Saturday, 23 May 2015

Melepas Kenangan: Kisah Seorang Pengacara Perceraian (Bag. II)



 Kembali Ke Poso
Pagi hari, pukul 09.00......
Tit....tit....tit.....
Nada bunyi handphoneku berbunyi. Aku terbangun, menyadari matahari pagi yang menyengat sangat. Layar menunjukkan kontak ‘Mom’. Aku mengangkatnya setengah malas.
“Halo, iya Bu!” kataku singkat.
“Halo!” suara diseberang terdengar asing. Kayak suara lelaki, begitu di pikiranku. Kutengok kembali layar hpku, tapi benar kontaknya punya ibu. Seketika aku tersadar.
“Halo!” ujar orang yang diseberang setengah berteriak.
“Iya, maaf... ini nomor ibu saya, maaf.... Anda......,” aku terbata-bata mengucapkan kata-kata itu.
“Iya, ini dari rumah sakit. Ibu Anda ditemukan pingsan di lift rumah sakit kami. Di rumah sakit P,” ujar orang yang ditelepon. Aku panik. Rumah sakit P ya, berarti di rumah sakit ini. Tergopoh-gopoh aku lari dan segera bertanya pada resepsionis di ruangan mana ibuku dirawat. Ibuku tak sadarkan diri, tapi beliau baik-baik saja.
“Claustropobhia,” ujar dokter Hanif setelah selesai memeriksa ibuku. Kebetulan dokter Hanif pernah menjadi salah satu klienku. Tiga bulan yang lalu beliau baru saja resmi bercerai dengan istrinya yang juga seorang dokter.
“Kok saya nggak tahu ya Dok, kalau ibu saya claustrophobia. Tidak pernah ada tanda-tanda beliau takut dengan ruangan sempit atau gelap,” ujarku.
“Ini pasti sudah lama, bukan kejadian baru. Soalnya saya menemukan obat ini, jatuh disamping Ibu Anda,” ujar dokter menunjukkan botol obat berikut resepnya. “Ini resep penenang dan obat khusus claustropobhia,” lanjut dokter itu.
Aku masih terheran-heran sepanjang jalan. Ibu takut gelap? Atau ruangan sempit? Ibu tidak pernah bilang apa-apa. Atau aku yang selalu tidak mendengarkan?
Aku keluar dari ruangan dokter Hanif dengan langkah berat. Air mataku menetes, sungguh.... ibu menanggung semuanya sendirian. Aku yang begitu egois. Itulah aku selalu memikirkan diriku sendiri.
Aku masuk ke ruang 101, tempat ibuku dirawat. Beliau tersenyum lemah, menyambut kedatanganku. Aku mendekati ibu perlahan, air mataku mulai menetes.
“Anak ibu menangis?” ibu bertanya padaku seperti biasanya. Aku benar-benar terharu. Tangisku semakin keras saja. Ibu memelukku.
“Ibu..... Rina tidak akan bertanya soal ayah lagi,” ujarku tulus, masih dalam pelukan ibu.
“Tidak Rin, ibu memang harus cerita,” ibu melepaskan pelukannya sambil membelaiku manja. “Ini......,” ditunjukkannya sebuah foto tua. Ada empat orang disana, yang pasti satunya ada ibuku, ada satu lagi perempuan dan dua laki-laki.
“Siapa ini Bu?” tanyaku. Ibu menghela napas.
“Ini ayahmu,” kata ibu menunjuk ke salah satu lelaki di foto itu. aku memperhatikan foto itu dengan seksama, ayahku benar-benar tampan. Aku tersenyum.
“Ayahmu.... dia bukan laki-laki yang buruk sama sekali. Ibu tidak bisa bercerita. Ini terlalu berat buat ibu. Bagaimana kalau kamu pergi sendiri mencari tahu?” kata ibu sambil tersenyum.
“Ini dimana Bu?” tanyaku lagi.
“Di tempat asal ibu, di Poso, Sulawesi Tengah. Kejadiannya sudah lama sekali 15 tahun lalu. Kamu mungkin sudah lupa, waktu itu kamu masih kecil,” ujar ibu. “Kalau kamu ada waktu, kamu boleh kesana. Sudah saatnya semuanya terbongkar,” lanjut Ibu lagi.
“Tidak perlu Ibu. Rina sudah puas hanya dengan Ibu saja,” ujarku tersenyum. Lebih dari cukup buatku apabila ibu bahagia. Hari pernikahan juga sudah semakin dekat, pamali kalau pergi jauh-jauh,” jawabku sambil memeluk ibu. Aku memutuskan untuk tidak lagi memikirkan tentang ayahku. Mulai sekarang aku akan memperhatikan ibu. Mas Hendra juga akan menjadi suamiku segera. Tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan.
“Kamu yakin Nak tidak ingin menemui ayahmu?” tanya ibuku lagi. Aku menggeleng. Yakin.
“Ibu sendiri tidak menceritakan, berarti itu sangat menyakitkan. Ingatanku sebelum umur 10 tahun juga menghilang, berarti memang harus disegel,” kataku sambil memandang ibu. Ibu tersenyum sambil memegang kedua pipiku dengan kedua tangannya. Hmmm... hangatnya.
___________________________________________________________
Hari Minggu pagi, pukul 10.00. Aku mendapat panggilan dari kantor, padahal jelas-jelas sekarang weekend. Aku berpikir keras kira-kira apa yang terjadi. Sepanjang jalan, aku tidak tenang. Aku bahkan meninggalkan ibu sendirian di rumah sakit.
Kecemasanku semakin meningkat, ketika aku melihat pengacara-pengacara yang notabene adalah beberapa rekan kerjaku sibuk mondar-mandir di depan ruangan pimpinan.
“Gawat ini Bu Pengacara!” Nina, asistenku tampak sangat kebingungan.
“Ada apa sih Nin?” aku bertanya penasaran. Kutengok Alda yang juga terlihat cemas. Iya, pimpinan firma ini memang ayah Alda. Ketika aku memandangnya, ia menatapku cukup lama, tatapan mata yang tidak biasa sepertinya prihatin. Ia langsung berlari ke arahku, mengajakku masuk ke dalam.
“Ayo masuk! Ayah sedang marah besar,” ujarnya lemah. Aku ikuti saja apa mau Alda. Alda sudah membuka pintu sambil memberitahu ayahnya kalau aku sudah datang. Aku sedikit tegang ketika melihat ekspresi ayah Alda, Prof. Santoso.
“Kamu sudah baca ini? Ini koran hari ini!” kata Prof. Suroso membuang koran di depanku. Aku membaca artikel utama dari koran itu berjudul ‘percobaan bunuh diri istri anggota DPR RI, Didi Supriatna’. Aku benar-benar terkejut, yang paling parahnya nama inisialku disebutkan, firma hukum tempatku berkerja, malah disebutkan secara jelas nama dan tempatnya. Disebutkan bahwa aku menggunakan medical record pasien, yang sudah jelas tidak bisa menjadi barang bukti, karena itu ilegal.
“Apa? Itu kan second opinion? Bukan medical record, Prof saya bisa menjelaskan semua ini.................,” kataku tegas. Aku tidak terima disalahkan begini.
“Kita tidak bisa menghentikan media. Saya tahu Anda pengacara yang kompeten. Tapi untuk meredam pemberitaan, sebaiknya Anda istirahat dulu! Bukankah Anda akan segera menikah? Anggap saja cuti lebih awal,” Kalimat itu terdengar seperti petir di siang bolong.
“Tunggu dulu Prof! pemberitaan ini tinggal kita konfirmasi ulang dengan Pak Didi. Kita bisa membuat press conference untuk mengungkapkan kebenarannya,” ujarku memberi solusi.
“Tampaknya Anda memang tidak membaca koran atau menonton televisi kemarin,” kata Prof Santoso sambil menghela napas. “Ini saya perlihatkan video rekaman hasil wawancara kemarin dengan Pak Didi.
“Iya, saya hanya mengikuti perintah pengacara saya saja. Saya sama sekali tidak berniat merebut anak-anak dari istri saya. Pengacara saya yang menasihati agar saya membawa anak-anak ke tempat yang jauh karena resiko yang terjadi, mungkin anak-anak saya akan diculik, melihat kondisi istri saya yang sakit jiwa,” ungkap Pak Didi dengan wajah penuh kepalsuan. Aku sangat geram. Orang ini.... menipu dan menikamku dari belakang. Teganya orang ini. Ia memfitnahku demi imej politiknya. Sampah!!!!!!!
“Saya mohon Nak Rina, let’s take a break!” kata Prof Santoso berubah menjadi tidak formal. Aku memang akrab dengan Alda sejak masih SMA dulu. Dan semua sikap ini, bukan sifat Prof Santoso yang biasanya ketika berada di kantor. Aku tertunduk lemas, keluar dari ruangan Prof Santoso lunglai. Seseorang harus tahu kapan dia mundur. Alda masih menunggu di depan kantor ayahnya, terkejut melihatku keluar dari ruangan terlihat lesu sekali.
“Gimana Rin?” tanyanya penasaran padaku.
“Bagaimana Bu Pengacara?” Nina bertanya juga penasaran dengan apa yang terjadi di dalam. Kupaksakan tersenyum melihat Alda dan Nina.
“Kayaknya kita bakal libur lumayan lama Nin,” ujarku pelan. Nina menghela napas.
So are you suspended by my Dad?” Alda bertanya setengah berteriak kepadaku. Kubalas saja dengan anggukan.
“Biar aku yang bicara dengan ayah Rin!” Alda ingin menerobos masuk.
“Tidak usah Da, emang semua ini salahku!” kataku melarang Alda. Takutnya ayahnya semakin naik darah dibuat anaknya yang hot temperature ini. Aku tahu Alda dan emosinya, berarti akan memicu pertengkaran hebat dengan ayahnya?
Aku berjalan keluar firma dengan langkah gontai. Pekerjaan adalah segalanya bagiku, sehingga aku bahkan memutuskan untuk tidak berbulan madu, dan akan mengambil cuti tiga hari sebelum hari H. Namun kenyataannya aku harus mengambil liburan lebih panjang dari perkiraanku. Sebenarnya tidak ada jeleknya juga. Aku jadi bisa fokus pada persiapan pernikahan.
Ku keluarkan handphoneku untuk menelepon Mas Hendra, namun tidak dijawab. Aku memutuskan untuk ke kantornya saja, menunggunya sambil memberitahu kesedihanku. Baru aku akan kembali ke rumah sakit untuk merawat ibu.
Sebenarnya bekerja di firma hukum terkenal merupakan mimpiku sejak aku di bangku kuliah. Aku sudah meraihnya. Aku digaji dengan gaji yang tinggi. Semua itu tentu sesuai dengan budget dari klien-klienku yang notabene adalah pembesar dan artis. Hanya saja satu resiko yang tidak pernah diberi di mata kuliah hukum manapun selama aku kuliah, bahwa hidup di firma ini, kamu harus menerima kasus apapun itu yang diberikan, siapapun klien yang akan kamu hadapi. Entah itu bertentangan dengan hati nuranimu atau tidak.  Bukannya aku tidak bersyukur, sesekali pekerjaan ini membuatku dilema. Aku tetap tidak punya pilihan lain, selain melakukan yang terbaik untuk klienku.
Itulah yang menjadi bahan pikiranku, sampai taksi membawaku ke kantor kejaksaan. Aku memutuskan kesana dan menunggu Mas Hendra, lebih tepatnya untuk dihibur. Tidak ada salahnya ini terjadi, setidaknya aku punya waktu luang yang aku sendiri tak tahu harus dihabiskan untuk mengerjakan apa.
Aku menemukan investigator Dandi setengah mengantuk di ujung meja, ketika aku hendak masuk ke ruangan Mas Hendra. Ia segera terbangun melihat aku datang.
“Dandi, Pak Hendra ada di dalam?” tanyaku pada Dandi.
“Oh iya Bu Pengacara, ada..... tapi Bu......,” omongan Dandi terputus, ketika aku berdiri di depan pintu Mas Hendra. Terdengar suara yang sangat jelas di dalam. Suara Mas Hendra.
“Ibu.......,” Dandi hendak mengatakan sesuatu, tapi segera kuletakkan jari telunjukku diatas bibir, sinyal untuk diam. Terdengar suara dari dalam.
“Itu bisa diatur Pak, anak Bapak sudah pasti aman. Datang saja ke kejaksaan besok sebagai formalitas, keluarganya hanya nelayan, beberapa lainnya juga bisa diatur. Hanya saja kalau anak Bapak tidak datang sekarang, opini media terlalu kuat. Tidak baik untuk imej bapak nantinya,” suara Mas Hendra disambung dengan suara tawa dari Mas Hendra dan lawan bicaranya.
“Saya sudah sediakan sedikit hadiah. Ini ada obat tradisional,” terdengar suara lain yang mungkin lawan bicara Mas Hendra. Aku yang masih bingung, langsung masuk ke kantor Mas Hendra.
“Permisi Mas.... aku........,” belum selesai perkataanku, Mas Hendra langsung memotongnya.
“Ini tunangan saya Pak, Arina. Dia kerja di bidang hukum juga, pengacara Pak,” Mas Hendra menjelaskan identitasku. Aku tidak punya pilihan saat itu selain memperkenalkan diri.
“Oh, saya tahu..... dia sedang hangat di media. Kasus Pak Didi Anda yang menangani kan? Jaksa Hendra, kamu memilih orang yang tepat,” katanya terdengar seperti hinaan di telingaku. Mas Hendra mencubit tanganku. Aku pun segera memperkenalkan diri meskipun sedikit kesal.
“Saya Arina. Senang bertemu Bapak!” ujarku sambil menjabat tangan kandidat kuat ketua DPR RI, Bapak Andi Suseno. Pak Andi Suseno hanya mengangguk lalu tersenyum. Baru-baru ini anaknya yang baru pulang kuliah dari Amerika tersandung kasus, ia mabuk dan menabrak lima anak TK dan satu orang guru TK yang sedang yang berjalan di zebra cross. Diantara lima anak TK, hanya satu yang selamat, sedangkan sang guru tewas seketika terinjak mobil karena berusaha melindungi murid-muridnya.
“Kamu tidak mau duduk Sayang?” suara Mas Hendra membuyarkan lamunanku. Mas Hendra yang aku anggap sempurna itu, entah mengapa aku begitu kecewa. Aku bingung, kepalaku sakit.
“Mas.... aku...... kenapa Mas? Aku.....,” aku tak bisa melanjutkan kata-kataku lagi.
“Oh iya, kamu sudah lihat gedungnya? Terus gaun pengantinnya bagaimana?” Mas Hendra lagi-lagi memotong kalimatku.
“Mas, aku rasa ini tidak benar, Mas....... anak orang itu menabrak lima orang anak TK dan satu guru mereka Mas! Ini bukan saatnya kita membahas gedung atau gaun pengantin kita!” kataku geram. Kesal dengan kelakuan Mas Hendra yang berpura-pura tidak melakukan kesalahan apapun. Mas Hendra mendekat, lalu memelukku kuat.
“Kita hanya perlu menutup mata. Saat kita membuka mata semuanya sudah selesai,” ujar Mas Hendra masih memelukku. Aku berontak, menolak pelukan Mas Hendra. Ia kemudian melepasku. Aku mulai mundur, menjauh dari Mas Hendra. Pikiranku benar-benar campur aduk. Aku tidak tahu lagi, kemana perginya Mas Hendra yang aku temui 4 tahun yang lalu.
“Jangan mendekat Mas!” Teriakku mengancam Mas Hendra yang ingin mendekatiku lagi. “Mas, sepertinya pernikahan ini..... mari kita pikirkan dengan lebih matang. Ayo kita berpisah sementara waktu dan saling instropeksi diri!” lanjutku. Pandanganku mungkin terlihat seperti mengancam Mas hendra.
“Apa yang salah dengan itu? bukannya kamu sendiri juga melakukan hal yang sama, mengambil keuntungan dari masalah politisi dan artis? Semua itu demi apa? Demi uang kan?” Mas Hendra terlihat geram. Nada suaranya terdengar tinggi, pertanda ia sangat marah. Saat itu, aku merasa aku sudah benar-benar kehilangan Mas Hendra.
“Aku memang munafik Mas. Kamu juga. Hubungan kita juga adalah kemunafikan kita berdua. Karena itulah ini tidak akan berhasil!” nada suaraku saat itu memang cukup tinggi.
“Tunggu dulu Rin! Aku tidak bermaksud begitu, kamu sudah salah paham. Iya sayang, aku minta maaf! Ini semua salahku,” kata-kata Mas Hendra jelas memohon padaku. Bagaimana pun aku tidak akan luluh. Apa yang dilakukan Mas Hendra, aku benar-benar tidak dapat mengerti.
“Ini bukan salah Mas Hendra, tapi aku. Aku yang bermasalah. Mas.... justru karena itu kita harus memikirkan kembali pernikahan kita. Aku rasa kita terlalu berbeda. Jangan hanya karena masalah ini di hari kita sudah menikah kelak, malah membuat semuanya rusak,” ujarku sambil membuka pintu ruangan Mas Hendra.
“Tapi Rin.......,” Mas Hendra menggengam tanganku. Aku menahan air mataku. Mas Hendra membuatku merasa bersalah. Aku menepis tangannya pelan.
“Maaf Mas......,” suaraku mulai bergetar menahan tangis. Mas Hendra akhirnya melepaskan genggamannya. Aku keluar dari kantor sambil menangis. Kudengar dari luar kantor, Mas Hendra marah dan membuang sesuatu sehingga terdengar bunyi yang sangat keras. Aku tak tahu apa yang akan kulakukan. Pada akhirnya aku memilih untuk angkat kaki dari kantor Mas Hendra tanpa berpaling sedikit pun.
Siang itu aku menelepon Alda sambil menangis hebat. Alda yang mungkin kebingungan dengan teleponku, memutuskan untuk bertemu denganku. Kita berdua pun berjanji bertemu di kafe tempat biasa kami istirahat. Letak kafe tersebut memang tidak jauh dari firma tempat kami bekerja.
Alda datang tergopoh-gopoh, melihatku yang sedang duduk di salah satu meja tempat favorit kami. Ia segera berlari ke arahku.
“Ada apa Rin? Muka kamu sudah tidak karuan begitu,” kata Alda terkejut melihatku dengan mata bengkak khas pasca fase menangis.
“Aku putus sama Mas Hendra Da!” ujarku. Entah kenapa menyebutkan nama Mas Hendra membuat air mataku semakin mengalir deras.
What????????? Kamu putus sama Mas Hendra? Jangan bercanda deh Rin! Kamu udah mau kawin sama dia. Jangan gila Rin! Aku baru mau bilang undangan kamu baru saja selesai dicetak loh!” Alda jelas sangat serius sekaligus terkejut dengan semua ini.
“Aku benar-benar tidak tahu lagi Da, Mas Hendra yang dulu kemana. Kamu harus denger ceritaku dulu!” ujarku lagi masih tersedu-sedu.
“Oke, aku akan mendengarkan!” ujar Alda. “Tapi kamu tenangkan diri kamu dulu baru cerita!” lanjutnya.
“Jadi tadi Da aku.........,” begitulah aku menceritakan seluruh masalahku dengan Mas Hendra kepada Alda. Alda mendengarkan sambil sesekali memberi komentar tentang masalah itu.
“Aku tidak bisa menyalahkan kamu juga,” suara Alda terdengar prihatin dengan keadaanku. “Kalau aku jadi kamu, aku mungkin akan melakukan hal yang sama. Yang harus kamu lakukan sekarang menguatkan hatimu. Apapun yang kamu pilih, aku selalu mendukung kamu Rin!” lanjut Alda memberi semangat.
Pertemuan kami berakhir. Alda harus segera kembali ke kantor karena ada urusan penting. Aku sendiri hendak kembali ke rumah sakit. Sepanjang jalan menuju ke rumah sakit, aku terus berpikir keras mengenai apa yang harus aku lakukan selanjutnya. Aku benar-benar merasa bersalah pada Mas Hendra. Apa yang membuat aku seperti ini. Bukankah aku sama saja dengan Mas Hendra? Berapa penderitaan yang aku timbulkan dari kasus-kasus yang aku tangani? Aku tidak tahu. Aku bahkan tidak lebih baik dari Mas Hendra. Ibu Anita juga merupakan korbanku. Bagaimana dengan anak-anak korban perceraian? Pernahkah aku memikirkan perasaan mereka?
Diantara semua hal, sebenarnya hal ini yang paling aku sesalkan. Apa hakku untuk menghakimi Mas Hendra seperti itu? Masing-masing dari kami terlalu terbawa arus untuk kesuksesan dan uang. Hanya air mata yang terus mengalir membasahi pipiku. Menyesal. Disaat seperti ini aku merasa aku memang perlu istirahat dari hingar-bingar dunia hukum.
Entah kenapa tidak ada angin ataupun hujan, tiba-tiba ide gila muncul di kepalaku. Aku mengeluarkan foto 15 tahun yang lalu yang diberikan ibu. Aku berusaha meyakinkan diriku tentang apa yang ingin kulakukan.
Pukul 15.00 aku telah tiba di rumah sakit P, tepatnya di ruangan 101, tempat ibuku dirawat. Tergopoh-gopoh aku datang, sehingga membangunkan ibu yang sedang tidur. Ibu berusaha untuk duduk, aku pun membantunya. Setelah itu aku segera berlutut dihadapan ibu.
“Ibu maaf, Rina tidak bermaksud mengecewakan Ibu. Tapi Rina harus ke kampung Ibu. Rina benar-benar ingin melihat ayah kandung Rina!” kataku tegas masih berlutut dihadapan ibu. Ibu sedikit terkejut, namun akhirnya tersenyum.
“Bagaimana dengan Hendra? Dan pernikahan kamu?” ibuku tampak bingung dengan permintaanku yang sangat mendadak.
“Tolong Bu, Rina sedang tidak ingin membahas itu lagi, yang penting buat Rina sekarang adalah ayah, tolong hargain keputusan Rina Bu,” ujarku memohon. Ibu tersenyum. Membelaiku dengan penuh kasih sayang.
“Baiklah Nak, kalau itu memang yang kamu inginkan!” suara ibu terdengar pasrah. Beliau menyerahkan seluruh keputusan kepadaku.
______________________________________________________
“Panggilan terakhir untuk penumpang dengan nomor penerbangan 703 pesawat lion air dengan tujuan Makassar, segera menuju ke gerbang tiga, sekarang juga!”
Pengumuman itu membuatku terkejut. Aku lari terburu-buru. Salahku sendiri karena tidak cepat bangun, sehingga aku terjebak macet. Waktunya benar-benar terlalu mepet. Salahku sendiri memilih penerbangan pagi pukul 06.00. Sekarang aku jadi kewalahan sendiri. Setengah berlari aku menuju terowongan panjang. Alhamdulillah aku masih bisa naik ke pesawat tepat waktu. Kulihat kursi hampir penuh. Nomor kursiku sendiri 23 F, berarti letaknya di belakang.
Aku akhirnya dapat menemukan kursiku. Untung saja kursiku diujung, sehingga aku tidak perlu menggeser orang lain. Kulihat ada tiga kursi, ada seorang ibu-ibu yang seusia ibuku diujung dekat jendela. Disebelahnya ada seorang laki-laki usianya mungkin sama dengan Mas Hendra.
“Silahkan duduk Mbak! Pesawat akan take off sebentar lagi!” tegur pramugari yang tak tahu darimana ternyata sudah berdiri dibelakangku. Aku menggangguk. Segera saja aku duduk dan memasang seat belt.
“Adoh, bagaimana ini?” Ibu yang ada disamping lelaki menggunakan logat yang aku tidak bisa mengerti. “Saya mabok Nak kalau di pesawat. Baru sakit telingaku badengar suaranya pesawat ini,” lanjutnya agak sedikit panik. Ia mengorek badan lelaki yang seusia Mas Hendra tadi.
Cowok tadi reflek, ia melepas headphonenya, mungkin sedang mendengar musik. “Ada apa Bu?” tanyanya.
“Mau mabok kayaknya saya ini, bagaimana ini Nak?” tanyanya kepada si cowok. Aku berusaha tidak terlibat, namun aku merasa tidak enak juga.
“Saya ada obat anti mabuk Bu!” akhirnya aku memberi penawaran padanya. Kasihan juga melihatnya. Ibu itu terlihat lega. Pesawat sudah take off, pramugari mulai instruksi penyelamatan diri seperti biasanya. Tiba-tiba ibu itu hendak berdiri, sepertinya ingin ke toilet. Pramugari sudah selesai melakukan instruksi, kembali ke kabin. Ibu itu celingukan, wajahnya sangat pucat, khawatir juga aku dibuatnya.
“Ibu tidak apa-apa?” tanya cowok yang ada disebelahku mendahului keinginanku untuk bertanya pada ibu itu. Tanpa diduga, ibu tadi langsung muntah dan pingsan. Cowok tadi kena muntahan, sehingga terlihat shock. Kulihat obat yang kuberi tadi ternyata belum diminum. Astaga.....
Aku segera berlari ke pramugari untuk memberitahukan keadaan ibu tadi. Pramugari tadi terlihat panik juga. Kutengok ke belakang, ternyata kursiku sudah dipenuhi orang. Beberapa pramugari sibuk menenangkan orang yang mulai berkerumun tak beraturan.
Karena pesawat baru saja take off, maka demi keselamatan si ibu, pesawat berbalik kembali ke bandara Soekarno-Hatta. Beberapa petugas mulai mengangkut si ibu, beberapa mulai membersihkan. Beberapa pramugari juga berulang kali meminta maaf padaku dan cowok yang terkena muntahan ibu tadi.
Cowok tadi sudah pergi, mungkin ganti baju. Aku sendiri masih sibuk duduk sambil mengangkat kakiku karena petugas sibuk membersihkan tempat dudukku. Akhirrnya karena melihatku agak terganggu, seorang pramugari menyuruhku duduk di kabin.
Si cowok sudah kembali dari kamar mandi, sudah berganti baju. Ia berbicara singkat dengan pramugari, Ia datang sambil tersenyum dan akhirnya dia duduk disebelahku. Aku merasa sedikit tidak nyaman untuk mengacuhkan cowok itu. Aku memutuskan untuk memulai percakapan.
“Oh ya....!” tak diduga kami mengeluarkan kata yang sama. Si cowok salah tingkah. Ia sendiri menggaruk kepalanya yang jelas tidak gatal.
“Silahkan duluan!” Ia mempersilahkan aku bicara duluan.
“Anda tidak apa-apa?” tanyaku. Ia tersenyum.
“Saya.....? tenang saja, saya baik-baik saja,” ujarnya santai. “Oh ya kenalkan, saya Albert. Anda?” tanyanya padaku. Ia mengulurkan tangannya.
“Saya Arina,” kataku sambil menyambut uluran tangannya.
“Nama yang bagus,” ujarnya lagi.
“Hari yang berat ya?” ujarku tersenyum padanya. Ia juga tersenyum padaku.
“Tujuan Anda kemana?” tanyanya lagi padaku.
“Saya mau ke Palu, di Poso tepatnya,” jawabku singkat.
“Kalau begitu, tujuan kita sama!” ujarnya lagi. “Apa kampung halaman Anda disana?” tanyanya terdengar penasaran.
BERSAMBUNG.......

No comments:

Post a Comment