memang yang kamu inginkan!” suara ibu terdengar pasrah. Beliau
menyerahkan seluruh keputusan kepadaku.
______________________________________________________
“Panggilan
terakhir untuk penumpang dengan nomor penerbangan 703 pesawat lion air dengan
tujuan Makassar, segera menuju ke gerbang tiga, sekarang juga!”
Pengumuman
itu membuatku terkejut. Aku lari terburu-buru. Salahku sendiri karena tidak
cepat bangun, sehingga aku terjebak macet. Waktunya benar-benar terlalu mepet. Salahku
sendiri memilih penerbangan pagi pukul 06.00. Sekarang aku jadi kewalahan
sendiri. Setengah berlari aku menuju terowongan panjang. Alhamdulillah aku
masih bisa naik ke pesawat tepat waktu. Kulihat kursi hampir penuh. Nomor
kursiku sendiri 23 F, berarti letaknya di belakang.
Aku
akhirnya dapat menemukan kursiku. Untung saja kursiku diujung, sehingga aku
tidak perlu menggeser orang lain. Kulihat ada tiga kursi, ada seorang ibu-ibu
yang seusia ibuku diujung dekat jendela. Disebelahnya ada seorang laki-laki
usianya mungkin sama dengan Mas Hendra.
“Silahkan
duduk Mbak! Pesawat akan take off
sebentar lagi!” tegur pramugari yang tak tahu darimana ternyata sudah berdiri
dibelakangku. Aku menggangguk. Segera saja aku duduk dan memasang seat belt.
“Adoh,
bagaimana ini?” Ibu yang ada disamping lelaki menggunakan logat yang aku tidak
bisa mengerti. “Saya mabok Nak kalau di pesawat. Baru sakit telingaku badengar
suaranya pesawat ini,” lanjutnya agak sedikit panik. Ia mengorek badan lelaki
yang seusia Mas Hendra tadi.
Cowok
tadi reflek, ia melepas headphonenya, mungkin sedang mendengar musik. “Ada apa
Bu?” tanyanya.
“Mau
mabok kayaknya saya ini, bagaimana ini Nak?” tanyanya kepada si cowok. Aku
berusaha tidak terlibat, namun aku merasa tidak enak juga.
“Saya
ada obat anti mabuk Bu!” akhirnya aku memberi penawaran padanya. Kasihan juga
melihatnya. Ibu itu terlihat lega. Pesawat sudah take off, pramugari mulai
instruksi penyelamatan diri seperti biasanya. Tiba-tiba ibu itu hendak berdiri,
sepertinya ingin ke toilet. Pramugari sudah selesai melakukan instruksi,
kembali ke kabin. Ibu itu celingukan, wajahnya sangat pucat, khawatir juga aku
dibuatnya.
“Ibu
tidak apa-apa?” tanya cowok yang ada disebelahku mendahului keinginanku untuk
bertanya pada ibu itu. Tanpa diduga, ibu tadi langsung muntah dan pingsan.
Cowok tadi kena muntahan, sehingga terlihat shock. Kulihat obat yang kuberi
tadi ternyata belum diminum. Astaga.....
Aku
segera berlari ke pramugari untuk memberitahukan keadaan ibu tadi. Pramugari
tadi terlihat panik juga. Kutengok ke belakang, ternyata kursiku sudah dipenuhi
orang. Beberapa pramugari sibuk menenangkan orang yang mulai berkerumun tak
beraturan.
Karena
pesawat baru saja take off, maka demi
keselamatan si ibu, pesawat berbalik kembali ke bandara Soekarno-Hatta.
Beberapa petugas mulai mengangkut si ibu, beberapa mulai membersihkan. Beberapa
pramugari juga berulang kali meminta maaf padaku dan cowok yang terkena
muntahan ibu tadi.
Cowok
tadi sudah pergi, mungkin ganti baju. Aku sendiri masih sibuk duduk sambil
mengangkat kakiku karena petugas sibuk membersihkan tempat dudukku. Akhirrnya
karena melihatku agak terganggu, seorang pramugari menyuruhku duduk di kabin.
Si
cowok sudah kembali dari kamar mandi, sudah berganti baju. Ia berbicara singkat
dengan pramugari, Ia datang sambil tersenyum dan akhirnya dia duduk
disebelahku. Aku merasa sedikit tidak nyaman untuk mengacuhkan cowok itu. Aku
memutuskan untuk memulai percakapan.
“Oh
ya....!” tak diduga kami mengeluarkan kata yang sama. Si cowok salah tingkah.
Ia sendiri menggaruk kepalanya yang jelas tidak gatal.
“Silahkan
duluan!” Ia mempersilahkan aku bicara duluan.
“Anda
tidak apa-apa?” tanyaku. Ia tersenyum.
“Saya.....?
tenang saja, saya baik-baik saja,” ujarnya santai. “Oh ya kenalkan, saya
Albert. Anda?” tanyanya padaku. Ia mengulurkan tangannya.
“Saya
Arina,” kataku sambil menyambut uluran tangannya.
“Nama
yang bagus,” ujarnya lagi.
“Hari
yang berat ya?” ujarku tersenyum padanya. Ia juga tersenyum padaku.
“Tujuan
Anda kemana?” tanyanya lagi padaku.
“Saya
mau ke Palu, di Poso tepatnya,” jawabku singkat.
“Kalau
begitu, tujuan kita sama!” ujarnya lagi. “Apa kampung halaman Anda disana?”
tanyanya terdengar penasaran.
BERSAMBUNG.......

No comments:
Post a Comment