“Tolong!
Tolong.........!” suara dari seberang sana.
“Rupanya
masih ada yang hidup, hah..... bodoh! Ayo kita bunuh semuanya!” suara
orang-orang tertawa. Saat itu aku memegang hidungku dan masuk ke dalam sungai.
Selanjutnya aku sendiri tidak tahu lagi apa yang terjadi.
Aku
sekarang sadar mengapa ibuku sampai mengidap claustrophobia. Tanpa aku sadari,
saat itu juga aku pingsan di dua waktu dan tempat berbeda. Di memoriku dan di
kehidupan nyata.
______________________________________________________
Aku
bangun keesokan harinya, terkejut di dahiku ada kompres. Tempat ini juga
rasanya asing, tapi jelas ini bukan rumah sakit. Kepalaku rasanya akan pecah,
rasanya sakit sekali. Kulihat infus di tangan kiriku.
Aku
ingin ke kamar mandi. Tak seorang pun ada di kamar itu, aku memutuskan untuk ke
kamar mandi sendiri. Ketika aku berusaha berdiri, rasanya keseimbanganku mulai
goyah lagi.
“Astaga.....
apa yang kamu lakukan?” suara Albert mengagetkanku. Ia berusaha memapahku.
“Aku
mau ke kamar mandi,” jawabku malu-malu. Albert memapahku sampai ke depan pintu
ke kamar mandi.
“Hati-hati
yah!” ia berusaha memperingatkanku. Dia mungkin khawatir melihat keadaanku yang
tidak stabil.
“Ma....af!”
kataku sambil menggigit bibir.
“Tidak
usah minta maaf. Kamu.... tidak salah apa-apa kok!” ujar Albert.
“Ma.....af....!”
kali ini aku benar-benar merasa bersalah.
“AKU
KAN SUDAH BILANG TIDAK USAH MINTA MAAF, MEMANGNYA KAMU SALAH APA?” bentak
Albert. Aku terkejut tapi tidak bisa berbuat apa-apa. “Huft... sorry aku lagi
emosi!” ia meminta maaf.
Aku
segera masuk ke dalam kamar mandi untuk melaksanakan hajatku semula. Aku baru
sadar, aku mungkin ada di kamar Albert.
“Kita
ada dimana?” tanyaku kepada Albert dari dalam kamar mandi.
“Ini
kamarku, aku bawa kamu kesini, soalnya rumah sakit kalau hari minggu begini
pada tidak ada dokternya juga, rugi kesana. Kebetulan aku ada kenalan dokter di
sekitar sini, hasil pemeriksaannya sih kamu cuma kecapekan saja, tapi sampai di
Jakarta kamu tetap harus periksa lagi,” jawab Albert dari luar. Aku mengangguk
saja. Sekaligus lega karena sudah buang hajat.
Aku
membuka pintu kamar mandi. Albert sudah menungguku di depan pintu. Hati-hati ia
memapahku ke tempat tidur. Aku berusaha untuk berperilaku sebiasa mungkin.
Padahal hatiku jelas berdebar tak karuan. Digendongnya aku ke tempat tidur.
Lalu dia menyelimutiku.
“Terima
kasih, nanti begitu tiba di Jakarta akan langsung aku transfer uang guidenya,”
ujarku tulus. Albert tersenyum duduk disamping ranjang tempat aku tidur.
“Tidak
perlu, aku juga sudah dapat pengalaman baru. Jadi kita impas,” ujarnya santai.
Ditatapnya aku tajam. Jantungku berdebar semakin kencang. Aku tak sadar ketika
ia mulai mendekatkan wajahnya ke wajahku. Wajah kami sudah sangat dekat satu
sama lain mungkin hanya berjarak 2-3 cm. Saat itu entah mengapa seperti
kehilangan akal, aku menutup mataku. Tidak sadar akan keinginanku yang begitu
besar untuk memiliki lelaki ini. Aku tak tahu lagi, kemana wanita realistis dan
setia itu. hanya sesaat mungkin satu detik sebelum moment pengkhianatanku
terjadi, bayangan Mas Hendra berkelebat begitu saja di pikiranku. Segera aku
membuka mata, sadar bahwa aku tergoda. Wajahku segera aku miringkan menghindar
dari Albert. Albert membuka matanya karena sadar dengan gerakanku yang
menjauhinya.
“Aku
minta maaf....... aku........,” terbata-bata aku mengungkapkan perasaanku
kepada Albert.
“Kamu
sudah punya tunangan kan? Hendra!” kata Albert tegas. Aku terkejut mendengar
penuturannya. Aku membalikkan badanku ke arahnya. Kali ini aku berusaha bangun,
meskipun kepalaku masih pusing.
“Kok
kamu bisa tahu?” tanyaku heran. Sebagai pengacara, aku mmiliki insting yang
kurang baik tentang ini.
“Hendra,
dia..... memintaku untuk menjaga kamu. Dia takut kamu kesini sendirian. Kamu
jangan berpikiran yang aneh-aneh tentang dia. Aku dan Hendra teman akrab dari
kami masih di panti,” Albert tertunduk lemas. Nada suaranya juga lemah, “Aku
minta maaf!” ujarnya.
Entah
setan apa yang merasukiku. Tapi aku benar-benar merasa dipermainkan. Plaak!!!!
Aku tampar Albert keras. Ia masih tidak bergeming.
“Lakukan
saja kalau itu memang bisa membuat kamu lega!” kata Albert masih tidak
bergeming. Aku kehabisan kata-kata.
“Aku
tidak mau lihat wajah kamu lagi disini. Selagi aku masih menghargai kamu,
tolong..... keluar dari .......sini......!” suaraku mulai terdengar bergetar
menahan tangis. Benar-benar tidak tahu lagi bagaimana harus menghadapi semua
ini. Aku dengar Albert keluar perlahan dari kamar itu. Isak tangisku akhirnya
mulai terdengar keseluruh ruangan. Begini ternyata rasanya dikhianati dengan
orang yang kamu percayai. Seperti ibu dan ayahku.
Aku
ambil telepon genggamku mencari kontak ‘Mas Hendra’. Aku mulai menunggu
jawaban.
“Halo
Rin, gimana keadaan kamu?” tanya Mas Hendra menjawab telepon. Suaranya
terdengar lega dan senang.
“Mas,
tolong jemput aku disini sekarang juga! Kita harus bicara!” kataku serius. “Aku
tunggu Mas disini! Aku sudah tahu semuanya!” kata-kataku mengekspresikan kalau
aku sedang menahan marah.
“Baiklah,
tunggu saja disitu. Mas akan jemput kamu!” jawaban dari sana terdengar lesu.
___________________________________________________________
Dua
tahun kemudian.
Aku
sedang makan dengan Mas Hendra di sebuah restoran terkenal di Jakarta. Seperti
biasa kami membahas kasus-kasus yang kami temukan di lapangan.
“Kamu
tidak menyesal mengundurkan diri dari firma ayahnya Alda?” tanya Mas Hendra
kepadaku penasaran. :”Bukankah bekerja di firma besar itu adalah keinginanmu
sejak dulu?” lanjutnya.
“Memang
iya,” ujarku tersenyum. “Tapi aku sudah putuskan untuk bekerja jadi probono
(sebutan untuk pengacara nonprofit) saja.” Lanjutku. Dalam hatiku sangat lega
bisa melepaskan kaum elit kapitalis yang membelenggu diriku. Butuh keberanian
untuk melakukan hal ini. Namun aku sudah membulatkan tekad untuk menjadi orang
yang lebih baik.
“Kamu
selalu prinsipil dan realistis. Itu pesona kamu dari dulu,” Mas Hendra
memujiku. Ia menyuruput Americano dengan santai.
“Aku
sudah bukan penganut aliran realistis lagi, sekarang aku penganut aliran
idealis Mas,” lanjutku lagi sambil menyeruput caffe latteku.
“Oh
iya, aku bawakan Ibu sweater domba dari Australi,” Mas Hendra menunjukkanku
sweater putih yang cantik. “Kira-kira Ibu suka tidak ya?”
“Dia
pasti suka apa pun yang kamu kasih Mas. Mampirlah nanti ke rumah. Mas kan baru
dua minggu pulang dari bulan madu di Australi, jangan lupa nanti Sinta dibawa
juga. Kemarin dia telpon aku, katanya dia mungkin ngidam, soalnya pengen banget
rambutan hijau,” kataku meledek Mas Hendra, yang baru saja menikah sebulan
lalu.
Mas
Hendra tersenyum, dilihatnya jam tangan. “Aduh, aku mesti ke pengadilan
sekarang, ada kasus penting!” ujarnya terburu-buru. “Tapi kamu tidak pernah
ketemu Albert lagi selama ini?” tanya Mas Hendra.
“Tidaklah,
aku sudah tidak punya muka ketemu dia setelah kejadian di Poso, dua tahun lalu,”
kataku tegas. Meskipun dalam hati ada sedikit hal yang mengganggu.
“Kamu
jangan begitulah! Jangan terlalu cool jadi cewek! Yakin tidak menyesal
nanti, aku punya nomornya loh!” tawaran Mas Hendra terdengar menarik.
Aku
mulai berpikir lagi. Sialnya aku memang rindu setengah mati dengan pria itu.
“Boleh tidak aku minta nomor dia? Soalnya aku kan ada utang sama dia. Kita dulu
pernah buat kontrak. Aku belum sempat bayar dia,” kataku mencari-cari alasan.
“Kalian
berdua ini ada apa sih sebenarnya? Kalau suka bilang suka, kalau tidak ya tidak!
Sudah pada besar juga, kalau tidak ada yang membuat pergerakan duluan, tidak
akan ada sesuatu yang terjadi!” Mas Hendra menasihati panjang-lebar.
“Sudah
Mas, mana nomornya? Harga diriku keburu habis nih!” kali ini aku benar-benar
kehilangan gengsiku yang tinggi.
“Nih!”
disodorkannya telepon genggamnya kepadaku. Aku segera menyalinnya ke telepon
genggamku.
“Makasih
Mas!” kataku sambil mengembalikan telepon genggam Mas Hendra.
“Ya
sudah aku ke pengadilan dulu!” Mas Hendra pergi sambil melambaikan tangannya.
Tangan kanannya diangkat menunjukkan isyarat seperti orang menelepon. Aku hanya
bisa geleng-geleng kepala.
Kepergian
Mas Hendra membuatku bingung akan langkah selanjutnya yang harus aku lakukan.
Kalau aku menelepon Albert, bagaimana kalau dia langsung mematikan teleponku.
Lagi-lagi ketakutan yang tak beralasan. Entah mengapa kali ini aku merasa jika
aku tidak menelepon sekarang, aku akan menyesal selamanya. Akhirnya aku
membulatkan tekad untuk meneleponnya. Ragu-ragu aku membuka kontak yang baru
kusimpan tadi. Aku tekan panggilan.
Lagu
potongan reff lucky terdengar jelas dibelakangku. Aku segera berpaling dan
terkejut melihat sosok yang berdiri disana. Ia tersenyum.
“Albert......,”
spontan saja kata itu terlontar dari mulutku. Albert segera meletakkan jari
telunjuk kanannya diatas bibirnya. Sinyal kepadaku untuk diam.
“Hmmmm.....
perkenalkan saya Albert Puruhita, profesi saya sebagai dosen. Dan Anda?”
tanyanya sambil tersenyum menawan.
“Hmmmmm....
saya Arina, profesi saya pengacara,” jawabku sambil tersenyum juga. Kami saling
berjabat tangan. Memulai kembali sebagai orang yang lebih baik.
Saat
ini aku ingat perkataan ibuku setelah kepulanganku dari Poso. Aku harus
melepaskan seluruh kenangan buruk disana. Melepaskan orang-orang yang bersalah
dan berkhianat. Melepaskan semua, biar Tuhan yang mengatur semuanya. Karena
untuk menjadi bahagia, kita perlu melepaskan beberapa kenangan. Menyadari bahwa
kita tidak hidup di masa lalu, tapi di masa kini.