Wednesday, 8 July 2015

Film India PK: Kontroversial di Kalangan Beragama




Halo pembaca semua....

Lama tak posting, tangan rasanya gatal. Cuma sedikit bingung mau nulis apa. Belum apa-apa sudah ketiduran lagi. Sedikit-sedikit capek lagi. Tahu sendiri kan sekarang lagi bulan ramadhan, waktunya umat Muslim beribadah sebanyak-banyaknya. Bulan dimana Allah swt. menutup pintu-pintu nerakaNya dan membuka selebar-lebarnya pintu surgaNya. Bulan dimana setan-setan dibelenggu. Namun bukan berarti setiap muslim langsung tergerak untuk beribadah karena setan terbelenggu. Karena godaan-godaan duniawi lain masih menunggu.

Oke... Wait.... kita bukan mau membahas bulan Ramadhan. Yang Ingin dibahas pada kesempatan ini adalah ulasan film PK (bahasa India Peekay atau pemabuk). Ngapain kok pemabuk dijadiin nama film ya? Bagi yang udah nonton mungkin paham. Film ini cukup kontroversial, sehingga banyak kalangan beragama di India tidak 'sreg' dengan sajiannya.

Mengapa kontroversial? Yah.... karena ada tiga agama besar di India yang diangkat disini yaitu Hindu, Kristen dan Muslim. Isu agama memang agak tabu diangkat di Asia, karena ini adalah isu yang paling sensitif. Sedikit aku jelaskan yah, jalan ceritanya.

Pada suatu hari di sebuah daerah padang pasir di India, ada sebuah UFO yang mendarat disana. Dari UFO itu keluar seorang alien (Amier Khan) yang ditugaskan untuk meneliti bumi. Baru saja tiba disana, segera setelah UFO itu sudah kembali terbang meninggalkan bumi, seseorang mencuri kalung atau menurut alien itu adalah remote untuk mengirimkan sinyal ke planetnya. Tanpa remote itu sang alien tidak dapat pulang ke planetnya.

Disinilah hal tersebut bermula. Alien itu mulai mencari cara dengan metode bertanya kepada manusia. Kasalahpahaman yang ada dalam kepalanya adalah jawaban-jawaban manusia yang setengah-setengah. Aneh memang, tapi apapun yang dikatakan manusia dia percaya. Penalarannya bisa dibilang setara anak SD lah.... tahu sendiri kan anak SD kalau bertanya, tidak ada habisnya dan tidak masuk akal.

Karena semua orang bilang Tuhan akan mengabulkan apapun doa dari orang-orang yang berdoa kepadaNya, maka dalam kebingungan alien (PK) berdoa ke tiga tempat ibadah yaitu kuil, gereja dan masjid. Ia melakukan itu karena dia tidak mengerti. Jadi daripada disebut isu agama, ini sih sebenarnya lebih disebut pencarian dari orang yang tidak mengerti apa itu agama. Alien itu hanya ingin tahu, mengapa doanya tidak segera dikabulkan. Tidak ada suatu pencerahan bahwa semua butuh proses dan tidak terjadi serta-merta. Terdapat juga orang yang mengada-ngada bahwa dia dapat langsung berkomunikasi dengan Tuhan.

"Kita percaya pada Tuhan yang menciptakan kita, bukan Tuhan yang mereka ciptakan" itulah salah satu kutipan PK ketika dia berargumen dengan Tapaswi.

Sebagai seseorang yang pernah agnostik, saya pernah menjadi orang yang percaya Tuhan tapi tidak percaya agama. Hal itu bukan tanpa sebab, karena agama terkadang membingungkan. Sampai tiba saatnya saya di tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Saya pun dengan secara sadar memilih agama yang saya anut sekarang.

Sebagai seorang guru SD, sudut pandang saya menatap PK sebagai layaknya murid saya. Banyak sekali pertanyaan seperti 'Tuhan ada dimana?' selalu mereka ajukan. Pernah saya membaca salah satu artikel yang memuat tentang bagaimana menjawab semua pertanyaan itu. Tapi saya tidak puas karena jawabannya selalu menimbulkan pertanyaan baru. Jadi jika ada yang bertanya lagi, saya akan menjawab,

"Jika kamu percaya kuasa Tuhan, maka Dia ada di hatimu. Karena tidak ada yang Dia tidak ketahui, bahkan apa-apa yang hanya terbesit di dalam pikiranmu" (Sri Ambiyah).

Oke pembaca... Terus baca postingan saya yah!!!!!
SEMOGA BERMANFAAT!!!!!




Wednesday, 24 June 2015

Dunia Kosong


Aku percaya, aku percaya...
Aku tidak akan jatuh lagi...
Aku percaya jika suatu hari
Mentari pagi kan bersinar lagi...

Dan ketika aku ada di kegelapan
Dimana aku tak melihat ada jalan...
Aku berharap engkau segera datang...
Menuntunku menuju cahaya...

Dan bila betul aku terjatuh
Luka yang menganga dan berlumuran darah
Aku berharap engkau datang dengan senyuman
Berkata semua sudah tidak apa.

Aku ingin kesempatan...
Kesempatan untuk mengulang...
Rasa kosong dan gelap dalam hatiku...
Aku berharap engkau selamatkanku...

Dunia yang kejam
Dunia yang menyakitkan,
Aku bukan ingin mengakhirinya
Aku hanya ingin kesempatan 

Memutar....
Mengatur ulang....
Dunia ini... Selamatkan....
Ini aku... Bersamamu.... 

Monday, 15 June 2015

Melepas kenangan: Kisah Seorang Pengacara Perceraian (The End)





“Tolong! Tolong.........!” suara dari seberang sana.
“Rupanya masih ada yang hidup, hah..... bodoh! Ayo kita bunuh semuanya!” suara orang-orang tertawa. Saat itu aku memegang hidungku dan masuk ke dalam sungai. Selanjutnya aku sendiri tidak tahu lagi apa yang terjadi.
Aku sekarang sadar mengapa ibuku sampai mengidap claustrophobia. Tanpa aku sadari, saat itu juga aku pingsan di dua waktu dan tempat berbeda. Di memoriku dan di kehidupan nyata.
______________________________________________________
Aku bangun keesokan harinya, terkejut di dahiku ada kompres. Tempat ini juga rasanya asing, tapi jelas ini bukan rumah sakit. Kepalaku rasanya akan pecah, rasanya sakit sekali. Kulihat infus di tangan kiriku.
Aku ingin ke kamar mandi. Tak seorang pun ada di kamar itu, aku memutuskan untuk ke kamar mandi sendiri. Ketika aku berusaha berdiri, rasanya keseimbanganku mulai goyah lagi.
“Astaga..... apa yang kamu lakukan?” suara Albert mengagetkanku. Ia berusaha memapahku.
“Aku mau ke kamar mandi,” jawabku malu-malu. Albert memapahku sampai ke depan pintu ke kamar mandi.
“Hati-hati yah!” ia berusaha memperingatkanku. Dia mungkin khawatir melihat keadaanku yang tidak stabil.
“Ma....af!” kataku sambil menggigit bibir.
“Tidak usah minta maaf. Kamu.... tidak salah apa-apa kok!” ujar Albert.
“Ma.....af....!” kali ini aku benar-benar merasa bersalah.
“AKU KAN SUDAH BILANG TIDAK USAH MINTA MAAF, MEMANGNYA KAMU SALAH APA?” bentak Albert. Aku terkejut tapi tidak bisa berbuat apa-apa. “Huft... sorry aku lagi emosi!” ia meminta maaf.
Aku segera masuk ke dalam kamar mandi untuk melaksanakan hajatku semula. Aku baru sadar, aku mungkin ada di kamar Albert.
“Kita ada dimana?” tanyaku kepada Albert dari dalam kamar mandi.
“Ini kamarku, aku bawa kamu kesini, soalnya rumah sakit kalau hari minggu begini pada tidak ada dokternya juga, rugi kesana. Kebetulan aku ada kenalan dokter di sekitar sini, hasil pemeriksaannya sih kamu cuma kecapekan saja, tapi sampai di Jakarta kamu tetap harus periksa lagi,” jawab Albert dari luar. Aku mengangguk saja. Sekaligus lega karena sudah buang hajat.
Aku membuka pintu kamar mandi. Albert sudah menungguku di depan pintu. Hati-hati ia memapahku ke tempat tidur. Aku berusaha untuk berperilaku sebiasa mungkin. Padahal hatiku jelas berdebar tak karuan. Digendongnya aku ke tempat tidur. Lalu dia menyelimutiku.
“Terima kasih, nanti begitu tiba di Jakarta akan langsung aku transfer uang guidenya,” ujarku tulus. Albert tersenyum duduk disamping ranjang tempat aku tidur.
“Tidak perlu, aku juga sudah dapat pengalaman baru. Jadi kita impas,” ujarnya santai. Ditatapnya aku tajam. Jantungku berdebar semakin kencang. Aku tak sadar ketika ia mulai mendekatkan wajahnya ke wajahku. Wajah kami sudah sangat dekat satu sama lain mungkin hanya berjarak 2-3 cm. Saat itu entah mengapa seperti kehilangan akal, aku menutup mataku. Tidak sadar akan keinginanku yang begitu besar untuk memiliki lelaki ini. Aku tak tahu lagi, kemana wanita realistis dan setia itu. hanya sesaat mungkin satu detik sebelum moment pengkhianatanku terjadi, bayangan Mas Hendra berkelebat begitu saja di pikiranku. Segera aku membuka mata, sadar bahwa aku tergoda. Wajahku segera aku miringkan menghindar dari Albert. Albert membuka matanya karena sadar dengan gerakanku yang menjauhinya.
“Aku minta maaf....... aku........,” terbata-bata aku mengungkapkan perasaanku kepada Albert.
“Kamu sudah punya tunangan kan? Hendra!” kata Albert tegas. Aku terkejut mendengar penuturannya. Aku membalikkan badanku ke arahnya. Kali ini aku berusaha bangun, meskipun kepalaku masih pusing.
“Kok kamu bisa tahu?” tanyaku heran. Sebagai pengacara, aku mmiliki insting yang kurang baik tentang ini.
“Hendra, dia..... memintaku untuk menjaga kamu. Dia takut kamu kesini sendirian. Kamu jangan berpikiran yang aneh-aneh tentang dia. Aku dan Hendra teman akrab dari kami masih di panti,” Albert tertunduk lemas. Nada suaranya juga lemah, “Aku minta maaf!” ujarnya.
Entah setan apa yang merasukiku. Tapi aku benar-benar merasa dipermainkan. Plaak!!!! Aku tampar Albert keras. Ia masih tidak bergeming.
“Lakukan saja kalau itu memang bisa membuat kamu lega!” kata Albert masih tidak bergeming. Aku kehabisan kata-kata.
“Aku tidak mau lihat wajah kamu lagi disini. Selagi aku masih menghargai kamu, tolong..... keluar dari .......sini......!” suaraku mulai terdengar bergetar menahan tangis. Benar-benar tidak tahu lagi bagaimana harus menghadapi semua ini. Aku dengar Albert keluar perlahan dari kamar itu. Isak tangisku akhirnya mulai terdengar keseluruh ruangan. Begini ternyata rasanya dikhianati dengan orang yang kamu percayai. Seperti ibu dan ayahku.
Aku ambil telepon genggamku mencari kontak ‘Mas Hendra’. Aku mulai menunggu jawaban.
“Halo Rin, gimana keadaan kamu?” tanya Mas Hendra menjawab telepon. Suaranya terdengar lega dan senang.
“Mas, tolong jemput aku disini sekarang juga! Kita harus bicara!” kataku serius. “Aku tunggu Mas disini! Aku sudah tahu semuanya!” kata-kataku mengekspresikan kalau aku sedang menahan marah.
“Baiklah, tunggu saja disitu. Mas akan jemput kamu!” jawaban dari sana terdengar lesu.
___________________________________________________________
Dua tahun kemudian.
Aku sedang makan dengan Mas Hendra di sebuah restoran terkenal di Jakarta. Seperti biasa kami membahas kasus-kasus yang kami temukan di lapangan.
“Kamu tidak menyesal mengundurkan diri dari firma ayahnya Alda?” tanya Mas Hendra kepadaku penasaran. :”Bukankah bekerja di firma besar itu adalah keinginanmu sejak dulu?” lanjutnya.
“Memang iya,” ujarku tersenyum. “Tapi aku sudah putuskan untuk bekerja jadi probono (sebutan untuk pengacara nonprofit) saja.” Lanjutku. Dalam hatiku sangat lega bisa melepaskan kaum elit kapitalis yang membelenggu diriku. Butuh keberanian untuk melakukan hal ini. Namun aku sudah membulatkan tekad untuk menjadi orang yang lebih baik.
“Kamu selalu prinsipil dan realistis. Itu pesona kamu dari dulu,” Mas Hendra memujiku. Ia menyuruput Americano dengan santai.
“Aku sudah bukan penganut aliran realistis lagi, sekarang aku penganut aliran idealis Mas,” lanjutku lagi sambil menyeruput caffe latteku.
“Oh iya, aku bawakan Ibu sweater domba dari Australi,” Mas Hendra menunjukkanku sweater putih yang cantik. “Kira-kira Ibu suka tidak ya?”
“Dia pasti suka apa pun yang kamu kasih Mas. Mampirlah nanti ke rumah. Mas kan baru dua minggu pulang dari bulan madu di Australi, jangan lupa nanti Sinta dibawa juga. Kemarin dia telpon aku, katanya dia mungkin ngidam, soalnya pengen banget rambutan hijau,” kataku meledek Mas Hendra, yang baru saja menikah sebulan lalu.
Mas Hendra tersenyum, dilihatnya jam tangan. “Aduh, aku mesti ke pengadilan sekarang, ada kasus penting!” ujarnya terburu-buru. “Tapi kamu tidak pernah ketemu Albert lagi selama ini?” tanya Mas Hendra.
“Tidaklah, aku sudah tidak punya muka ketemu dia setelah kejadian di Poso, dua tahun lalu,” kataku tegas. Meskipun dalam hati ada sedikit hal yang mengganggu.
“Kamu jangan begitulah! Jangan terlalu cool jadi cewek! Yakin tidak menyesal nanti, aku punya nomornya loh!” tawaran Mas Hendra terdengar menarik.
Aku mulai berpikir lagi. Sialnya aku memang rindu setengah mati dengan pria itu. “Boleh tidak aku minta nomor dia? Soalnya aku kan ada utang sama dia. Kita dulu pernah buat kontrak. Aku belum sempat bayar dia,” kataku mencari-cari alasan.
“Kalian berdua ini ada apa sih sebenarnya? Kalau suka bilang suka, kalau tidak ya tidak! Sudah pada besar juga, kalau tidak ada yang membuat pergerakan duluan, tidak akan ada sesuatu yang terjadi!” Mas Hendra menasihati panjang-lebar.
“Sudah Mas, mana nomornya? Harga diriku keburu habis nih!” kali ini aku benar-benar kehilangan gengsiku yang tinggi.
“Nih!” disodorkannya telepon genggamnya kepadaku. Aku segera menyalinnya ke telepon genggamku.
“Makasih Mas!” kataku sambil mengembalikan telepon genggam Mas Hendra.
“Ya sudah aku ke pengadilan dulu!” Mas Hendra pergi sambil melambaikan tangannya. Tangan kanannya diangkat menunjukkan isyarat seperti orang menelepon. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala.
Kepergian Mas Hendra membuatku bingung akan langkah selanjutnya yang harus aku lakukan. Kalau aku menelepon Albert, bagaimana kalau dia langsung mematikan teleponku. Lagi-lagi ketakutan yang tak beralasan. Entah mengapa kali ini aku merasa jika aku tidak menelepon sekarang, aku akan menyesal selamanya. Akhirnya aku membulatkan tekad untuk meneleponnya. Ragu-ragu aku membuka kontak yang baru kusimpan tadi. Aku tekan panggilan.
Lagu potongan reff lucky terdengar jelas dibelakangku. Aku segera berpaling dan terkejut melihat sosok yang berdiri disana. Ia tersenyum.
“Albert......,” spontan saja kata itu terlontar dari mulutku. Albert segera meletakkan jari telunjuk kanannya diatas bibirnya. Sinyal kepadaku untuk diam.
“Hmmmm..... perkenalkan saya Albert Puruhita, profesi saya sebagai dosen. Dan Anda?” tanyanya sambil tersenyum menawan.
“Hmmmmm.... saya Arina, profesi saya pengacara,” jawabku sambil tersenyum juga. Kami saling berjabat tangan. Memulai kembali sebagai orang yang lebih baik.
Saat ini aku ingat perkataan ibuku setelah kepulanganku dari Poso. Aku harus melepaskan seluruh kenangan buruk disana. Melepaskan orang-orang yang bersalah dan berkhianat. Melepaskan semua, biar Tuhan yang mengatur semuanya. Karena untuk menjadi bahagia, kita perlu melepaskan beberapa kenangan. Menyadari bahwa kita tidak hidup di masa lalu, tapi di masa kini.

Misteri Izombie: Pemakan Otak Gratis Paska Autopsi



Dimana letak otak? Ya, itu di kepala. Otak tempat kita menyimpan semua memori, apakah itu baik ataupun buruk. Setiap manusia punya satu di kepalanya. Selain menyimpan semua memori, otak juga berfungsi untuk mengendalikan seluruh bagian tubuh. Sehingga otak menjadi pusat dari tubuh kita. It's the fact.

Pernah dengar zombie? Kalau penggemar walking dead pasti tahulah makhluk yang berarti mayat hidup ini. Di serial TV barat Walking Dead, digambarkan bahwa sosok zombie adalah mayat hidup yang menyeramkan pemakan manusia. Yah, emang gambaran besarnya seperti itu sih.

Tapi bagaimana kalau ada zombie yang cantik menjadi seorang dokter yang baik dan ahli forensik? Bukan mayat hidup jelek yang kayak kehilangan akal sehat berkeliaran kesana kemari mencari mangsa. Penasaran kan, coba deh baca komik atau bisa juga nonton serial TV IZOMBIE ini di http//dewamovie.com dijamin kamu bisa menonton dimensi baru dari zombie.

Oke, saya akan menceritakan sedikit tentang izombie ini. Izombie bercerita tentang seorang dokter wanita yang hidup bahagia sebentar lagi dia juga akan bertunangan, namanya Olivia Moore. Pada suatu pesta kapal yang dihadirinya, nasibnya berubah 180 derajat karena sebuah cakaran dan ia jadi zombie. Ia kemudian jadi aneh, rambutnya yang semula kecoklatan berubah pirang tak beraturan. Kulit juga menjadi pucat pasi.  Dan yang lebih parahnya lagi, Olive kini rakus akan otak manusia. Dia memutuskan untuk menyudahi pertunangan dengan tunangannya yang bernama Major Lilywhite. Major ini bekerja sebagai pekerja sosial untuk sebuah penampungan remaja.



Karena tertangkap basah oleh atasannya di kamar mayat forensik Ravi, Olivia terpaksa mengakui semuanya dan tragedi menyedihkan yang membuat dia menjadi zombie. Ravi kemudian menerima Olivia sebagai objek penelitiannya, serta bersama Olivia ia berniat membuat obat penawar bagi para zombie ini, agar dapat menjadi manusia seperti sedia kala. Jadilah Olivia dapat otak gratis dengan kerja di kamar mayat.

Makan otak orang itu bisa juga kutukan karena ternyata ada efek sampingnya. Olivia jadi bisa melihat siluet-siluet dari pikiran orang tersebut. Bukan hanya itu, dia juga terpengaruh akan sifat dan mood dari orang yang ia jadikan 'santapan'. Dengan memakan otak dari korban-korban pembunuhan di kamar mayat, banyak kasus-kasus pembunuhan yang ia pecahkan bersama Clive Barbeuneux, detektif pemula di divisi pembunuhan.

Selain itu dia juga ternyata tidak sendiri dengan kezombieannya. Ada sejumlah zombie jahat berkeliaran di kota Seattle. Pemimpinnya adalah Blaine. Mereka membunuh remaja-remaja jalanan, lalu otak-otak mereka dijual kepada klien-klien zombie di kota. Wowww!

Apa yang akan Olive lakukan selanjutnya? Apakah ia sanggup melawan Blaine? Banyak juga kisah-kisah asmara yang tak kalah menariknya. Cocok ditonton untuk pria dan wanita diatas 16 tahunlah. Apalagi bagi penggemar film misteri zombie, rugi banget kalau nggak nonton ini.

Semoga bermanfaat!!!!!!




Saturday, 6 June 2015

Aku Sedikit Berbeda: Itu Permainan Otak Anda


Seseorang pernah berkata "Bukan keadaan yang menentukan nasib kita, tapi pilihan kitalah yang menentukan" walaupun sebagian orang tidak menyadarinya. Bahwa hidup adalah pilihan. Perasaan takut, marah, tidak ingin dikucilkan, terkadang membuat kita sulit untuk menentukan pilihan kita. Ingatlah ITU BUKAN KARENA KEADAAN! Kita selalu dapat mengatakan TIDAK pada sesuatu yang tidak ingin kita lakukan, begitupun sebaliknya. Meskipun hal ini terdengar mudah, ini sungguh tidak semudah kedengarannya.

Pernah sewaktu saya menonton National Geographic Channel nama programnya Brain Games. Saya tertegun bahwa otak manusia amat rentan dengan teralihkan dan tipuan. Makanya di dunia ada yang namanya hipnotis dan sulap. Itu merupakan bukti nyata, bahwa apapun yang sudah tertanam dalam pikiran kita, dapat saja teralihkan dan tertipu oleh "sedikit ilmu".

Kembali ke Brain Games, pada saat saya menonton banyak sekali permainan-permainan tentang tipuan mata. Tapi hanya satu permainan yang masuk dalam long time memory (memori jangka panjang) saya, yaitu permainan terpengaruh karena berbeda.

Pola permainannya sangat mudah yaitu diletakkan dua gambar, yang satu bergambar 1 buah garis dan yang kedua gambar 3  buah garis tidak sama panjang. Ada sekitar 10 orang mengantri untuk memastikan garis manakah dari ketiga garis A-B-C di gambar kedua yang sama dengan satu garis pada gambar pertama. Sekilas, tampak jelas bahwa itu adalah garis C. 9 orang telah maju ke depan dan mengatakan bahwa garis A lah yang benar. Ternyata 9 orang ini hanya sewaan tim Brain Games. Peserta yang ditunggu pendapatnya hanyalah orang ke 10. Orang nomor 10 itu tampak berpikir keras. Akhirnya dia memilih garis A, padahal jelas ia tahu bahwa garis C yang benar? Lantas mengapa ia memilih garis A?

Percobaan games ini dilakukan sampai lima kali, dan hanya 1 orang yang menjawab sesuai kebenaran dan tidak mengikuti  grup 9 orang sewaan. Apa artinya? Bahkan tanpa hipnotis pun, otak manusia sangat mudah terpengaruh bahkan dengan tipuan sekecil ini. Sebagian manusia sangat takut untuk menjadi berbeda, tidak sesuai dengan kawanan, walaupun dia sebenarnya benar. INTINYA DIA TIDAK DAPAT MEMPERTAHANKAN PENDAPATNYA SENDIRI karena orang lain.

Ingin hidup aman, dengan pekerjaan stabil (syukur-syukur sesuatu yang disukai) bersama keluarga kecil bahagia adalah impian sebagian besar orang, itu adalah impian umum setiap insan yang hidup di dunia. Nothing wrong about that, it's ordinary dream but it's sweet. Pertanyaannya adalah apakah itu benar pilihan Anda atau itu hanya "Anda terlalu takut", Anda tidak punya pilihan lain. Terlalu takut bahwa "Anda menjadi berbeda dengan umumnya". Takut bahwa Anda akan mencapai sisi paling gagal dalam hidup Anda. Dan tidak ada lagi punya jalan keluar. Atau mungkin Anda terlalu takut bahwa Anda tidak lagi punya titik bahkan untuk kembali.

Sedikit berbeda bukan berarti Anda salah. Sedikit berbeda bukan berarti Anda gila. Sedikit berbeda bukan berarti Anda buangan. Sedikit berbeda, asalkan itu bukan dosa, itu sah saja. Karena apa? Itu hak Anda. Itu pilihan Anda. Que sera sera!

Otak memiliki keterbatasan. Sebenarnya perasaan kita pun adalah otak kita. Orang bilang kesabaran tidak ada batasnya. Bullshit..... jelas kesabaran ada batasnya. Hanya ada 2 hal di dalam diri kita yang tidak ada batasnya yaitu keinginan dan usaha. Selama kita memiliki keinginan dan usaha, bersabar dan berkerja itu bukan sebuah kendala. Tentu saja selama itu digunakan untuk hal-hal yang baik.

Daun yang jatuh tidak pernah menyalahkan angin. Karena apa? ketika ia jatuh dan berguguran, ia yakin itu sudah waktunya. Ia yakin bahwa akan ada daun-daun hijau lainnya yang akan tumbuh. Seperti keinginan dan usaha yang tidak pernah sia-sia. Jangan lupa untuk selalu diiringi dengan do'a.

Dunia ini tidak hitam putih, dunia ini bukan terbagi atas manusia baik dan manusia jahat. Tapi di setiap diri manusia selalu ada sisi baik dan sisi jahat. Itu bukan masalah di sisi mana ia sekarang, selama ia mampu kembali ke sisi baik dan memperbaiki kesalahannya. Mungkin titik untuk kembali tidak ada saat Anda sudah memutuskan suatu pilihan, tapi ingat selalu ada titik nol, dimana Anda dapat kembali memulai hidup Anda kembali, sesuai dengan pilhan Anda tentunya.

Semoga bermanfaat

Sunday, 31 May 2015

Harry Potter: Teman Masa Kecilku


Malam ini setelah hampir satu minggu tidak membuat postingan apapun karena kehabisan ide, adik bungsuku yang katanya besok ujian statistik, malah mengajakku nonton film. Mulanya dia bertanya apakah aku masih ada koleksi film Harry Potter di netbook. Yah.... film itu sudah lama kuhapus. Seri terakhir yaitu Harry Potter and The deadly Hallows part 2, aku nonton di tahun 2011 kalau tidak salah. Dan aku benar-benar puas dengan endingnya.

Harry Potter mampu memikatku yang waktu itu masih kelas tiga SD, sama sekali tidak tahu bahasa Inggris kecuali yes dan no ke dalam pusaran kekaguman. Malam ini memutar flash back ingatanku saat itu, waktu itu belum ada internet marajelela seperti sekarang. Bahkan untuk nonton Harry Potter Sorcerer Stone a.k.a batu bertuah, aku dan kakakku harus patungan untuk menyewa kaset. Yang paling ajaibnya kaset itu tulisan subtitlenya tidak jelas sama sekali lagi bahasa yang diartikan saat itu adalah bahasa Melayu.

Kalau ingat masa kecilku dulu, aku selalu punya luka yang menganga lebar di salah satu ruang hatiku yang terdalam. Tidak ada seorang pun seumur hidupku dapat menyentuhnya. Ini adalah batas keras untuk orang lain mengetahui hal ini ada pada diriku. Sejak kecil aku adalah anak yang rapuh, namun aku selalu berusaha menutupinya dengan sikap yang ceria. Meskipun aku anak yang ceria, aku sama sekali tidak menyukai TK. Tidak ada yang pernah ada tahu alasan sebenarnya karena aku selau berdalih "aku benci TK karena kerjanya hanya berdoa, cuci tangan dan makan." Tapi anak kecil mana yang tidak suka aktifitas itu?

Ya, alasanku sebenarnya tentu saja bukan itu. Yang membuatku tidak suka TK adalah teman-temanku dan orang tua mereka. Mengapa? karena teman-temanku selalu diantar oleh ibu atau ayahnya ke sekolah. Ditunggui, kadang kalau ada bekal yang kurang ibu mereka akan terbirit-birit membelikan. kadang ketika mereka terjatuh, ibunya akan segera datang mengelap kaki atau tangan kecil mereka dengan penuh rasa sayang.

Untungnya ada beberapa teman yang bernasib sama denganku, alias mereka juga tidak ditunggui orang tuanya. Tapi aku kembali down ketika waktu pulang telah tiba. Karena selalu aku menjadi anak yang tidak pernah dijemput orang tua. Sehari-hari, aku selalu berjalan kaki bersama kakakku yang waktu itu SD kelas VI. Pergi TK kepagian dan pulang TK kesorean. Belum lagi setelah tiba di rumah, aku harus belajar membaca diajari ayahku dengan penuh kemarahan dan pukulan dengan lidi atau kayu. Aku selalu takut pulang dan tidak suka sekolah. Tapi aku lebih memilih dipukul daripada sekolah. sehingga di TK aku berhenti setelah satu bulan.

Kenangan itu masih tertanam jelas di ingatanku. Saat itu adalah masa yang paling buruk. Ketika SD, dengan bekal kepandaianku membaca sejak umur 5 tahun, aku membaca apa saja di sekelilingku tanpa pilih-pilih. Aku mulai menyesuaikan diri di SD. Meskipun aku tidaklah terlalu pandai, tapi aku bukan anak yang bodoh.

Itulah sekilas masa laluku. Aku masih penyendiri saat itu. Kalau dipikir-pikir, aku mulai berubah semenjak menonton Harry Potter. Dulu aku kira buku-buku dan kepandaian adalah segalanya. Tapi Harry Potter yang mengajarkan kepadaku bahwa persahabatan dan keberanian juga tidak boleh diabaikan. Aku mulai berkawan dengan siapa saja dan mulai berani membuka diri. Kalau dipikir-pikir, aku waktu itu belum bisa bahasa Inggris. Pada akhirnya, aku jadi penasaran dan mulai tertarik dengan Bahasa Inggris. 

Waktu kelas tiga SD, pelajaran Bahasa Inggris dimulai dan aku sangat menyukainya. Aku tidak pernah ikut kursus karena kedua orang tuaku tidak mampu. Aku hanya suka belajar sendiri, menonton Harry Potter berulang-ulang, karena Englishnya British, aku mampu mengikutinya. Di sekolah tidak ada temanku yang menonton itu, jadi ya aku tidak ada tempat bercerita. Kebanyakan mereka suka sinetron Indonesia. Kadang aku menonton juga, tapi itu tidak cukup berkesan.

Aku sangat suka karakter Harry Potter karena sekilas dia sepertiku. Dia tipe orang yang tidak terlalu suka teori dan lebih mencintai praktek, dia juga tetap sendiri dengan lukanya walaupun dia tersenyum dengan orang lain, sama sepertiku. Aku juga suka kacamata Harry Potter yang bulat, menurutku itu menunjukkan keberanian, kepandaian dan kebaikan hatinya kepada orang di sekelilingnya. Bayangkan waktu itu umurku baru 9 tahun, tidak bisa bahasa Inggris, menonton CD Harry Potter yang kuputar berulang-ulang sambil mendengar kata-katanya, bersama subtitle yang tidak bisa dimengerti. Kedengarannya emang boring.

Harry Potter, sahabat masa kecilku. selain buku-bukuku tentunya. Sampai sekarang aku mengakuinya. Bahkan sebelum aku terkagum-kagum dengan Detektif Conan dan Sherlock Holmes, sesungguhnya Harry Potter sudah ada sebelum mereka.

Aku sekarang telah dewasa. Aku tersenyum sendiri memikirkan "yang hebat itu bukan Harry Potter, tapi imajinasi penulisnya" opiniku karena yang membuat adalah seorang ibu yaitu J.K. Rowling, banyak pesan moral yang diselipkan. Terima kasih Bu J.K. Rowling, bahkan waktu aku studi di Jawa, banyak teman-teman yang memujiku karena kemampuan Bahasa Inggrisku sampai sekarang.

Love you Harry Potter......!

Wednesday, 27 May 2015

Surat untuk Jiwamu yang Sendiri






Ada sebuah ruang besar dalam hatimu, kosong tidak berisi.

Tak ada yang menyelamatkanmu sekarang mungkin juga nanti.
lagi-lagi... kamu sendiri.
Ini untuk kamu yang duduk disana menangis seorang diri.

Kamu yang menangis, ketika sahabatmu tertawa.
Kamu yang menangis, ketika pacarmu bercanda.
Kamu yang merasa sendiri tiada akhirnya....

Jangan menangis lagi meskipun kamu sendiri dan merasa sedih,
Aku akan mendengarkan ceritamu,
ketika semua orang hanya ingin kamu mendengar cerita mereka,
Aku akan menghapus air matamu,
Ketika semua orang yang datang padamu hanya  ingin kamu menghapus air mata mereka.

Untuk kamu yang menangis dan selalu tegar di depan orang lain.
Untuk kamu yang menangis ketika semua orang pergi.
Ingatlah kamu tidaklah sendiri,
Meskipun dunia melukaimu begitu banyak,
tolong jangan menangis lagi.

Ini untuk kamu yang terlalu egois,
selalu berdiri sendiri,
Kumohon jangan memaksakan diri,

Kamu hanya perlu seseorang,
bukan hanya sekedar seseorang seperti sahabat atau kekasih,
tapi seseorang yang mau mendengar ceritamu,
tertawa denganmu, mendoakanmu, dan menghapus air matamu....

Tuhan,apakah terlalu serakah baginya,
Ia ingin memiliki seorang saja,
hanya seorang saja untuk berada disampingnya.
agar ia tidak lagi sedih dan sendiri....

By me.....




Monday, 25 May 2015

Melepas Kenangan: Kisah Seorang Pengacara Perceraian (Bag.III)

Ingatan-Ingatan Yang Kembali


“Iya......,” jawabku singkat. Setelah jawabanku, situasi kembali canggung. Kami tidak lagi saling bertanya. Aku tertidur. Itu memang hobiku jika di pesawat.
Aku terbangun ketika mendadak pesawat sudah landing di Makassar. Aku menengok Albert ternyata juga tertidur. Aku kemudian mendengar pengumuman kalau kami tidak perlu berganti pesawat untuk menuju Palu. Jadi aku tenang-tenang saja. Sekitar 15 menit kami berhenti di bandara Makassar lalu melanjutkan perjalanan ke Palu.
“Makassar sudah lewat yah?” tanya Albert padaku. Ternyata dia baru saja terbangun.
“Iya.....,” jawabku singkat. Keringat dingin aku lihat mengucur deras dari kepalanya. Aku jadi khawatir dengan Albert ini.
“Kamu sakit?” tanyaku padanya. Ia menggeleng.
“Tidak kok!” jawabnya singkat. Meskipun penglihatanku jelas dia sakit.
“Kalau begitu aku.......,” kataku sambil berdiri, ingin melapor pramugari. Tapi Albert keburu menahan tanganku. Aku terkejut. Ia mengisyaratkan aku untuk duduk. Ia tetap memegang tanganku. Ia pun tertidur. Aku tak tahu harus melakukan apa. Aku hanya bisa diam di tempat sambil memegang tangannya yang juga sudah keringat dingin.
Empat puluh lima menit sudah kami di dalam pesawat. Sebentar lagi kami akan tiba di Bandara Sis Al Jufri Palu. Aku ingin membangunkan Albert tapi tidak tega. Tanpa diduga, ia akhirnya terbangun. Pengumuman bahwa waktu landing semakin dekat sudah dikumandangkan. Sampailah kami di Palu.
Albert tampaknya sudah sadar. Ia berusaha berdiri untuk mengambil barangnya. Aku sendiri juga masih kesulitan mengambil barangku. Aku terkejut ketika Albert membantuku mengeluarkan tas.
“Makasih!” ujarku ketika ia selesai mengambilkan barangku.
“Aku yang harusnya terima kasih. Maaf aku memang selalu mabuk udara,” ujarnya sambil menggaruk-garuk kepalanya. Aku tersenyum.
“Tidak apa-apa kok!” balasku. “Sebenarnya aku ada permintaan, tapi takutnya malah membebani kamu nanti,” aku ragu-ragu ingin menyatakan untuk ikut dengannya karena aku sendiri belum pernah ke Poso.
“Kamu mau ikut aku ke Poso? Ini pasti kali pertama kamu kesini?” tanyanya padaku. Aku tidak ada pilihan selain mengangguk.
“Baiklah,” katanya. “Tunggu sebentar yah!” lanjutnya meninggalkan aku sendiri di ujung jalan bandara. Bandara ini memang cukup kecil, sehingga aku rasa tidak mungkin orang tersesat disini. Aku bisa melihat dari kejauhan Albert sedang bicara dengan orang. Mungkin tentang mobil yang akan kami naiki. Ia kembali mengambil seluruh barang-barangku.
“Ayo ikut, mobil rentalnya sudah ada,” ujarnya. Aku masih terkesima agak ragu dengan keputusanku. “Aku bukan orang jahat kok!” lanjutnya sambil menarik tanganku. Aku masih terdiam mematung. Dikeluarkannya salah satu kartu namanya dari dalam dompet.
Albert Taoya, B.Sc, M.Sc, P.Hd
Dosen Antropologi Universitas P
Oh, dosen rupanya. Aku memandangnya. Ia juga memandangku. Sinyalnya menunjukkan ingin aku segera naik ke mobil. Aku pun segera naik ke dalam mobil, begitupun ia.
“Oh ya, kamu kan sudah tahu profesiku, kamu sendiri profesinya apa?” tanya Albert ketika kami sudah memulai perjalanan.
“Aku pengacara,” jawabku singkat. Aku berusaha untuk tidak mengungkapkan rasa tidak nyamanku ketika bicara tentang pekerjaan.
“Sepertinya kamu punya sedikit masalah di kantor, lebih baik tidak usah dibicarakan kamu tampaknya kurang nyaman,” ujarnya. Dang! Aku jelas sudah tertangkap basah. Lagipula sedang apa seorang pengacara di hari kerja seperti ini malah berkeliaran di tempat asing ini.
“Kamu sendiri, apa tujuanmu kemari?” tanyaku penasaran.
“Oh, aku mau research, sekaligus pulang kampung. Sudah hampir lima tahun aku tidak pulang ke rumah. Oh iya, kampungmu nama desanya apa?” tanya Albert.
“Desa L*****,” ujarku. Albert mengangguk.
“Wah, desa itu duluan daripada desaku S***, kalau begitu aku akan menurunkan kamu dulu,” ujar Albert lagi. Kami akhirnya mulai percakapan selanjutnya. Percakapan yang ringan-ringan saja. Sesekali aku tertawa mendengar Albert bercerita.
Banyak cerita Albert yang mengundang gelak tawa. Ia banyak bercerita tentang mahasiswa-mahasiswa aneh di kelasnya. Ia juga sering mengadakan research baik di dalam maupun luar negeri. Menarik. Setidaknya topik ini sangat jauh dari keseharianku yang berhadapan dengan manusia-manusia yang mengesalkan. Free spirit, itulah yang dapat aku tangkap dari keseharian Albert.
Dari Mas Hendra, aku tahu bagaimana bermimpi. Bersama Mas Hendra, aku bisa menceritakan apapun mengenai mimpiku. Kami berdua menggeluti bidang hukum, maka omongan kami lebih dari boring, bagi orang awam. Lama-kelamaan, kami terbiasa untuk berkomunikasi dengan cara kami sendiri. Jenis komunikasi ini sering membuat kami salah paham, tapi akhirnya itu berakhir sendiri tanpa ada pernyataan bahwa salah paham kami berakhir.
Ketika kami membahas suatu kasus, dulu kami saling mengagumi dan melengkapi dalam berargumen. Sekarang masing-masing selalu berkeras, akhirnya memicu kami untuk tidak lagi saling bicara selama beberapa hari. Tidak ada pertengkaran. Tidak ada deklarasi minta maaf. Biasanya Mas Hendra tiba-tiba datang dan mengantarku pulang ke rumah. Aku juga malas mengungkit masa lalu, memutuskan untuk naik saja ke mobil Mas Hendra. Akhir pekan kami akan pergi ke restoran, makan bersama lagi. Saat itu, kami akan memilih untuk tidak lagi membicarakan hal yang lalu. Tanpa kami sadari setiap kesalahpahaman kami sebenarnya tidak pernah berakhir. Sampai tibalah hari aku menangkap basah kelakuan Mas Hendra.
Bukannya aku tidak tahu kelakuan Mas Hendra sebagai jaksa yang menerima uang dari sana-sini. Aku sering mendengar Mas Hendra melakukan percakapan kotor di telepon. Aku berusaha untuk memahami apa yang dilakukan Mas Hendra. Tapi yang ini benar-benar keterlaluan.
Kalau mungkin dalam kasus yang tidak aku ketahui, aku mungkin dapat menutup mata. Kali ini aku menangkap basah Mas Hendra melakukan itu, kasusnya aku dan seantero Indonesia juga tahu. Ini kasus pidana besar, memakan banyak korban yang tidak bersalah.
“Hello.....!” kata-kata Albert mengagetkanku. “Are you with me? Aku lagi cerita dan kamu juga lagi bercerita sendiri di dalam pikiranmu. Tampaknya masalahmu sangat berat. Itulah yang dapat aku simpulkan,” lanjut Albert.
“Hmmm.... tidak apa-apa,” ujarku. “Aku mengantuk,” lanjutku mengalihkan topik pembicaraan. Aku sebenarnya bukan mengantuk, tapi malas membicarakannya. Aku pura-pura tidur. Masih bisa aku merasakan ketika Albert memindahkan kepalaku ke bahunya. Aku sedikit terkejut, segera sadar bahwa aku dalam posisi sedang tertidur. Maka aku ikuti saja apa yang dilakukannya.
“Seberapa jauh kamu ingin menyembunyikannya, seperti itulah aku ingin mengetahuinya,” ujar Albert entah berbicara dengan siapa. Aku masih pura-pura tertidur, menutup mataku rapat-rapat.
Perjalanan mulai memasuki gunung yang berkelok-kelok. Seketika aku terbangun dan perutku sakit. kepalaku juga pusing. Aku mengangkat kepalaku pelan. Albert tampaknya agak terkejut aku sudah bangun.
“Kamu lapar? Atau mual?” Albert khawatir melihatku memegang perutku.
“Bisa berhenti sebentar?” aku akhirnya tidak bisa menahan diri lagi. Perutku berbunyi keras, membuat Albert tertawa. Aku sendiri malu karena kejadian itu. hanya bisa menghadap membelakangi Albert sambil menggigit bibir.
“Pak berhenti dulu!” ujar Albert berusaha menghentikan pak supir. Tidak berapa lama Pak supir berhenti. “Sebaiknya kita cari warung dulu buat istirahat,” lanjut Albert lagi. Dituntunnya aku keluar dari mobil.
“Wow.... indahnya...... sejuknya.....,” baru saja aku menyadari pemandangan gunung yang sangat indah.
Albert masuk ke dalam sebuah warung. Aku mengikutinya dari belakang. Aku melihat tulisan warung makan ‘nabelo’ kebon kopi, mungkin nama desanya. Aku sendiri yang mulanya sedikit mual, jadi excited melihat semua ini.
Aku mulai mengambil beberapa gambar selfie dengan kamera handphoneku. Rugi juga pemandangan yang keren begini tidak diabadikan.
“Hei.... aku sudah pesan, kesini dulu! Kamu mau pesan apa?” teriak Albert dari dalam warung.
“Oh iya...!” aku menjawab, sambil berjalan ke arah Albert. Ia sudah kembali masuk ke dalam. Aku terantuk batu, sehingga hampir jatuh. Saat itulah aku melihat sebuah foto tergeletak di tanah. Ini kan Albert?, pikirku. Disitu Albert berpose cukup mesra dengan cewek yang wajahnya agak kecina-cinaan. Mungkin saja pacarnya.
“Albert...!” panggilku ketika tiba di dalam warung. Albert berpaling melihatku.
“Ada apa?” tanyanya menyahuti panggilanku.
“Ini!” kusodorkan foto yang kudapat tadi. “Terjatuh tadi di depan,” lanjutku.
“Oh..... ,” ia sepertinya agak terkejut menerima foto itu.
“Pacar ya?” tanyaku lagi
“Mantan pacar.......,” suara Albert terdengar agak lemah.
“Oh, sorry.......!” kataku agak menyesal menanyakan hal tadi.
Kami terdiam. Pesanan Albert telah datang. Aku sendiri sadar belum memesan apa-apa sejak tadi.
“Oh iya, kamu mau pesan apa?” tanya Albert lagi.
“Aku ikan saja,” ujarku masih dalam keadaan canggung.
“Ikan bakar Mbak satu!” teriak Albert ke pelayan yang ada di dalam.
“Iya Pak!” orang yang di dalam menyahuti Albert.
Kami makan dengan tenang. Situasi canggung lagi. Albert akhirnya buka suara.
“Kamu tahu tidak, katanya di gunung ini ada jalan menuju dunia lain?” tanya Albert terlihat sekali ingin mengalihkan pembicaraan. Aku mulai mengerti arah pembicaraan ini. Aku memutuskan untuk mengikuti saja alurnya.
“Memangnya ada yang seperti itu? di dunia modern begini hantu tidak ada,” ujarku. Aku memang tidak percaya hantu atau mistis.
“Aku tidak pernah bilang hantu,” ujarnya. “Ini seperti dunia lain yang tidak terjamah manusia. Dunia dimana orang semua jujur dan tidak saling membohongi. Dunia tanpa kriminal. Kita semua hanya belajar jadi orang baik,” lanjut Albert.
“Seandainya ada yang seperti itu, aku benar-benar akan hidup di dunia lain itu,” ujarku tulus.
“Nanti selesai makan ayo jalan kesana. Tidak terlalu jauh kok dari sini!” kata Albert mengajakku kesana. Aku mengangguk. Udara gunung yang sejuk membuatku segar kembali. Selama ini aku merasa Albert sangat terbuka. Sekarang aku yakin ada beberapa hal yang ingin dia sembunyikan.
“Itu dia tugu kuningnya, ini terkenal sekali loh! Kita harus hunting juga,” Albert terlihat riang. Aku tersenyum melihat tugu kuning yang bertuliskan ‘uventira’ itu. “Saking mistisnya orang percaya kalau lewat di jalan ini dengan kendaraan harus membunyikan klakson tiga kali,” lanjut Albert lagi. Aku mengangguk saja lalu tersenyum. Tidak ada hal yang seperti itu, ujarku dalam hati.
“Aku mulai sadar kalau antropolog juga menyelidiki hantu kayak paranormal,” aku bercanda. Aku palingkan wajahku ke arah Albert, lalu dia memotretku. Aku sedikit terkejut, wajahku mungkin merah karena malu.
Dia tersenyum mengalihkan pandangannya dariku sambil terus memotret. “Jangan seperti itu. Aku tahu mungkin masalahmu berat, tapi kamu pasti bisa mengatasi semuanya. Kamu cantik kalau tersenyum.”
“Aku tidak yakin. Tapi aku sudah tertangkap basah. Apalagi yang bisa aku perbuat?” aku tahu aku berhadapan bukan dengan orang biasa. Aku harusnya tidak terlalu menampakkan kegelisahanku.
“Ayo kita naik sekarang!” ajak Albert. “Masih butuh waktu 4 jam untuk sampai ke tujuan,” lanjutnya lagi. Aku berjalan duluan, kemudian dia mengikutiku dari belakang.
_______________________________________________________
Tidur panjangku ternyata membawa berkah. Buktinya, sepanjang perjalanan aku tertidur pulas.
“Bangun Rin! Kita sudah sampai di desamu, kita perlu tahu alamat rumahmu untuk menuju kesana,” suara Albert membangunkanku. Aku masih setengah sadar, sedikit bingung. Albert mulai menggaruk-garuk kepalanya. Saat itu aku mulai berangsur-angsur kembali ke kesadaranku semula.
“Mari kita turun dulu!” aku sedikit khawatir. Karena aku sendiri tidak tahu dimana alamatnya sebenarnya. Maka aku perlu teman untuk berjalan kaki mencari alamat.
“Ada apa?” tanya Albert mengikuti dengan serius. “Kamu tidak tahu alamatnya?” nada suaranya sedikit agak tinggi. Aku mengangguk. Seumur hidupku aku tidak pernah minta bantuan sebanyak ini dari orang asing.
Albert mulai menggaruk-garuk lagi kepalanya. Ia tampak bingung. “Bukannya aku tidak ingin menemanimu, cuma dengar ya, aku.... ada banyak pekerjaan yang harus aku kerjakan disini,” ujar Albert masih menggaruk kepalanya. Disana ada penginapan. Menginaplah disana malam ini, besok kamu bisa mulai mencari,” ujar Albert panjang lebar. Aku mengangguk saja.
“Terima kasih!” kataku singkat. Aku mengambil koperku. Menyeretnya ke arah penginapan. Ketika aku mulai berjalan, kulihat ke belakang ternyata mobil yang aku naiki tadi sudah pergi ke arah berlawanan. Ternyata ia memang sudah pergi meninggalkan aku. Jadi apa boleh buat, mulai sekarang aku akan bertindak sendiri.
Aku masuk masuk ke dalam penginapan yang ditunjukkan Albert tadi. Seorang wanita muda pertengahan 20-an yang menjaga penginapan. Wanita itu tersenyum.
“Mau pesan kamar Ibu?” tanyanya ramah. Aku tersenyum.
“Iya,” jawabku singkat.
“Mau kamar yang bagaimana Ibu?” tanya perempuan itu lagi.
“Yang penting ada AC,” jawabku sambil melihat-lihat sekeliling.
“Oh ada, silahkan ikut saya Bu!” ia mengajakku pergi ke kamar yang ternyata tidak jauh dari kantor. Memberiku kunci dan meninggalkan aku. Kutengok jam tanganku menunjukkan pukul 16.30. Aku berinisiatif untuk mandi lalu istirahat. Besok akan menjadi hari yang melelahkan bagiku. Tunggu dulu lupakan soal mandi karena aku telah tertidur.
Tok...tok...tok.....
Suara pintu diluar mengagetkanku. Aku ingin berdiri, namun badanku rasanya sakit semua. Sinar matahari pagi yang menyengat juga mulai terasa. Kutengok jam tanganku, ternyata sudah jam 7 pagi. Ya ampun.... aku ini tidur atau apa sih sebenarnya? Sampai lupa waktu begini.
Tok....tok...tok....
“Iya sebentar!” aku bangkit dari tempat tidur dengan kepala yang masih pusing luar biasa. Siapa sih pagi-pagi begini? Kubuka pintu kamarku pelan.
“Halo.....!” sapa orang yang ada di depan pintu. Aku menggosok-gosok mataku tidak percaya.
“Albert! Loh bukannya kemarin........,” belum sempat kulanjutkan kata-kataku, Albert langsung tertawa melihat penampilanku.
“Coba kita lihat.......hahaha.....!” Albert menunjukku. “Baju kemarin, celana kemarin, rambut awut-awutan, badan bau mobil ditambah keringat, jorok banget sih kamu ini, oh iya jangan lupa berkaca kalau ada kesempatan!” kata-kata Albert lumayan membuatku malu. Segera aku banting pintu. Aku mencium bau badanku sendiri. Ampun.... baunya...... aish, pantas saja. Aku ambil handuk dalam koper. Tidak sengaja aku melewati cermin meja rias.
Hahahaha..... aku tertawa sendiri melihat wajahku yang berlumuran maskara. Semua wajahku kehitaman dan mataku menjadi mata panda. Ampun.... kali ini harga diriku benar-benar terkoyak di depan Albert. Habis sudah tak bersisa. Rasanya ingin menangis karena malu.
Sehabis mandi, aku membuka pintu kamarku untuk sarapan pagi. Di depan kamar, ternyata Albert sudah menghilang. Aku bersyukur sekali. Dengan tenang aku menuju ke depan penginapan. Kulihat Albert duduk manis disana. Aku berusaha mengacuhkannya. Ia rupanya melihatku dan segera mengejarku.
“Ayo cari makan sama-sama!” Albert menggenggam tanganku. “Kita makan nasi kuning pagi ini,” lanjutnya sambil tersenyum. Aku tidak punya pilihan lain selain mengikutinya. Toh, aku tidak mengenal satu orang pun disini.
“Aku punya satu permintaan buat kamu. Aku mohon bantu aku mencari seseorang!” aku memohon pada Albert. “Aku tidak akan menanyakan alasanmu kembali kemari. Tapi aku mohon kamu mau membantuku,” Albert lumayan terkejut dengan penuturanku. Aku sudah memutuskan untuk menelan harga diriku.
“Siapa yang kamu cari?” tanya Albert lagi terdengar penasaran.
“Ayahku, kemungkinan beliau menjadi korban kerusuhan Poso. Aku akan cerita selengkapnya kalau kamu mau bantu aku,” ujarku serius. Aku tidak mau membuang energiku untuk sesuatu tidak berguna. “So, you are in or not?”
Ok, I ‘m in. Aku akan membantumu. Kebetulan aku sedang research tentang hal yang sama. Aku hanya ingin memperingatkan. Kamu tahu skenario terburuk dari semua ini kan? Ayahmu mungkin sudah tewas,” ujar Albert memperingatkan.
“Aku mengerti. besok akan aku siapkan kontraknya. Sebagai pengacara, segala perjanjian harus dilakukan hitam diatas putih,” ujarku. Aku tidak mau lagi kena tipu daya kriminal. Sekedar antisipasi.
“Ok... Deal. Bagaimana kalau kamu cerita secara keseluruhan informasi yang kamu ketahui sekarang? Benar-benar tidak sabar mendengarnya!” Albert kelihatan sangat antusias mendengar ceritaku.
“Aku sendiri juga tidak tahu banyak tentang ayahku. Yang kutahu hanya beliau bernama Hardi. Nama belakangnya aku tidak tahu. Ibuku juga tidak memberitahu aku. Dulu beliau tinggal di desa ini. Aku punya fotonya, ini......!” kusodorkan foto lama yang diberikan ibuku beberapa waktu yang lalu.
“Ini mungkin agak sulit, tapi aku ada pertanyaan,” ujar Albert penasaran. “Kamu lahir di tahun berapa?”
“1989,” jawabku singkat.
“Kalau kerusuhan Poso tahun 2000-2001 seharusnya kamu sudah berumur 10-11 tahun. Masa kamu tidak ingat siapa ayahmu?” tanya Albert lagi.
“Itu adalah misteri lainnya. Aku.... tidak bisa mengingat apapun yang terjadi sebelum umurku 10-11 tahun. Memori itu tersegel rapat,” jawabku kepada Albert. Ia mengangguk.
“Tersegel? Berarti itu memori yang benar-benar buruk. Kamu yakin ingin membuka memori yang tersegel?” tanyanya meyakinkan pilihanku.
“Itu tersegel karena aku, hanya aku yang dapat membukanya. Aku benar-benar ingin tahu kebenarannya,” kataku membulatkan tekad.
Begitulah aku dan Albert memutuskan untuk bekerja sama mencari ayahku. Tentunya tidak gratis, karena secara hitam diatas putih, kami memiliki kontrak yang sah berikut bayarannya. Aku menyewa Albert.
Keesokan harinya, kami sepakat untuk memulai pencarian. Desa ini tidak luas, hanya terdiri dari tiga dusun dan 220 kepala keluarga. Kami bertanya hampir ke setiap warga yang kami lewati sepanjang jalan. Kebanyakan warga tidak tahu. Aku hampir putus asa. Hanya Albert yang terus menguatkan aku.
“Capek juga yah! Ayo kita istirahat sebentar, mataharinya bikin kita terbakar,” ajakku kepada Albert. Aku sendiri sudah kehabisan tenaga. Tiba-tiba perutku berbunyi keras. Albert tertawa mendengarnya. Tak disangka perutnya juga berbunyi.
“Kayaknya kita perlu makan deh! soalnya perut tidak bisa diajak kompromi kayaknya,” Albert mengajak aku ke warung terdekat.
Seorang laki-laki muda umur belasan yang menjaga warung tersenyum ramah. Kebanyakan rumah makan disini memang tidak menyediakan menu lain selain ikan. Selama hidupku aku tidak pernah makan ikan sebanyak ini.
“Oh iya De, kenal Pak Hardi?” tanya Albert. Aku menyikutnya. Jangankan anak umur belasan, warga yang tua saja tidak tahu.
“Kurang tahu Pak, tapi coba saya tanya kakek saya dulu di dalam,” ujar si anak menuju ke dalam salah satu kamar. Ada tiga kamar memang disana.
Si kakek keluar dari kamar tersenyum hangat. “Siapa yang mencari Hardi?” teriaknya.
“Saya Kek!” jawabku spontan. Si kakek menoleh ke arahku. Beliau mendatangiku, lalu memelukku erat. Aku masih ragu. Ku keluarkan foto tua pemberian ibuku.
“Maaf Kek!” aku berusaha melepaskan diri. “Apa benar Pak Hardi yang ada di foto ini?” aku menyodorkan foto itu. Si kakek mengangguk.
“Kamu anak Hardi?” tanya kakek tadi penasaran kepadaku.
“Iya Kek!” jawabku singkat. Si kakek membelai kepalaku.
“Ayahmu, dia pria yang sangat baik. Aku benar-benar minta maaf atas semua kesalahan yang telah aku perbuat kepadanya,” ujar si kakek terharu. Beliau mulai meneteskan air mata dan berlutut dihadapanku. Aku lumayan panik juga melihat keadaan itu.
“Tidak apa-apa Kek, saya hanya ingin mendengar kejadian yang sesungguhnya. Ayah saya sebenarnya siapa dan apakah beliau masih hidup atau sudah tiada di dunia ini,” ujarku pelan.
“Ayahmu sudah tiada Nak.....,” si kakek menangis terisak. Beliau masih saja berlutut. “Ibumu, keadaannya bagaimana sekarang?” tanya beliau lagi.
“Beliau baik-baik saja,” kataku. “Bisa kakek ceritakan semuanya tentang ayah, ibuku juga saudara-saudaraku yang lainnya. Apakah mereka semua meninggal saat kerusuhan?” tanyaku. Berbagai macam pertanyaan yang sangat ingin aku lontarkan. Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar-putar di kepalaku.
“Ayahmu terlahir sebatang kara. Hanya saya dan anak saya keluarganya. Kamu lihat, ini anakku!” beliau menunjuk ke salah satu lelaki lain di foto itu selain ayahku. “Ini istrinya,” ia menunjuk ke arah perempuan di sebelah lelaki yang ia sebut anakmya.
“Dimana mereka sekarang Kek?” tanyaku penasaran.
“Anakku dia meninggal gantung diri karena tidak kuat dengan dosa yang telah saya perbuat , sedangkan menantuku..... juga sudah meninggal karena sakit. Ini semua adalah karma atas perbuatan saya,” Kakek mulai menitikkan air mata lagi. Tangan kurusnya menggenggam tanganku.
“Ayahku dimana beliau sekarang?” tanyaku berusaha mengkonfirmasi.
“Ayo kita pergi ke tempat peristirahatan ayahmu yang terakhir! Disana aku akan memberitahukan semuanya tentang kejadian menyedihkan ini,” Kakek tadi berdiri sambil menggenggam kedua tanganku. Ia memerintahkan cucunya untuk memboncengku dengan motor. Sedangkan ia sendiri naik motor dibonceng Albert. Sepanjang jalan aku hanya bisa menarik napas panjang. Akhirnya tangisku meledak juga.
Motor berhenti. Aku lihat di sekelilingku tidak ada tanda-tanda perkuburan. Hanya sebuah sungai besar berikut jembatan.
“Mayat-mayat itu dibuang disini, termasuk ayahmu. Waktu itu aku, istriku, anakku, istrinya, ayahmu dan ibumu baru saja pulang dari Makassar. Kami tidak tahu ada ribut-ribut apa di jalan. Ketika kami hampir melewati jalan sebuah pesantren, sekelompok orang yang tidak dikenal menyerbu kami. Kami dimasukkan ke dalam satu ruangan yang penuh dengan pembantaian. Ketika itu, kami sempat melarikan diri bersama ke gunung. Pasukan itu tetap mencari kami. Kami kemudian bersembunyi di tempat yang berbeda namun berdekatan. Mayat-mayat berceceran dimana-mana, seakan sudah tidak ada harganya. Saya ketakutan, melihat lelaki-lelaki buas haus darah itu memegang parang (senjata khas Sulawesi Tengah) yang penuh darah. Saya dapat melihat dari kejauhan salah seorang dari mereka mulai mendekati persembunyian anak saya, dan saya..... tidak ada jalan lain selain melempar batu ke arah ayahmu, sehingga menimbulkan suara gaduh, orang-orang itu segera mendatangi ayahmu dan..... maafkan saya Nak.....!” kakek itu mulai menangis lagi, meraung-raung berlutut dihadapanku. Kepalaku mulai berputar-putar, kembali ke memoriku sebelum berumur 10 tahun.
Samar-samar tangisan dan kata-kata kakek itu berangsur-angsur hilang, mulai tidak terdengar lagi. Aku sudah kembali ke memori yang tersegeli itu. Adegan demi adegan, kejadian demi kejadian di hari yang naas itu.
“Ayah, kampung ayah masih jauh ya? Banyak sawahnya tidak Yah?”
“Banyak Sayang............!”
“Asyik.... Rina ke sawah.....! Ye......!
Kepalaku mulai berputar-putar. Adegan berikutnya aku berada di sebuah rumah yang penuh dengan darah. Aku menangis. Anak-anak berkerudung dikumpulkan dan dibantai. Ayah dan ibuku berlari. Aku terjatuh. Darah segar keluar dari lututku. Ayahku langsung menggendongku. Kami bersembunyi. Ada batu besar menimpa kepalaku. Ibuku menutup mulutku, takut aku menangis. Aku takut sampai terkencing-kencing di celana. Ibuku memelukku erat. Ia menitikkan air mata tanpa sedikit pun bersuara. Aku sendiri masih terlalu kecil untuk memahami apa yang terjadi.
Orang itu tersenyum licik. Ia mendekati ayahku, menariknya. Di depan mata kepalaku sendiri, ayahku....... kepalanya terguling, badannya terpisah seketika.
“Ayah........!” suaraku waktu itu sudah tak terdengar lagi. Seseorang memasukkan aku ke dalam karung bersama ibuku.  Seorang lainnya memukul-mukul kami dari luar karung. Mereka tertawa menjijikkan.
“Ibu..... ayah ada dimana Bu? Bu Rina takut......!”
Memoriku terus berputar-putar di kepalaku, membuatku merasa mual. Bayangan Albert dan kakek tadi terlihat lagi samar-samar. Begitu pun suara mereka. Seperti mimpi, aku merasa badanku berada di sungai. Diriku yang masih kecil begitu tak berdaya. Kenapa orang saling membunuh dan membantai orang-orang yang tidak bersalah? Sekuat tenaga aku membuka karung itu, aku banyak menyentuh sesuatu yang berada di luar karung. Karung telah terbuka separuh, aku sadar kalau aku hanya bersentuhan dengan mayat-mayat yang telah dihabisi nyawanya.
Ibuku masih dalam karung, ketika ada cahaya yang kukira bantuan. Sesorang yang entah dimana mulai berteriak. Hanya samar-samar aku mendengarnya. Aku tidak dapat lagi bersuara. Lidahku kelu.
BERSAMBUNG.........