Monday, 15 June 2015

Melepas kenangan: Kisah Seorang Pengacara Perceraian (The End)





“Tolong! Tolong.........!” suara dari seberang sana.
“Rupanya masih ada yang hidup, hah..... bodoh! Ayo kita bunuh semuanya!” suara orang-orang tertawa. Saat itu aku memegang hidungku dan masuk ke dalam sungai. Selanjutnya aku sendiri tidak tahu lagi apa yang terjadi.
Aku sekarang sadar mengapa ibuku sampai mengidap claustrophobia. Tanpa aku sadari, saat itu juga aku pingsan di dua waktu dan tempat berbeda. Di memoriku dan di kehidupan nyata.
______________________________________________________
Aku bangun keesokan harinya, terkejut di dahiku ada kompres. Tempat ini juga rasanya asing, tapi jelas ini bukan rumah sakit. Kepalaku rasanya akan pecah, rasanya sakit sekali. Kulihat infus di tangan kiriku.
Aku ingin ke kamar mandi. Tak seorang pun ada di kamar itu, aku memutuskan untuk ke kamar mandi sendiri. Ketika aku berusaha berdiri, rasanya keseimbanganku mulai goyah lagi.
“Astaga..... apa yang kamu lakukan?” suara Albert mengagetkanku. Ia berusaha memapahku.
“Aku mau ke kamar mandi,” jawabku malu-malu. Albert memapahku sampai ke depan pintu ke kamar mandi.
“Hati-hati yah!” ia berusaha memperingatkanku. Dia mungkin khawatir melihat keadaanku yang tidak stabil.
“Ma....af!” kataku sambil menggigit bibir.
“Tidak usah minta maaf. Kamu.... tidak salah apa-apa kok!” ujar Albert.
“Ma.....af....!” kali ini aku benar-benar merasa bersalah.
“AKU KAN SUDAH BILANG TIDAK USAH MINTA MAAF, MEMANGNYA KAMU SALAH APA?” bentak Albert. Aku terkejut tapi tidak bisa berbuat apa-apa. “Huft... sorry aku lagi emosi!” ia meminta maaf.
Aku segera masuk ke dalam kamar mandi untuk melaksanakan hajatku semula. Aku baru sadar, aku mungkin ada di kamar Albert.
“Kita ada dimana?” tanyaku kepada Albert dari dalam kamar mandi.
“Ini kamarku, aku bawa kamu kesini, soalnya rumah sakit kalau hari minggu begini pada tidak ada dokternya juga, rugi kesana. Kebetulan aku ada kenalan dokter di sekitar sini, hasil pemeriksaannya sih kamu cuma kecapekan saja, tapi sampai di Jakarta kamu tetap harus periksa lagi,” jawab Albert dari luar. Aku mengangguk saja. Sekaligus lega karena sudah buang hajat.
Aku membuka pintu kamar mandi. Albert sudah menungguku di depan pintu. Hati-hati ia memapahku ke tempat tidur. Aku berusaha untuk berperilaku sebiasa mungkin. Padahal hatiku jelas berdebar tak karuan. Digendongnya aku ke tempat tidur. Lalu dia menyelimutiku.
“Terima kasih, nanti begitu tiba di Jakarta akan langsung aku transfer uang guidenya,” ujarku tulus. Albert tersenyum duduk disamping ranjang tempat aku tidur.
“Tidak perlu, aku juga sudah dapat pengalaman baru. Jadi kita impas,” ujarnya santai. Ditatapnya aku tajam. Jantungku berdebar semakin kencang. Aku tak sadar ketika ia mulai mendekatkan wajahnya ke wajahku. Wajah kami sudah sangat dekat satu sama lain mungkin hanya berjarak 2-3 cm. Saat itu entah mengapa seperti kehilangan akal, aku menutup mataku. Tidak sadar akan keinginanku yang begitu besar untuk memiliki lelaki ini. Aku tak tahu lagi, kemana wanita realistis dan setia itu. hanya sesaat mungkin satu detik sebelum moment pengkhianatanku terjadi, bayangan Mas Hendra berkelebat begitu saja di pikiranku. Segera aku membuka mata, sadar bahwa aku tergoda. Wajahku segera aku miringkan menghindar dari Albert. Albert membuka matanya karena sadar dengan gerakanku yang menjauhinya.
“Aku minta maaf....... aku........,” terbata-bata aku mengungkapkan perasaanku kepada Albert.
“Kamu sudah punya tunangan kan? Hendra!” kata Albert tegas. Aku terkejut mendengar penuturannya. Aku membalikkan badanku ke arahnya. Kali ini aku berusaha bangun, meskipun kepalaku masih pusing.
“Kok kamu bisa tahu?” tanyaku heran. Sebagai pengacara, aku mmiliki insting yang kurang baik tentang ini.
“Hendra, dia..... memintaku untuk menjaga kamu. Dia takut kamu kesini sendirian. Kamu jangan berpikiran yang aneh-aneh tentang dia. Aku dan Hendra teman akrab dari kami masih di panti,” Albert tertunduk lemas. Nada suaranya juga lemah, “Aku minta maaf!” ujarnya.
Entah setan apa yang merasukiku. Tapi aku benar-benar merasa dipermainkan. Plaak!!!! Aku tampar Albert keras. Ia masih tidak bergeming.
“Lakukan saja kalau itu memang bisa membuat kamu lega!” kata Albert masih tidak bergeming. Aku kehabisan kata-kata.
“Aku tidak mau lihat wajah kamu lagi disini. Selagi aku masih menghargai kamu, tolong..... keluar dari .......sini......!” suaraku mulai terdengar bergetar menahan tangis. Benar-benar tidak tahu lagi bagaimana harus menghadapi semua ini. Aku dengar Albert keluar perlahan dari kamar itu. Isak tangisku akhirnya mulai terdengar keseluruh ruangan. Begini ternyata rasanya dikhianati dengan orang yang kamu percayai. Seperti ibu dan ayahku.
Aku ambil telepon genggamku mencari kontak ‘Mas Hendra’. Aku mulai menunggu jawaban.
“Halo Rin, gimana keadaan kamu?” tanya Mas Hendra menjawab telepon. Suaranya terdengar lega dan senang.
“Mas, tolong jemput aku disini sekarang juga! Kita harus bicara!” kataku serius. “Aku tunggu Mas disini! Aku sudah tahu semuanya!” kata-kataku mengekspresikan kalau aku sedang menahan marah.
“Baiklah, tunggu saja disitu. Mas akan jemput kamu!” jawaban dari sana terdengar lesu.
___________________________________________________________
Dua tahun kemudian.
Aku sedang makan dengan Mas Hendra di sebuah restoran terkenal di Jakarta. Seperti biasa kami membahas kasus-kasus yang kami temukan di lapangan.
“Kamu tidak menyesal mengundurkan diri dari firma ayahnya Alda?” tanya Mas Hendra kepadaku penasaran. :”Bukankah bekerja di firma besar itu adalah keinginanmu sejak dulu?” lanjutnya.
“Memang iya,” ujarku tersenyum. “Tapi aku sudah putuskan untuk bekerja jadi probono (sebutan untuk pengacara nonprofit) saja.” Lanjutku. Dalam hatiku sangat lega bisa melepaskan kaum elit kapitalis yang membelenggu diriku. Butuh keberanian untuk melakukan hal ini. Namun aku sudah membulatkan tekad untuk menjadi orang yang lebih baik.
“Kamu selalu prinsipil dan realistis. Itu pesona kamu dari dulu,” Mas Hendra memujiku. Ia menyuruput Americano dengan santai.
“Aku sudah bukan penganut aliran realistis lagi, sekarang aku penganut aliran idealis Mas,” lanjutku lagi sambil menyeruput caffe latteku.
“Oh iya, aku bawakan Ibu sweater domba dari Australi,” Mas Hendra menunjukkanku sweater putih yang cantik. “Kira-kira Ibu suka tidak ya?”
“Dia pasti suka apa pun yang kamu kasih Mas. Mampirlah nanti ke rumah. Mas kan baru dua minggu pulang dari bulan madu di Australi, jangan lupa nanti Sinta dibawa juga. Kemarin dia telpon aku, katanya dia mungkin ngidam, soalnya pengen banget rambutan hijau,” kataku meledek Mas Hendra, yang baru saja menikah sebulan lalu.
Mas Hendra tersenyum, dilihatnya jam tangan. “Aduh, aku mesti ke pengadilan sekarang, ada kasus penting!” ujarnya terburu-buru. “Tapi kamu tidak pernah ketemu Albert lagi selama ini?” tanya Mas Hendra.
“Tidaklah, aku sudah tidak punya muka ketemu dia setelah kejadian di Poso, dua tahun lalu,” kataku tegas. Meskipun dalam hati ada sedikit hal yang mengganggu.
“Kamu jangan begitulah! Jangan terlalu cool jadi cewek! Yakin tidak menyesal nanti, aku punya nomornya loh!” tawaran Mas Hendra terdengar menarik.
Aku mulai berpikir lagi. Sialnya aku memang rindu setengah mati dengan pria itu. “Boleh tidak aku minta nomor dia? Soalnya aku kan ada utang sama dia. Kita dulu pernah buat kontrak. Aku belum sempat bayar dia,” kataku mencari-cari alasan.
“Kalian berdua ini ada apa sih sebenarnya? Kalau suka bilang suka, kalau tidak ya tidak! Sudah pada besar juga, kalau tidak ada yang membuat pergerakan duluan, tidak akan ada sesuatu yang terjadi!” Mas Hendra menasihati panjang-lebar.
“Sudah Mas, mana nomornya? Harga diriku keburu habis nih!” kali ini aku benar-benar kehilangan gengsiku yang tinggi.
“Nih!” disodorkannya telepon genggamnya kepadaku. Aku segera menyalinnya ke telepon genggamku.
“Makasih Mas!” kataku sambil mengembalikan telepon genggam Mas Hendra.
“Ya sudah aku ke pengadilan dulu!” Mas Hendra pergi sambil melambaikan tangannya. Tangan kanannya diangkat menunjukkan isyarat seperti orang menelepon. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala.
Kepergian Mas Hendra membuatku bingung akan langkah selanjutnya yang harus aku lakukan. Kalau aku menelepon Albert, bagaimana kalau dia langsung mematikan teleponku. Lagi-lagi ketakutan yang tak beralasan. Entah mengapa kali ini aku merasa jika aku tidak menelepon sekarang, aku akan menyesal selamanya. Akhirnya aku membulatkan tekad untuk meneleponnya. Ragu-ragu aku membuka kontak yang baru kusimpan tadi. Aku tekan panggilan.
Lagu potongan reff lucky terdengar jelas dibelakangku. Aku segera berpaling dan terkejut melihat sosok yang berdiri disana. Ia tersenyum.
“Albert......,” spontan saja kata itu terlontar dari mulutku. Albert segera meletakkan jari telunjuk kanannya diatas bibirnya. Sinyal kepadaku untuk diam.
“Hmmmm..... perkenalkan saya Albert Puruhita, profesi saya sebagai dosen. Dan Anda?” tanyanya sambil tersenyum menawan.
“Hmmmmm.... saya Arina, profesi saya pengacara,” jawabku sambil tersenyum juga. Kami saling berjabat tangan. Memulai kembali sebagai orang yang lebih baik.
Saat ini aku ingat perkataan ibuku setelah kepulanganku dari Poso. Aku harus melepaskan seluruh kenangan buruk disana. Melepaskan orang-orang yang bersalah dan berkhianat. Melepaskan semua, biar Tuhan yang mengatur semuanya. Karena untuk menjadi bahagia, kita perlu melepaskan beberapa kenangan. Menyadari bahwa kita tidak hidup di masa lalu, tapi di masa kini.

No comments:

Post a Comment