“Iya......,”
jawabku singkat. Setelah jawabanku, situasi kembali canggung. Kami tidak lagi
saling bertanya. Aku tertidur. Itu memang hobiku jika di pesawat.
Aku
terbangun ketika mendadak pesawat sudah landing di Makassar. Aku menengok Albert
ternyata juga tertidur. Aku kemudian mendengar pengumuman kalau kami tidak
perlu berganti pesawat untuk menuju Palu. Jadi aku tenang-tenang saja. Sekitar
15 menit kami berhenti di bandara Makassar lalu melanjutkan perjalanan ke Palu.
“Makassar
sudah lewat yah?” tanya Albert padaku. Ternyata dia baru saja terbangun.
“Iya.....,”
jawabku singkat. Keringat dingin aku lihat mengucur deras dari kepalanya. Aku
jadi khawatir dengan Albert ini.
“Kamu
sakit?” tanyaku padanya. Ia menggeleng.
“Tidak
kok!” jawabnya singkat. Meskipun penglihatanku jelas dia sakit.
“Kalau
begitu aku.......,” kataku sambil berdiri, ingin melapor pramugari. Tapi Albert
keburu menahan tanganku. Aku terkejut. Ia mengisyaratkan aku untuk duduk. Ia
tetap memegang tanganku. Ia pun tertidur. Aku tak tahu harus melakukan apa. Aku
hanya bisa diam di tempat sambil memegang tangannya yang juga sudah keringat
dingin.
Empat
puluh lima menit sudah kami di dalam pesawat. Sebentar lagi kami akan tiba di
Bandara Sis Al Jufri Palu. Aku ingin membangunkan Albert tapi tidak tega. Tanpa
diduga, ia akhirnya terbangun. Pengumuman bahwa waktu landing semakin dekat
sudah dikumandangkan. Sampailah kami di Palu.
Albert
tampaknya sudah sadar. Ia berusaha berdiri untuk mengambil barangnya. Aku
sendiri juga masih kesulitan mengambil barangku. Aku terkejut ketika Albert
membantuku mengeluarkan tas.
“Makasih!”
ujarku ketika ia selesai mengambilkan barangku.
“Aku
yang harusnya terima kasih. Maaf aku memang selalu mabuk udara,” ujarnya sambil
menggaruk-garuk kepalanya. Aku tersenyum.
“Tidak
apa-apa kok!” balasku. “Sebenarnya aku ada permintaan, tapi takutnya malah
membebani kamu nanti,” aku ragu-ragu ingin menyatakan untuk ikut dengannya
karena aku sendiri belum pernah ke Poso.
“Kamu
mau ikut aku ke Poso? Ini pasti kali pertama kamu kesini?” tanyanya padaku. Aku
tidak ada pilihan selain mengangguk.
“Baiklah,”
katanya. “Tunggu sebentar yah!” lanjutnya meninggalkan aku sendiri di ujung
jalan bandara. Bandara ini memang cukup kecil, sehingga aku rasa tidak mungkin
orang tersesat disini. Aku bisa melihat dari kejauhan Albert sedang bicara
dengan orang. Mungkin tentang mobil yang akan kami naiki. Ia kembali mengambil
seluruh barang-barangku.
“Ayo
ikut, mobil rentalnya sudah ada,” ujarnya. Aku masih terkesima agak ragu dengan
keputusanku. “Aku bukan orang jahat kok!” lanjutnya sambil menarik tanganku.
Aku masih terdiam mematung. Dikeluarkannya salah satu kartu namanya dari dalam
dompet.
Albert
Taoya, B.Sc, M.Sc, P.Hd
Dosen
Antropologi Universitas P
Oh,
dosen rupanya. Aku memandangnya. Ia juga memandangku. Sinyalnya menunjukkan
ingin aku segera naik ke mobil. Aku pun segera naik ke dalam mobil, begitupun ia.
“Oh
ya, kamu kan sudah tahu profesiku, kamu sendiri profesinya apa?” tanya Albert
ketika kami sudah memulai perjalanan.
“Aku
pengacara,” jawabku singkat. Aku berusaha untuk tidak mengungkapkan rasa tidak
nyamanku ketika bicara tentang pekerjaan.
“Sepertinya
kamu punya sedikit masalah di kantor, lebih baik tidak usah dibicarakan kamu
tampaknya kurang nyaman,” ujarnya. Dang! Aku jelas sudah tertangkap basah.
Lagipula sedang apa seorang pengacara di hari kerja seperti ini malah
berkeliaran di tempat asing ini.
“Kamu
sendiri, apa tujuanmu kemari?” tanyaku penasaran.
“Oh,
aku mau research, sekaligus pulang kampung. Sudah hampir lima tahun aku tidak
pulang ke rumah. Oh iya, kampungmu nama desanya apa?” tanya Albert.
“Desa
L*****,” ujarku. Albert mengangguk.
“Wah,
desa itu duluan daripada desaku S***, kalau begitu aku akan menurunkan kamu
dulu,” ujar Albert lagi. Kami akhirnya mulai percakapan selanjutnya. Percakapan
yang ringan-ringan saja. Sesekali aku tertawa mendengar Albert bercerita.
Banyak
cerita Albert yang mengundang gelak tawa. Ia banyak bercerita tentang
mahasiswa-mahasiswa aneh di kelasnya. Ia juga sering mengadakan research baik
di dalam maupun luar negeri. Menarik. Setidaknya topik ini sangat jauh dari
keseharianku yang berhadapan dengan manusia-manusia yang mengesalkan. Free
spirit, itulah yang dapat aku tangkap dari keseharian Albert.
Dari
Mas Hendra, aku tahu bagaimana bermimpi. Bersama Mas Hendra, aku bisa
menceritakan apapun mengenai mimpiku. Kami berdua menggeluti bidang hukum, maka
omongan kami lebih dari boring, bagi orang awam. Lama-kelamaan, kami terbiasa
untuk berkomunikasi dengan cara kami sendiri. Jenis komunikasi ini sering membuat
kami salah paham, tapi akhirnya itu berakhir sendiri tanpa ada pernyataan bahwa
salah paham kami berakhir.
Ketika
kami membahas suatu kasus, dulu kami saling mengagumi dan melengkapi dalam
berargumen. Sekarang masing-masing selalu berkeras, akhirnya memicu kami untuk
tidak lagi saling bicara selama beberapa hari. Tidak ada pertengkaran. Tidak
ada deklarasi minta maaf. Biasanya Mas Hendra tiba-tiba datang dan mengantarku
pulang ke rumah. Aku juga malas mengungkit masa lalu, memutuskan untuk naik saja
ke mobil Mas Hendra. Akhir pekan kami akan pergi ke restoran, makan bersama
lagi. Saat itu, kami akan memilih untuk tidak lagi membicarakan hal yang lalu.
Tanpa kami sadari setiap kesalahpahaman kami sebenarnya tidak pernah berakhir.
Sampai tibalah hari aku menangkap basah kelakuan Mas Hendra.
Bukannya
aku tidak tahu kelakuan Mas Hendra sebagai jaksa yang menerima uang dari
sana-sini. Aku sering mendengar Mas Hendra melakukan percakapan kotor di
telepon. Aku berusaha untuk memahami apa yang dilakukan Mas Hendra. Tapi yang
ini benar-benar keterlaluan.
Kalau
mungkin dalam kasus yang tidak aku ketahui, aku mungkin dapat menutup mata.
Kali ini aku menangkap basah Mas Hendra melakukan itu, kasusnya aku dan
seantero Indonesia juga tahu. Ini kasus pidana besar, memakan banyak korban
yang tidak bersalah.
“Hello.....!”
kata-kata Albert mengagetkanku. “Are you with me? Aku lagi cerita dan kamu juga
lagi bercerita sendiri di dalam pikiranmu. Tampaknya masalahmu sangat berat.
Itulah yang dapat aku simpulkan,” lanjut Albert.
“Hmmm....
tidak apa-apa,” ujarku. “Aku mengantuk,” lanjutku mengalihkan topik
pembicaraan. Aku sebenarnya bukan mengantuk, tapi malas membicarakannya. Aku
pura-pura tidur. Masih bisa aku merasakan ketika Albert memindahkan kepalaku ke
bahunya. Aku sedikit terkejut, segera sadar bahwa aku dalam posisi sedang
tertidur. Maka aku ikuti saja apa yang dilakukannya.
“Seberapa
jauh kamu ingin menyembunyikannya, seperti itulah aku ingin mengetahuinya,”
ujar Albert entah berbicara dengan siapa. Aku masih pura-pura tertidur, menutup
mataku rapat-rapat.
Perjalanan
mulai memasuki gunung yang berkelok-kelok. Seketika aku terbangun dan perutku
sakit. kepalaku juga pusing. Aku mengangkat kepalaku pelan. Albert tampaknya
agak terkejut aku sudah bangun.
“Kamu
lapar? Atau mual?” Albert khawatir melihatku memegang perutku.
“Bisa
berhenti sebentar?” aku akhirnya tidak bisa menahan diri lagi. Perutku berbunyi
keras, membuat Albert tertawa. Aku sendiri malu karena kejadian itu. hanya bisa
menghadap membelakangi Albert sambil menggigit bibir.
“Pak
berhenti dulu!” ujar Albert berusaha menghentikan pak supir. Tidak berapa lama
Pak supir berhenti. “Sebaiknya kita cari warung dulu buat istirahat,” lanjut
Albert lagi. Dituntunnya aku keluar dari mobil.
“Wow....
indahnya...... sejuknya.....,” baru saja aku menyadari pemandangan gunung yang
sangat indah.
Albert
masuk ke dalam sebuah warung. Aku mengikutinya dari belakang. Aku melihat tulisan
warung makan ‘nabelo’ kebon kopi, mungkin nama desanya. Aku sendiri yang
mulanya sedikit mual, jadi excited melihat semua ini.
Aku
mulai mengambil beberapa gambar selfie dengan kamera handphoneku. Rugi juga
pemandangan yang keren begini tidak diabadikan.
“Hei....
aku sudah pesan, kesini dulu! Kamu mau pesan apa?” teriak Albert dari dalam
warung.
“Oh
iya...!” aku menjawab, sambil berjalan ke arah Albert. Ia sudah kembali masuk
ke dalam. Aku terantuk batu, sehingga hampir jatuh. Saat itulah aku melihat sebuah
foto tergeletak di tanah. Ini kan Albert?, pikirku. Disitu Albert berpose cukup
mesra dengan cewek yang wajahnya agak kecina-cinaan. Mungkin saja pacarnya.
“Albert...!”
panggilku ketika tiba di dalam warung. Albert berpaling melihatku.
“Ada
apa?” tanyanya menyahuti panggilanku.
“Ini!”
kusodorkan foto yang kudapat tadi. “Terjatuh tadi di depan,” lanjutku.
“Oh.....
,” ia sepertinya agak terkejut menerima foto itu.
“Pacar
ya?” tanyaku lagi
“Mantan
pacar.......,” suara Albert terdengar agak lemah.
“Oh,
sorry.......!” kataku agak menyesal menanyakan hal tadi.
Kami
terdiam. Pesanan Albert telah datang. Aku sendiri sadar belum memesan apa-apa
sejak tadi.
“Oh
iya, kamu mau pesan apa?” tanya Albert lagi.
“Aku
ikan saja,” ujarku masih dalam keadaan canggung.
“Ikan
bakar Mbak satu!” teriak Albert ke pelayan yang ada di dalam.
“Iya
Pak!” orang yang di dalam menyahuti Albert.
Kami
makan dengan tenang. Situasi canggung lagi. Albert akhirnya buka suara.
“Kamu
tahu tidak, katanya di gunung ini ada jalan menuju dunia lain?” tanya Albert
terlihat sekali ingin mengalihkan pembicaraan. Aku mulai mengerti arah
pembicaraan ini. Aku memutuskan untuk mengikuti saja alurnya.
“Memangnya
ada yang seperti itu? di dunia modern begini hantu tidak ada,” ujarku. Aku
memang tidak percaya hantu atau mistis.
“Aku
tidak pernah bilang hantu,” ujarnya. “Ini seperti dunia lain yang tidak
terjamah manusia. Dunia dimana orang semua jujur dan tidak saling membohongi.
Dunia tanpa kriminal. Kita semua hanya belajar jadi orang baik,” lanjut Albert.
“Seandainya
ada yang seperti itu, aku benar-benar akan hidup di dunia lain itu,” ujarku
tulus.
“Nanti
selesai makan ayo jalan kesana. Tidak terlalu jauh kok dari sini!” kata Albert
mengajakku kesana. Aku mengangguk. Udara gunung yang sejuk membuatku segar
kembali. Selama ini aku merasa Albert sangat terbuka. Sekarang aku yakin ada
beberapa hal yang ingin dia sembunyikan.
“Itu
dia tugu kuningnya, ini terkenal sekali loh! Kita harus hunting juga,” Albert
terlihat riang. Aku tersenyum melihat tugu kuning yang bertuliskan ‘uventira’
itu. “Saking mistisnya orang percaya kalau lewat di jalan ini dengan kendaraan
harus membunyikan klakson tiga kali,” lanjut Albert lagi. Aku mengangguk saja
lalu tersenyum. Tidak ada hal yang seperti itu, ujarku dalam hati.
“Aku
mulai sadar kalau antropolog juga menyelidiki hantu kayak paranormal,” aku
bercanda. Aku palingkan wajahku ke arah Albert, lalu dia memotretku. Aku
sedikit terkejut, wajahku mungkin merah karena malu.
Dia
tersenyum mengalihkan pandangannya dariku sambil terus memotret. “Jangan
seperti itu. Aku tahu mungkin masalahmu berat, tapi kamu pasti bisa mengatasi
semuanya. Kamu cantik kalau tersenyum.”
“Aku
tidak yakin. Tapi aku sudah tertangkap basah. Apalagi yang bisa aku perbuat?”
aku tahu aku berhadapan bukan dengan orang biasa. Aku harusnya tidak terlalu
menampakkan kegelisahanku.
“Ayo
kita naik sekarang!” ajak Albert. “Masih butuh waktu 4 jam untuk sampai ke
tujuan,” lanjutnya lagi. Aku berjalan duluan, kemudian dia mengikutiku dari
belakang.
_______________________________________________________
Tidur
panjangku ternyata membawa berkah. Buktinya, sepanjang perjalanan aku tertidur
pulas.
“Bangun
Rin! Kita sudah sampai di desamu, kita perlu tahu alamat rumahmu untuk menuju
kesana,” suara Albert membangunkanku. Aku masih setengah sadar, sedikit
bingung. Albert mulai menggaruk-garuk kepalanya. Saat itu aku mulai
berangsur-angsur kembali ke kesadaranku semula.
“Mari
kita turun dulu!” aku sedikit khawatir. Karena aku sendiri tidak tahu dimana
alamatnya sebenarnya. Maka aku perlu teman untuk berjalan kaki mencari alamat.
“Ada
apa?” tanya Albert mengikuti dengan serius. “Kamu tidak tahu alamatnya?” nada
suaranya sedikit agak tinggi. Aku mengangguk. Seumur hidupku aku tidak pernah
minta bantuan sebanyak ini dari orang asing.
Albert
mulai menggaruk-garuk lagi kepalanya. Ia tampak bingung. “Bukannya aku tidak
ingin menemanimu, cuma dengar ya, aku.... ada banyak pekerjaan yang harus aku
kerjakan disini,” ujar Albert masih menggaruk kepalanya. Disana ada penginapan.
Menginaplah disana malam ini, besok kamu bisa mulai mencari,” ujar Albert
panjang lebar. Aku mengangguk saja.
“Terima
kasih!” kataku singkat. Aku mengambil koperku. Menyeretnya ke arah penginapan.
Ketika aku mulai berjalan, kulihat ke belakang ternyata mobil yang aku naiki
tadi sudah pergi ke arah berlawanan. Ternyata ia memang sudah pergi
meninggalkan aku. Jadi apa boleh buat, mulai sekarang aku akan bertindak
sendiri.
Aku
masuk masuk ke dalam penginapan yang ditunjukkan Albert tadi. Seorang wanita
muda pertengahan 20-an yang menjaga penginapan. Wanita itu tersenyum.
“Mau
pesan kamar Ibu?” tanyanya ramah. Aku tersenyum.
“Iya,”
jawabku singkat.
“Mau
kamar yang bagaimana Ibu?” tanya perempuan itu lagi.
“Yang
penting ada AC,” jawabku sambil melihat-lihat sekeliling.
“Oh
ada, silahkan ikut saya Bu!” ia mengajakku pergi ke kamar yang ternyata tidak
jauh dari kantor. Memberiku kunci dan meninggalkan aku. Kutengok jam tanganku
menunjukkan pukul 16.30. Aku berinisiatif untuk mandi lalu istirahat. Besok
akan menjadi hari yang melelahkan bagiku. Tunggu dulu lupakan soal mandi karena
aku telah tertidur.
Tok...tok...tok.....
Suara
pintu diluar mengagetkanku. Aku ingin berdiri, namun badanku rasanya sakit
semua. Sinar matahari pagi yang menyengat juga mulai terasa. Kutengok jam tanganku,
ternyata sudah jam 7 pagi. Ya ampun.... aku ini tidur atau apa sih sebenarnya?
Sampai lupa waktu begini.
Tok....tok...tok....
“Iya
sebentar!” aku bangkit dari tempat tidur dengan kepala yang masih pusing luar
biasa. Siapa sih pagi-pagi begini? Kubuka pintu kamarku pelan.
“Halo.....!”
sapa orang yang ada di depan pintu. Aku menggosok-gosok mataku tidak percaya.
“Albert!
Loh bukannya kemarin........,” belum sempat kulanjutkan kata-kataku, Albert
langsung tertawa melihat penampilanku.
“Coba
kita lihat.......hahaha.....!” Albert menunjukku. “Baju kemarin, celana
kemarin, rambut awut-awutan, badan bau mobil ditambah keringat, jorok banget
sih kamu ini, oh iya jangan lupa berkaca kalau ada kesempatan!” kata-kata
Albert lumayan membuatku malu. Segera aku banting pintu. Aku mencium bau
badanku sendiri. Ampun.... baunya...... aish, pantas saja. Aku ambil handuk
dalam koper. Tidak sengaja aku melewati cermin meja rias.
Hahahaha.....
aku tertawa sendiri melihat wajahku yang berlumuran maskara. Semua wajahku kehitaman
dan mataku menjadi mata panda. Ampun.... kali ini harga diriku benar-benar
terkoyak di depan Albert. Habis sudah tak bersisa. Rasanya ingin menangis
karena malu.
Sehabis
mandi, aku membuka pintu kamarku untuk sarapan pagi. Di depan kamar, ternyata Albert
sudah menghilang. Aku bersyukur sekali. Dengan tenang aku menuju ke depan
penginapan. Kulihat Albert duduk manis disana. Aku berusaha mengacuhkannya. Ia
rupanya melihatku dan segera mengejarku.
“Ayo
cari makan sama-sama!” Albert menggenggam tanganku. “Kita makan nasi kuning
pagi ini,” lanjutnya sambil tersenyum. Aku tidak punya pilihan lain selain
mengikutinya. Toh, aku tidak mengenal satu orang pun disini.
“Aku
punya satu permintaan buat kamu. Aku mohon bantu aku mencari seseorang!” aku
memohon pada Albert. “Aku tidak akan menanyakan alasanmu kembali kemari. Tapi
aku mohon kamu mau membantuku,” Albert lumayan terkejut dengan penuturanku. Aku
sudah memutuskan untuk menelan harga diriku.
“Siapa
yang kamu cari?” tanya Albert lagi terdengar penasaran.
“Ayahku,
kemungkinan beliau menjadi korban kerusuhan Poso. Aku akan cerita selengkapnya
kalau kamu mau bantu aku,” ujarku serius. Aku tidak mau membuang energiku untuk
sesuatu tidak berguna. “So, you are in or not?”
“Ok,
I ‘m in. Aku akan membantumu. Kebetulan aku sedang research tentang hal
yang sama. Aku hanya ingin memperingatkan. Kamu tahu skenario terburuk dari
semua ini kan? Ayahmu mungkin sudah tewas,” ujar Albert memperingatkan.
“Aku
mengerti. besok akan aku siapkan kontraknya. Sebagai pengacara, segala
perjanjian harus dilakukan hitam diatas putih,” ujarku. Aku tidak mau lagi kena
tipu daya kriminal. Sekedar antisipasi.
“Ok...
Deal. Bagaimana kalau kamu cerita secara keseluruhan informasi yang kamu
ketahui sekarang? Benar-benar tidak sabar mendengarnya!” Albert kelihatan
sangat antusias mendengar ceritaku.
“Aku
sendiri juga tidak tahu banyak tentang ayahku. Yang kutahu hanya beliau bernama
Hardi. Nama belakangnya aku tidak tahu. Ibuku juga tidak memberitahu aku. Dulu
beliau tinggal di desa ini. Aku punya fotonya, ini......!” kusodorkan foto lama
yang diberikan ibuku beberapa waktu yang lalu.
“Ini
mungkin agak sulit, tapi aku ada pertanyaan,” ujar Albert penasaran. “Kamu
lahir di tahun berapa?”
“1989,”
jawabku singkat.
“Kalau
kerusuhan Poso tahun 2000-2001 seharusnya kamu sudah berumur 10-11 tahun. Masa
kamu tidak ingat siapa ayahmu?” tanya Albert lagi.
“Itu
adalah misteri lainnya. Aku.... tidak bisa mengingat apapun yang terjadi
sebelum umurku 10-11 tahun. Memori itu tersegel rapat,” jawabku kepada Albert.
Ia mengangguk.
“Tersegel?
Berarti itu memori yang benar-benar buruk. Kamu yakin ingin membuka memori yang
tersegel?” tanyanya meyakinkan pilihanku.
“Itu
tersegel karena aku, hanya aku yang dapat membukanya. Aku benar-benar ingin
tahu kebenarannya,” kataku membulatkan tekad.
Begitulah
aku dan Albert memutuskan untuk bekerja sama mencari ayahku. Tentunya tidak
gratis, karena secara hitam diatas putih, kami memiliki kontrak yang sah
berikut bayarannya. Aku menyewa Albert.
Keesokan
harinya, kami sepakat untuk memulai pencarian. Desa ini tidak luas, hanya
terdiri dari tiga dusun dan 220 kepala keluarga. Kami bertanya hampir ke setiap
warga yang kami lewati sepanjang jalan. Kebanyakan warga tidak tahu. Aku hampir
putus asa. Hanya Albert yang terus menguatkan aku.
“Capek
juga yah! Ayo kita istirahat sebentar, mataharinya bikin kita terbakar,” ajakku
kepada Albert. Aku sendiri sudah kehabisan tenaga. Tiba-tiba perutku berbunyi
keras. Albert tertawa mendengarnya. Tak disangka perutnya juga berbunyi.
“Kayaknya
kita perlu makan deh! soalnya perut tidak bisa diajak kompromi kayaknya,”
Albert mengajak aku ke warung terdekat.
Seorang
laki-laki muda umur belasan yang menjaga warung tersenyum ramah. Kebanyakan
rumah makan disini memang tidak menyediakan menu lain selain ikan. Selama
hidupku aku tidak pernah makan ikan sebanyak ini.
“Oh
iya De, kenal Pak Hardi?” tanya Albert. Aku menyikutnya. Jangankan anak umur
belasan, warga yang tua saja tidak tahu.
“Kurang
tahu Pak, tapi coba saya tanya kakek saya dulu di dalam,” ujar si anak menuju
ke dalam salah satu kamar. Ada tiga kamar memang disana.
Si
kakek keluar dari kamar tersenyum hangat. “Siapa yang mencari Hardi?”
teriaknya.
“Saya
Kek!” jawabku spontan. Si kakek menoleh ke arahku. Beliau mendatangiku, lalu
memelukku erat. Aku masih ragu. Ku keluarkan foto tua pemberian ibuku.
“Maaf
Kek!” aku berusaha melepaskan diri. “Apa benar Pak Hardi yang ada di foto ini?”
aku menyodorkan foto itu. Si kakek mengangguk.
“Kamu
anak Hardi?” tanya kakek tadi penasaran kepadaku.
“Iya
Kek!” jawabku singkat. Si kakek membelai kepalaku.
“Ayahmu,
dia pria yang sangat baik. Aku benar-benar minta maaf atas semua kesalahan yang
telah aku perbuat kepadanya,” ujar si kakek terharu. Beliau mulai meneteskan
air mata dan berlutut dihadapanku. Aku lumayan panik juga melihat keadaan itu.
“Tidak
apa-apa Kek, saya hanya ingin mendengar kejadian yang sesungguhnya. Ayah saya
sebenarnya siapa dan apakah beliau masih hidup atau sudah tiada di dunia ini,”
ujarku pelan.
“Ayahmu
sudah tiada Nak.....,” si kakek menangis terisak. Beliau masih saja berlutut.
“Ibumu, keadaannya bagaimana sekarang?” tanya beliau lagi.
“Beliau
baik-baik saja,” kataku. “Bisa kakek ceritakan semuanya tentang ayah, ibuku
juga saudara-saudaraku yang lainnya. Apakah mereka semua meninggal saat
kerusuhan?” tanyaku. Berbagai macam pertanyaan yang sangat ingin aku lontarkan.
Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar-putar di kepalaku.
“Ayahmu
terlahir sebatang kara. Hanya saya dan anak saya keluarganya. Kamu lihat, ini
anakku!” beliau menunjuk ke salah satu lelaki lain di foto itu selain ayahku.
“Ini istrinya,” ia menunjuk ke arah perempuan di sebelah lelaki yang ia sebut
anakmya.
“Dimana
mereka sekarang Kek?” tanyaku penasaran.
“Anakku
dia meninggal gantung diri karena tidak kuat dengan dosa yang telah saya
perbuat , sedangkan menantuku..... juga sudah meninggal karena sakit. Ini semua
adalah karma atas perbuatan saya,” Kakek mulai menitikkan air mata lagi. Tangan
kurusnya menggenggam tanganku.
“Ayahku
dimana beliau sekarang?” tanyaku berusaha mengkonfirmasi.
“Ayo
kita pergi ke tempat peristirahatan ayahmu yang terakhir! Disana aku akan
memberitahukan semuanya tentang kejadian menyedihkan ini,” Kakek tadi berdiri
sambil menggenggam kedua tanganku. Ia memerintahkan cucunya untuk memboncengku
dengan motor. Sedangkan ia sendiri naik motor dibonceng Albert. Sepanjang jalan
aku hanya bisa menarik napas panjang. Akhirnya tangisku meledak juga.
Motor
berhenti. Aku lihat di sekelilingku tidak ada tanda-tanda perkuburan. Hanya
sebuah sungai besar berikut jembatan.
“Mayat-mayat
itu dibuang disini, termasuk ayahmu. Waktu itu aku, istriku, anakku, istrinya,
ayahmu dan ibumu baru saja pulang dari Makassar. Kami tidak tahu ada
ribut-ribut apa di jalan. Ketika kami hampir melewati jalan sebuah pesantren,
sekelompok orang yang tidak dikenal menyerbu kami. Kami dimasukkan ke dalam
satu ruangan yang penuh dengan pembantaian. Ketika itu, kami sempat melarikan
diri bersama ke gunung. Pasukan itu tetap mencari kami. Kami kemudian
bersembunyi di tempat yang berbeda namun berdekatan. Mayat-mayat berceceran
dimana-mana, seakan sudah tidak ada harganya. Saya ketakutan, melihat
lelaki-lelaki buas haus darah itu memegang parang (senjata khas Sulawesi
Tengah) yang penuh darah. Saya dapat melihat dari kejauhan salah seorang dari
mereka mulai mendekati persembunyian anak saya, dan saya..... tidak ada jalan
lain selain melempar batu ke arah ayahmu, sehingga menimbulkan suara gaduh,
orang-orang itu segera mendatangi ayahmu dan..... maafkan saya Nak.....!” kakek
itu mulai menangis lagi, meraung-raung berlutut dihadapanku. Kepalaku mulai
berputar-putar, kembali ke memoriku sebelum berumur 10 tahun.
Samar-samar
tangisan dan kata-kata kakek itu berangsur-angsur hilang, mulai tidak terdengar
lagi. Aku sudah kembali ke memori yang tersegeli itu. Adegan demi adegan,
kejadian demi kejadian di hari yang naas itu.
“Ayah,
kampung ayah masih jauh ya? Banyak sawahnya tidak Yah?”
“Banyak
Sayang............!”
“Asyik....
Rina ke sawah.....! Ye......!
Kepalaku
mulai berputar-putar. Adegan berikutnya aku berada di sebuah rumah yang penuh
dengan darah. Aku menangis. Anak-anak berkerudung dikumpulkan dan dibantai.
Ayah dan ibuku berlari. Aku terjatuh. Darah segar keluar dari lututku. Ayahku
langsung menggendongku. Kami bersembunyi. Ada batu besar menimpa kepalaku. Ibuku
menutup mulutku, takut aku menangis. Aku takut sampai terkencing-kencing di
celana. Ibuku memelukku erat. Ia menitikkan air mata tanpa sedikit pun
bersuara. Aku sendiri masih terlalu kecil untuk memahami apa yang terjadi.
Orang
itu tersenyum licik. Ia mendekati ayahku, menariknya. Di depan mata kepalaku
sendiri, ayahku....... kepalanya terguling, badannya terpisah seketika.
“Ayah........!”
suaraku waktu itu sudah tak terdengar lagi. Seseorang memasukkan aku ke dalam
karung bersama ibuku. Seorang lainnya
memukul-mukul kami dari luar karung. Mereka tertawa menjijikkan.
“Ibu.....
ayah ada dimana Bu? Bu Rina takut......!”
Memoriku
terus berputar-putar di kepalaku, membuatku merasa mual. Bayangan Albert dan
kakek tadi terlihat lagi samar-samar. Begitu pun suara mereka. Seperti mimpi,
aku merasa badanku berada di sungai. Diriku yang masih kecil begitu tak berdaya.
Kenapa orang saling membunuh dan membantai orang-orang yang tidak bersalah?
Sekuat tenaga aku membuka karung itu, aku banyak menyentuh sesuatu yang berada
di luar karung. Karung telah terbuka separuh, aku sadar kalau aku hanya
bersentuhan dengan mayat-mayat yang telah dihabisi nyawanya.
Ibuku
masih dalam karung, ketika ada cahaya yang kukira bantuan. Sesorang yang entah
dimana mulai berteriak. Hanya samar-samar aku mendengarnya. Aku tidak dapat
lagi bersuara. Lidahku kelu.
BERSAMBUNG.........