Sunday, 31 May 2015

Harry Potter: Teman Masa Kecilku


Malam ini setelah hampir satu minggu tidak membuat postingan apapun karena kehabisan ide, adik bungsuku yang katanya besok ujian statistik, malah mengajakku nonton film. Mulanya dia bertanya apakah aku masih ada koleksi film Harry Potter di netbook. Yah.... film itu sudah lama kuhapus. Seri terakhir yaitu Harry Potter and The deadly Hallows part 2, aku nonton di tahun 2011 kalau tidak salah. Dan aku benar-benar puas dengan endingnya.

Harry Potter mampu memikatku yang waktu itu masih kelas tiga SD, sama sekali tidak tahu bahasa Inggris kecuali yes dan no ke dalam pusaran kekaguman. Malam ini memutar flash back ingatanku saat itu, waktu itu belum ada internet marajelela seperti sekarang. Bahkan untuk nonton Harry Potter Sorcerer Stone a.k.a batu bertuah, aku dan kakakku harus patungan untuk menyewa kaset. Yang paling ajaibnya kaset itu tulisan subtitlenya tidak jelas sama sekali lagi bahasa yang diartikan saat itu adalah bahasa Melayu.

Kalau ingat masa kecilku dulu, aku selalu punya luka yang menganga lebar di salah satu ruang hatiku yang terdalam. Tidak ada seorang pun seumur hidupku dapat menyentuhnya. Ini adalah batas keras untuk orang lain mengetahui hal ini ada pada diriku. Sejak kecil aku adalah anak yang rapuh, namun aku selalu berusaha menutupinya dengan sikap yang ceria. Meskipun aku anak yang ceria, aku sama sekali tidak menyukai TK. Tidak ada yang pernah ada tahu alasan sebenarnya karena aku selau berdalih "aku benci TK karena kerjanya hanya berdoa, cuci tangan dan makan." Tapi anak kecil mana yang tidak suka aktifitas itu?

Ya, alasanku sebenarnya tentu saja bukan itu. Yang membuatku tidak suka TK adalah teman-temanku dan orang tua mereka. Mengapa? karena teman-temanku selalu diantar oleh ibu atau ayahnya ke sekolah. Ditunggui, kadang kalau ada bekal yang kurang ibu mereka akan terbirit-birit membelikan. kadang ketika mereka terjatuh, ibunya akan segera datang mengelap kaki atau tangan kecil mereka dengan penuh rasa sayang.

Untungnya ada beberapa teman yang bernasib sama denganku, alias mereka juga tidak ditunggui orang tuanya. Tapi aku kembali down ketika waktu pulang telah tiba. Karena selalu aku menjadi anak yang tidak pernah dijemput orang tua. Sehari-hari, aku selalu berjalan kaki bersama kakakku yang waktu itu SD kelas VI. Pergi TK kepagian dan pulang TK kesorean. Belum lagi setelah tiba di rumah, aku harus belajar membaca diajari ayahku dengan penuh kemarahan dan pukulan dengan lidi atau kayu. Aku selalu takut pulang dan tidak suka sekolah. Tapi aku lebih memilih dipukul daripada sekolah. sehingga di TK aku berhenti setelah satu bulan.

Kenangan itu masih tertanam jelas di ingatanku. Saat itu adalah masa yang paling buruk. Ketika SD, dengan bekal kepandaianku membaca sejak umur 5 tahun, aku membaca apa saja di sekelilingku tanpa pilih-pilih. Aku mulai menyesuaikan diri di SD. Meskipun aku tidaklah terlalu pandai, tapi aku bukan anak yang bodoh.

Itulah sekilas masa laluku. Aku masih penyendiri saat itu. Kalau dipikir-pikir, aku mulai berubah semenjak menonton Harry Potter. Dulu aku kira buku-buku dan kepandaian adalah segalanya. Tapi Harry Potter yang mengajarkan kepadaku bahwa persahabatan dan keberanian juga tidak boleh diabaikan. Aku mulai berkawan dengan siapa saja dan mulai berani membuka diri. Kalau dipikir-pikir, aku waktu itu belum bisa bahasa Inggris. Pada akhirnya, aku jadi penasaran dan mulai tertarik dengan Bahasa Inggris. 

Waktu kelas tiga SD, pelajaran Bahasa Inggris dimulai dan aku sangat menyukainya. Aku tidak pernah ikut kursus karena kedua orang tuaku tidak mampu. Aku hanya suka belajar sendiri, menonton Harry Potter berulang-ulang, karena Englishnya British, aku mampu mengikutinya. Di sekolah tidak ada temanku yang menonton itu, jadi ya aku tidak ada tempat bercerita. Kebanyakan mereka suka sinetron Indonesia. Kadang aku menonton juga, tapi itu tidak cukup berkesan.

Aku sangat suka karakter Harry Potter karena sekilas dia sepertiku. Dia tipe orang yang tidak terlalu suka teori dan lebih mencintai praktek, dia juga tetap sendiri dengan lukanya walaupun dia tersenyum dengan orang lain, sama sepertiku. Aku juga suka kacamata Harry Potter yang bulat, menurutku itu menunjukkan keberanian, kepandaian dan kebaikan hatinya kepada orang di sekelilingnya. Bayangkan waktu itu umurku baru 9 tahun, tidak bisa bahasa Inggris, menonton CD Harry Potter yang kuputar berulang-ulang sambil mendengar kata-katanya, bersama subtitle yang tidak bisa dimengerti. Kedengarannya emang boring.

Harry Potter, sahabat masa kecilku. selain buku-bukuku tentunya. Sampai sekarang aku mengakuinya. Bahkan sebelum aku terkagum-kagum dengan Detektif Conan dan Sherlock Holmes, sesungguhnya Harry Potter sudah ada sebelum mereka.

Aku sekarang telah dewasa. Aku tersenyum sendiri memikirkan "yang hebat itu bukan Harry Potter, tapi imajinasi penulisnya" opiniku karena yang membuat adalah seorang ibu yaitu J.K. Rowling, banyak pesan moral yang diselipkan. Terima kasih Bu J.K. Rowling, bahkan waktu aku studi di Jawa, banyak teman-teman yang memujiku karena kemampuan Bahasa Inggrisku sampai sekarang.

Love you Harry Potter......!

Wednesday, 27 May 2015

Surat untuk Jiwamu yang Sendiri






Ada sebuah ruang besar dalam hatimu, kosong tidak berisi.

Tak ada yang menyelamatkanmu sekarang mungkin juga nanti.
lagi-lagi... kamu sendiri.
Ini untuk kamu yang duduk disana menangis seorang diri.

Kamu yang menangis, ketika sahabatmu tertawa.
Kamu yang menangis, ketika pacarmu bercanda.
Kamu yang merasa sendiri tiada akhirnya....

Jangan menangis lagi meskipun kamu sendiri dan merasa sedih,
Aku akan mendengarkan ceritamu,
ketika semua orang hanya ingin kamu mendengar cerita mereka,
Aku akan menghapus air matamu,
Ketika semua orang yang datang padamu hanya  ingin kamu menghapus air mata mereka.

Untuk kamu yang menangis dan selalu tegar di depan orang lain.
Untuk kamu yang menangis ketika semua orang pergi.
Ingatlah kamu tidaklah sendiri,
Meskipun dunia melukaimu begitu banyak,
tolong jangan menangis lagi.

Ini untuk kamu yang terlalu egois,
selalu berdiri sendiri,
Kumohon jangan memaksakan diri,

Kamu hanya perlu seseorang,
bukan hanya sekedar seseorang seperti sahabat atau kekasih,
tapi seseorang yang mau mendengar ceritamu,
tertawa denganmu, mendoakanmu, dan menghapus air matamu....

Tuhan,apakah terlalu serakah baginya,
Ia ingin memiliki seorang saja,
hanya seorang saja untuk berada disampingnya.
agar ia tidak lagi sedih dan sendiri....

By me.....




Monday, 25 May 2015

Melepas Kenangan: Kisah Seorang Pengacara Perceraian (Bag.III)

Ingatan-Ingatan Yang Kembali


“Iya......,” jawabku singkat. Setelah jawabanku, situasi kembali canggung. Kami tidak lagi saling bertanya. Aku tertidur. Itu memang hobiku jika di pesawat.
Aku terbangun ketika mendadak pesawat sudah landing di Makassar. Aku menengok Albert ternyata juga tertidur. Aku kemudian mendengar pengumuman kalau kami tidak perlu berganti pesawat untuk menuju Palu. Jadi aku tenang-tenang saja. Sekitar 15 menit kami berhenti di bandara Makassar lalu melanjutkan perjalanan ke Palu.
“Makassar sudah lewat yah?” tanya Albert padaku. Ternyata dia baru saja terbangun.
“Iya.....,” jawabku singkat. Keringat dingin aku lihat mengucur deras dari kepalanya. Aku jadi khawatir dengan Albert ini.
“Kamu sakit?” tanyaku padanya. Ia menggeleng.
“Tidak kok!” jawabnya singkat. Meskipun penglihatanku jelas dia sakit.
“Kalau begitu aku.......,” kataku sambil berdiri, ingin melapor pramugari. Tapi Albert keburu menahan tanganku. Aku terkejut. Ia mengisyaratkan aku untuk duduk. Ia tetap memegang tanganku. Ia pun tertidur. Aku tak tahu harus melakukan apa. Aku hanya bisa diam di tempat sambil memegang tangannya yang juga sudah keringat dingin.
Empat puluh lima menit sudah kami di dalam pesawat. Sebentar lagi kami akan tiba di Bandara Sis Al Jufri Palu. Aku ingin membangunkan Albert tapi tidak tega. Tanpa diduga, ia akhirnya terbangun. Pengumuman bahwa waktu landing semakin dekat sudah dikumandangkan. Sampailah kami di Palu.
Albert tampaknya sudah sadar. Ia berusaha berdiri untuk mengambil barangnya. Aku sendiri juga masih kesulitan mengambil barangku. Aku terkejut ketika Albert membantuku mengeluarkan tas.
“Makasih!” ujarku ketika ia selesai mengambilkan barangku.
“Aku yang harusnya terima kasih. Maaf aku memang selalu mabuk udara,” ujarnya sambil menggaruk-garuk kepalanya. Aku tersenyum.
“Tidak apa-apa kok!” balasku. “Sebenarnya aku ada permintaan, tapi takutnya malah membebani kamu nanti,” aku ragu-ragu ingin menyatakan untuk ikut dengannya karena aku sendiri belum pernah ke Poso.
“Kamu mau ikut aku ke Poso? Ini pasti kali pertama kamu kesini?” tanyanya padaku. Aku tidak ada pilihan selain mengangguk.
“Baiklah,” katanya. “Tunggu sebentar yah!” lanjutnya meninggalkan aku sendiri di ujung jalan bandara. Bandara ini memang cukup kecil, sehingga aku rasa tidak mungkin orang tersesat disini. Aku bisa melihat dari kejauhan Albert sedang bicara dengan orang. Mungkin tentang mobil yang akan kami naiki. Ia kembali mengambil seluruh barang-barangku.
“Ayo ikut, mobil rentalnya sudah ada,” ujarnya. Aku masih terkesima agak ragu dengan keputusanku. “Aku bukan orang jahat kok!” lanjutnya sambil menarik tanganku. Aku masih terdiam mematung. Dikeluarkannya salah satu kartu namanya dari dalam dompet.
Albert Taoya, B.Sc, M.Sc, P.Hd
Dosen Antropologi Universitas P
Oh, dosen rupanya. Aku memandangnya. Ia juga memandangku. Sinyalnya menunjukkan ingin aku segera naik ke mobil. Aku pun segera naik ke dalam mobil, begitupun ia.
“Oh ya, kamu kan sudah tahu profesiku, kamu sendiri profesinya apa?” tanya Albert ketika kami sudah memulai perjalanan.
“Aku pengacara,” jawabku singkat. Aku berusaha untuk tidak mengungkapkan rasa tidak nyamanku ketika bicara tentang pekerjaan.
“Sepertinya kamu punya sedikit masalah di kantor, lebih baik tidak usah dibicarakan kamu tampaknya kurang nyaman,” ujarnya. Dang! Aku jelas sudah tertangkap basah. Lagipula sedang apa seorang pengacara di hari kerja seperti ini malah berkeliaran di tempat asing ini.
“Kamu sendiri, apa tujuanmu kemari?” tanyaku penasaran.
“Oh, aku mau research, sekaligus pulang kampung. Sudah hampir lima tahun aku tidak pulang ke rumah. Oh iya, kampungmu nama desanya apa?” tanya Albert.
“Desa L*****,” ujarku. Albert mengangguk.
“Wah, desa itu duluan daripada desaku S***, kalau begitu aku akan menurunkan kamu dulu,” ujar Albert lagi. Kami akhirnya mulai percakapan selanjutnya. Percakapan yang ringan-ringan saja. Sesekali aku tertawa mendengar Albert bercerita.
Banyak cerita Albert yang mengundang gelak tawa. Ia banyak bercerita tentang mahasiswa-mahasiswa aneh di kelasnya. Ia juga sering mengadakan research baik di dalam maupun luar negeri. Menarik. Setidaknya topik ini sangat jauh dari keseharianku yang berhadapan dengan manusia-manusia yang mengesalkan. Free spirit, itulah yang dapat aku tangkap dari keseharian Albert.
Dari Mas Hendra, aku tahu bagaimana bermimpi. Bersama Mas Hendra, aku bisa menceritakan apapun mengenai mimpiku. Kami berdua menggeluti bidang hukum, maka omongan kami lebih dari boring, bagi orang awam. Lama-kelamaan, kami terbiasa untuk berkomunikasi dengan cara kami sendiri. Jenis komunikasi ini sering membuat kami salah paham, tapi akhirnya itu berakhir sendiri tanpa ada pernyataan bahwa salah paham kami berakhir.
Ketika kami membahas suatu kasus, dulu kami saling mengagumi dan melengkapi dalam berargumen. Sekarang masing-masing selalu berkeras, akhirnya memicu kami untuk tidak lagi saling bicara selama beberapa hari. Tidak ada pertengkaran. Tidak ada deklarasi minta maaf. Biasanya Mas Hendra tiba-tiba datang dan mengantarku pulang ke rumah. Aku juga malas mengungkit masa lalu, memutuskan untuk naik saja ke mobil Mas Hendra. Akhir pekan kami akan pergi ke restoran, makan bersama lagi. Saat itu, kami akan memilih untuk tidak lagi membicarakan hal yang lalu. Tanpa kami sadari setiap kesalahpahaman kami sebenarnya tidak pernah berakhir. Sampai tibalah hari aku menangkap basah kelakuan Mas Hendra.
Bukannya aku tidak tahu kelakuan Mas Hendra sebagai jaksa yang menerima uang dari sana-sini. Aku sering mendengar Mas Hendra melakukan percakapan kotor di telepon. Aku berusaha untuk memahami apa yang dilakukan Mas Hendra. Tapi yang ini benar-benar keterlaluan.
Kalau mungkin dalam kasus yang tidak aku ketahui, aku mungkin dapat menutup mata. Kali ini aku menangkap basah Mas Hendra melakukan itu, kasusnya aku dan seantero Indonesia juga tahu. Ini kasus pidana besar, memakan banyak korban yang tidak bersalah.
“Hello.....!” kata-kata Albert mengagetkanku. “Are you with me? Aku lagi cerita dan kamu juga lagi bercerita sendiri di dalam pikiranmu. Tampaknya masalahmu sangat berat. Itulah yang dapat aku simpulkan,” lanjut Albert.
“Hmmm.... tidak apa-apa,” ujarku. “Aku mengantuk,” lanjutku mengalihkan topik pembicaraan. Aku sebenarnya bukan mengantuk, tapi malas membicarakannya. Aku pura-pura tidur. Masih bisa aku merasakan ketika Albert memindahkan kepalaku ke bahunya. Aku sedikit terkejut, segera sadar bahwa aku dalam posisi sedang tertidur. Maka aku ikuti saja apa yang dilakukannya.
“Seberapa jauh kamu ingin menyembunyikannya, seperti itulah aku ingin mengetahuinya,” ujar Albert entah berbicara dengan siapa. Aku masih pura-pura tertidur, menutup mataku rapat-rapat.
Perjalanan mulai memasuki gunung yang berkelok-kelok. Seketika aku terbangun dan perutku sakit. kepalaku juga pusing. Aku mengangkat kepalaku pelan. Albert tampaknya agak terkejut aku sudah bangun.
“Kamu lapar? Atau mual?” Albert khawatir melihatku memegang perutku.
“Bisa berhenti sebentar?” aku akhirnya tidak bisa menahan diri lagi. Perutku berbunyi keras, membuat Albert tertawa. Aku sendiri malu karena kejadian itu. hanya bisa menghadap membelakangi Albert sambil menggigit bibir.
“Pak berhenti dulu!” ujar Albert berusaha menghentikan pak supir. Tidak berapa lama Pak supir berhenti. “Sebaiknya kita cari warung dulu buat istirahat,” lanjut Albert lagi. Dituntunnya aku keluar dari mobil.
“Wow.... indahnya...... sejuknya.....,” baru saja aku menyadari pemandangan gunung yang sangat indah.
Albert masuk ke dalam sebuah warung. Aku mengikutinya dari belakang. Aku melihat tulisan warung makan ‘nabelo’ kebon kopi, mungkin nama desanya. Aku sendiri yang mulanya sedikit mual, jadi excited melihat semua ini.
Aku mulai mengambil beberapa gambar selfie dengan kamera handphoneku. Rugi juga pemandangan yang keren begini tidak diabadikan.
“Hei.... aku sudah pesan, kesini dulu! Kamu mau pesan apa?” teriak Albert dari dalam warung.
“Oh iya...!” aku menjawab, sambil berjalan ke arah Albert. Ia sudah kembali masuk ke dalam. Aku terantuk batu, sehingga hampir jatuh. Saat itulah aku melihat sebuah foto tergeletak di tanah. Ini kan Albert?, pikirku. Disitu Albert berpose cukup mesra dengan cewek yang wajahnya agak kecina-cinaan. Mungkin saja pacarnya.
“Albert...!” panggilku ketika tiba di dalam warung. Albert berpaling melihatku.
“Ada apa?” tanyanya menyahuti panggilanku.
“Ini!” kusodorkan foto yang kudapat tadi. “Terjatuh tadi di depan,” lanjutku.
“Oh..... ,” ia sepertinya agak terkejut menerima foto itu.
“Pacar ya?” tanyaku lagi
“Mantan pacar.......,” suara Albert terdengar agak lemah.
“Oh, sorry.......!” kataku agak menyesal menanyakan hal tadi.
Kami terdiam. Pesanan Albert telah datang. Aku sendiri sadar belum memesan apa-apa sejak tadi.
“Oh iya, kamu mau pesan apa?” tanya Albert lagi.
“Aku ikan saja,” ujarku masih dalam keadaan canggung.
“Ikan bakar Mbak satu!” teriak Albert ke pelayan yang ada di dalam.
“Iya Pak!” orang yang di dalam menyahuti Albert.
Kami makan dengan tenang. Situasi canggung lagi. Albert akhirnya buka suara.
“Kamu tahu tidak, katanya di gunung ini ada jalan menuju dunia lain?” tanya Albert terlihat sekali ingin mengalihkan pembicaraan. Aku mulai mengerti arah pembicaraan ini. Aku memutuskan untuk mengikuti saja alurnya.
“Memangnya ada yang seperti itu? di dunia modern begini hantu tidak ada,” ujarku. Aku memang tidak percaya hantu atau mistis.
“Aku tidak pernah bilang hantu,” ujarnya. “Ini seperti dunia lain yang tidak terjamah manusia. Dunia dimana orang semua jujur dan tidak saling membohongi. Dunia tanpa kriminal. Kita semua hanya belajar jadi orang baik,” lanjut Albert.
“Seandainya ada yang seperti itu, aku benar-benar akan hidup di dunia lain itu,” ujarku tulus.
“Nanti selesai makan ayo jalan kesana. Tidak terlalu jauh kok dari sini!” kata Albert mengajakku kesana. Aku mengangguk. Udara gunung yang sejuk membuatku segar kembali. Selama ini aku merasa Albert sangat terbuka. Sekarang aku yakin ada beberapa hal yang ingin dia sembunyikan.
“Itu dia tugu kuningnya, ini terkenal sekali loh! Kita harus hunting juga,” Albert terlihat riang. Aku tersenyum melihat tugu kuning yang bertuliskan ‘uventira’ itu. “Saking mistisnya orang percaya kalau lewat di jalan ini dengan kendaraan harus membunyikan klakson tiga kali,” lanjut Albert lagi. Aku mengangguk saja lalu tersenyum. Tidak ada hal yang seperti itu, ujarku dalam hati.
“Aku mulai sadar kalau antropolog juga menyelidiki hantu kayak paranormal,” aku bercanda. Aku palingkan wajahku ke arah Albert, lalu dia memotretku. Aku sedikit terkejut, wajahku mungkin merah karena malu.
Dia tersenyum mengalihkan pandangannya dariku sambil terus memotret. “Jangan seperti itu. Aku tahu mungkin masalahmu berat, tapi kamu pasti bisa mengatasi semuanya. Kamu cantik kalau tersenyum.”
“Aku tidak yakin. Tapi aku sudah tertangkap basah. Apalagi yang bisa aku perbuat?” aku tahu aku berhadapan bukan dengan orang biasa. Aku harusnya tidak terlalu menampakkan kegelisahanku.
“Ayo kita naik sekarang!” ajak Albert. “Masih butuh waktu 4 jam untuk sampai ke tujuan,” lanjutnya lagi. Aku berjalan duluan, kemudian dia mengikutiku dari belakang.
_______________________________________________________
Tidur panjangku ternyata membawa berkah. Buktinya, sepanjang perjalanan aku tertidur pulas.
“Bangun Rin! Kita sudah sampai di desamu, kita perlu tahu alamat rumahmu untuk menuju kesana,” suara Albert membangunkanku. Aku masih setengah sadar, sedikit bingung. Albert mulai menggaruk-garuk kepalanya. Saat itu aku mulai berangsur-angsur kembali ke kesadaranku semula.
“Mari kita turun dulu!” aku sedikit khawatir. Karena aku sendiri tidak tahu dimana alamatnya sebenarnya. Maka aku perlu teman untuk berjalan kaki mencari alamat.
“Ada apa?” tanya Albert mengikuti dengan serius. “Kamu tidak tahu alamatnya?” nada suaranya sedikit agak tinggi. Aku mengangguk. Seumur hidupku aku tidak pernah minta bantuan sebanyak ini dari orang asing.
Albert mulai menggaruk-garuk lagi kepalanya. Ia tampak bingung. “Bukannya aku tidak ingin menemanimu, cuma dengar ya, aku.... ada banyak pekerjaan yang harus aku kerjakan disini,” ujar Albert masih menggaruk kepalanya. Disana ada penginapan. Menginaplah disana malam ini, besok kamu bisa mulai mencari,” ujar Albert panjang lebar. Aku mengangguk saja.
“Terima kasih!” kataku singkat. Aku mengambil koperku. Menyeretnya ke arah penginapan. Ketika aku mulai berjalan, kulihat ke belakang ternyata mobil yang aku naiki tadi sudah pergi ke arah berlawanan. Ternyata ia memang sudah pergi meninggalkan aku. Jadi apa boleh buat, mulai sekarang aku akan bertindak sendiri.
Aku masuk masuk ke dalam penginapan yang ditunjukkan Albert tadi. Seorang wanita muda pertengahan 20-an yang menjaga penginapan. Wanita itu tersenyum.
“Mau pesan kamar Ibu?” tanyanya ramah. Aku tersenyum.
“Iya,” jawabku singkat.
“Mau kamar yang bagaimana Ibu?” tanya perempuan itu lagi.
“Yang penting ada AC,” jawabku sambil melihat-lihat sekeliling.
“Oh ada, silahkan ikut saya Bu!” ia mengajakku pergi ke kamar yang ternyata tidak jauh dari kantor. Memberiku kunci dan meninggalkan aku. Kutengok jam tanganku menunjukkan pukul 16.30. Aku berinisiatif untuk mandi lalu istirahat. Besok akan menjadi hari yang melelahkan bagiku. Tunggu dulu lupakan soal mandi karena aku telah tertidur.
Tok...tok...tok.....
Suara pintu diluar mengagetkanku. Aku ingin berdiri, namun badanku rasanya sakit semua. Sinar matahari pagi yang menyengat juga mulai terasa. Kutengok jam tanganku, ternyata sudah jam 7 pagi. Ya ampun.... aku ini tidur atau apa sih sebenarnya? Sampai lupa waktu begini.
Tok....tok...tok....
“Iya sebentar!” aku bangkit dari tempat tidur dengan kepala yang masih pusing luar biasa. Siapa sih pagi-pagi begini? Kubuka pintu kamarku pelan.
“Halo.....!” sapa orang yang ada di depan pintu. Aku menggosok-gosok mataku tidak percaya.
“Albert! Loh bukannya kemarin........,” belum sempat kulanjutkan kata-kataku, Albert langsung tertawa melihat penampilanku.
“Coba kita lihat.......hahaha.....!” Albert menunjukku. “Baju kemarin, celana kemarin, rambut awut-awutan, badan bau mobil ditambah keringat, jorok banget sih kamu ini, oh iya jangan lupa berkaca kalau ada kesempatan!” kata-kata Albert lumayan membuatku malu. Segera aku banting pintu. Aku mencium bau badanku sendiri. Ampun.... baunya...... aish, pantas saja. Aku ambil handuk dalam koper. Tidak sengaja aku melewati cermin meja rias.
Hahahaha..... aku tertawa sendiri melihat wajahku yang berlumuran maskara. Semua wajahku kehitaman dan mataku menjadi mata panda. Ampun.... kali ini harga diriku benar-benar terkoyak di depan Albert. Habis sudah tak bersisa. Rasanya ingin menangis karena malu.
Sehabis mandi, aku membuka pintu kamarku untuk sarapan pagi. Di depan kamar, ternyata Albert sudah menghilang. Aku bersyukur sekali. Dengan tenang aku menuju ke depan penginapan. Kulihat Albert duduk manis disana. Aku berusaha mengacuhkannya. Ia rupanya melihatku dan segera mengejarku.
“Ayo cari makan sama-sama!” Albert menggenggam tanganku. “Kita makan nasi kuning pagi ini,” lanjutnya sambil tersenyum. Aku tidak punya pilihan lain selain mengikutinya. Toh, aku tidak mengenal satu orang pun disini.
“Aku punya satu permintaan buat kamu. Aku mohon bantu aku mencari seseorang!” aku memohon pada Albert. “Aku tidak akan menanyakan alasanmu kembali kemari. Tapi aku mohon kamu mau membantuku,” Albert lumayan terkejut dengan penuturanku. Aku sudah memutuskan untuk menelan harga diriku.
“Siapa yang kamu cari?” tanya Albert lagi terdengar penasaran.
“Ayahku, kemungkinan beliau menjadi korban kerusuhan Poso. Aku akan cerita selengkapnya kalau kamu mau bantu aku,” ujarku serius. Aku tidak mau membuang energiku untuk sesuatu tidak berguna. “So, you are in or not?”
Ok, I ‘m in. Aku akan membantumu. Kebetulan aku sedang research tentang hal yang sama. Aku hanya ingin memperingatkan. Kamu tahu skenario terburuk dari semua ini kan? Ayahmu mungkin sudah tewas,” ujar Albert memperingatkan.
“Aku mengerti. besok akan aku siapkan kontraknya. Sebagai pengacara, segala perjanjian harus dilakukan hitam diatas putih,” ujarku. Aku tidak mau lagi kena tipu daya kriminal. Sekedar antisipasi.
“Ok... Deal. Bagaimana kalau kamu cerita secara keseluruhan informasi yang kamu ketahui sekarang? Benar-benar tidak sabar mendengarnya!” Albert kelihatan sangat antusias mendengar ceritaku.
“Aku sendiri juga tidak tahu banyak tentang ayahku. Yang kutahu hanya beliau bernama Hardi. Nama belakangnya aku tidak tahu. Ibuku juga tidak memberitahu aku. Dulu beliau tinggal di desa ini. Aku punya fotonya, ini......!” kusodorkan foto lama yang diberikan ibuku beberapa waktu yang lalu.
“Ini mungkin agak sulit, tapi aku ada pertanyaan,” ujar Albert penasaran. “Kamu lahir di tahun berapa?”
“1989,” jawabku singkat.
“Kalau kerusuhan Poso tahun 2000-2001 seharusnya kamu sudah berumur 10-11 tahun. Masa kamu tidak ingat siapa ayahmu?” tanya Albert lagi.
“Itu adalah misteri lainnya. Aku.... tidak bisa mengingat apapun yang terjadi sebelum umurku 10-11 tahun. Memori itu tersegel rapat,” jawabku kepada Albert. Ia mengangguk.
“Tersegel? Berarti itu memori yang benar-benar buruk. Kamu yakin ingin membuka memori yang tersegel?” tanyanya meyakinkan pilihanku.
“Itu tersegel karena aku, hanya aku yang dapat membukanya. Aku benar-benar ingin tahu kebenarannya,” kataku membulatkan tekad.
Begitulah aku dan Albert memutuskan untuk bekerja sama mencari ayahku. Tentunya tidak gratis, karena secara hitam diatas putih, kami memiliki kontrak yang sah berikut bayarannya. Aku menyewa Albert.
Keesokan harinya, kami sepakat untuk memulai pencarian. Desa ini tidak luas, hanya terdiri dari tiga dusun dan 220 kepala keluarga. Kami bertanya hampir ke setiap warga yang kami lewati sepanjang jalan. Kebanyakan warga tidak tahu. Aku hampir putus asa. Hanya Albert yang terus menguatkan aku.
“Capek juga yah! Ayo kita istirahat sebentar, mataharinya bikin kita terbakar,” ajakku kepada Albert. Aku sendiri sudah kehabisan tenaga. Tiba-tiba perutku berbunyi keras. Albert tertawa mendengarnya. Tak disangka perutnya juga berbunyi.
“Kayaknya kita perlu makan deh! soalnya perut tidak bisa diajak kompromi kayaknya,” Albert mengajak aku ke warung terdekat.
Seorang laki-laki muda umur belasan yang menjaga warung tersenyum ramah. Kebanyakan rumah makan disini memang tidak menyediakan menu lain selain ikan. Selama hidupku aku tidak pernah makan ikan sebanyak ini.
“Oh iya De, kenal Pak Hardi?” tanya Albert. Aku menyikutnya. Jangankan anak umur belasan, warga yang tua saja tidak tahu.
“Kurang tahu Pak, tapi coba saya tanya kakek saya dulu di dalam,” ujar si anak menuju ke dalam salah satu kamar. Ada tiga kamar memang disana.
Si kakek keluar dari kamar tersenyum hangat. “Siapa yang mencari Hardi?” teriaknya.
“Saya Kek!” jawabku spontan. Si kakek menoleh ke arahku. Beliau mendatangiku, lalu memelukku erat. Aku masih ragu. Ku keluarkan foto tua pemberian ibuku.
“Maaf Kek!” aku berusaha melepaskan diri. “Apa benar Pak Hardi yang ada di foto ini?” aku menyodorkan foto itu. Si kakek mengangguk.
“Kamu anak Hardi?” tanya kakek tadi penasaran kepadaku.
“Iya Kek!” jawabku singkat. Si kakek membelai kepalaku.
“Ayahmu, dia pria yang sangat baik. Aku benar-benar minta maaf atas semua kesalahan yang telah aku perbuat kepadanya,” ujar si kakek terharu. Beliau mulai meneteskan air mata dan berlutut dihadapanku. Aku lumayan panik juga melihat keadaan itu.
“Tidak apa-apa Kek, saya hanya ingin mendengar kejadian yang sesungguhnya. Ayah saya sebenarnya siapa dan apakah beliau masih hidup atau sudah tiada di dunia ini,” ujarku pelan.
“Ayahmu sudah tiada Nak.....,” si kakek menangis terisak. Beliau masih saja berlutut. “Ibumu, keadaannya bagaimana sekarang?” tanya beliau lagi.
“Beliau baik-baik saja,” kataku. “Bisa kakek ceritakan semuanya tentang ayah, ibuku juga saudara-saudaraku yang lainnya. Apakah mereka semua meninggal saat kerusuhan?” tanyaku. Berbagai macam pertanyaan yang sangat ingin aku lontarkan. Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar-putar di kepalaku.
“Ayahmu terlahir sebatang kara. Hanya saya dan anak saya keluarganya. Kamu lihat, ini anakku!” beliau menunjuk ke salah satu lelaki lain di foto itu selain ayahku. “Ini istrinya,” ia menunjuk ke arah perempuan di sebelah lelaki yang ia sebut anakmya.
“Dimana mereka sekarang Kek?” tanyaku penasaran.
“Anakku dia meninggal gantung diri karena tidak kuat dengan dosa yang telah saya perbuat , sedangkan menantuku..... juga sudah meninggal karena sakit. Ini semua adalah karma atas perbuatan saya,” Kakek mulai menitikkan air mata lagi. Tangan kurusnya menggenggam tanganku.
“Ayahku dimana beliau sekarang?” tanyaku berusaha mengkonfirmasi.
“Ayo kita pergi ke tempat peristirahatan ayahmu yang terakhir! Disana aku akan memberitahukan semuanya tentang kejadian menyedihkan ini,” Kakek tadi berdiri sambil menggenggam kedua tanganku. Ia memerintahkan cucunya untuk memboncengku dengan motor. Sedangkan ia sendiri naik motor dibonceng Albert. Sepanjang jalan aku hanya bisa menarik napas panjang. Akhirnya tangisku meledak juga.
Motor berhenti. Aku lihat di sekelilingku tidak ada tanda-tanda perkuburan. Hanya sebuah sungai besar berikut jembatan.
“Mayat-mayat itu dibuang disini, termasuk ayahmu. Waktu itu aku, istriku, anakku, istrinya, ayahmu dan ibumu baru saja pulang dari Makassar. Kami tidak tahu ada ribut-ribut apa di jalan. Ketika kami hampir melewati jalan sebuah pesantren, sekelompok orang yang tidak dikenal menyerbu kami. Kami dimasukkan ke dalam satu ruangan yang penuh dengan pembantaian. Ketika itu, kami sempat melarikan diri bersama ke gunung. Pasukan itu tetap mencari kami. Kami kemudian bersembunyi di tempat yang berbeda namun berdekatan. Mayat-mayat berceceran dimana-mana, seakan sudah tidak ada harganya. Saya ketakutan, melihat lelaki-lelaki buas haus darah itu memegang parang (senjata khas Sulawesi Tengah) yang penuh darah. Saya dapat melihat dari kejauhan salah seorang dari mereka mulai mendekati persembunyian anak saya, dan saya..... tidak ada jalan lain selain melempar batu ke arah ayahmu, sehingga menimbulkan suara gaduh, orang-orang itu segera mendatangi ayahmu dan..... maafkan saya Nak.....!” kakek itu mulai menangis lagi, meraung-raung berlutut dihadapanku. Kepalaku mulai berputar-putar, kembali ke memoriku sebelum berumur 10 tahun.
Samar-samar tangisan dan kata-kata kakek itu berangsur-angsur hilang, mulai tidak terdengar lagi. Aku sudah kembali ke memori yang tersegeli itu. Adegan demi adegan, kejadian demi kejadian di hari yang naas itu.
“Ayah, kampung ayah masih jauh ya? Banyak sawahnya tidak Yah?”
“Banyak Sayang............!”
“Asyik.... Rina ke sawah.....! Ye......!
Kepalaku mulai berputar-putar. Adegan berikutnya aku berada di sebuah rumah yang penuh dengan darah. Aku menangis. Anak-anak berkerudung dikumpulkan dan dibantai. Ayah dan ibuku berlari. Aku terjatuh. Darah segar keluar dari lututku. Ayahku langsung menggendongku. Kami bersembunyi. Ada batu besar menimpa kepalaku. Ibuku menutup mulutku, takut aku menangis. Aku takut sampai terkencing-kencing di celana. Ibuku memelukku erat. Ia menitikkan air mata tanpa sedikit pun bersuara. Aku sendiri masih terlalu kecil untuk memahami apa yang terjadi.
Orang itu tersenyum licik. Ia mendekati ayahku, menariknya. Di depan mata kepalaku sendiri, ayahku....... kepalanya terguling, badannya terpisah seketika.
“Ayah........!” suaraku waktu itu sudah tak terdengar lagi. Seseorang memasukkan aku ke dalam karung bersama ibuku.  Seorang lainnya memukul-mukul kami dari luar karung. Mereka tertawa menjijikkan.
“Ibu..... ayah ada dimana Bu? Bu Rina takut......!”
Memoriku terus berputar-putar di kepalaku, membuatku merasa mual. Bayangan Albert dan kakek tadi terlihat lagi samar-samar. Begitu pun suara mereka. Seperti mimpi, aku merasa badanku berada di sungai. Diriku yang masih kecil begitu tak berdaya. Kenapa orang saling membunuh dan membantai orang-orang yang tidak bersalah? Sekuat tenaga aku membuka karung itu, aku banyak menyentuh sesuatu yang berada di luar karung. Karung telah terbuka separuh, aku sadar kalau aku hanya bersentuhan dengan mayat-mayat yang telah dihabisi nyawanya.
Ibuku masih dalam karung, ketika ada cahaya yang kukira bantuan. Sesorang yang entah dimana mulai berteriak. Hanya samar-samar aku mendengarnya. Aku tidak dapat lagi bersuara. Lidahku kelu.
BERSAMBUNG.........

Saturday, 23 May 2015

Melepas Kenangan: Kisah Seorang Pengacara Perceraian (Bag. II)



 Kembali Ke Poso
Pagi hari, pukul 09.00......
Tit....tit....tit.....
Nada bunyi handphoneku berbunyi. Aku terbangun, menyadari matahari pagi yang menyengat sangat. Layar menunjukkan kontak ‘Mom’. Aku mengangkatnya setengah malas.
“Halo, iya Bu!” kataku singkat.
“Halo!” suara diseberang terdengar asing. Kayak suara lelaki, begitu di pikiranku. Kutengok kembali layar hpku, tapi benar kontaknya punya ibu. Seketika aku tersadar.
“Halo!” ujar orang yang diseberang setengah berteriak.
“Iya, maaf... ini nomor ibu saya, maaf.... Anda......,” aku terbata-bata mengucapkan kata-kata itu.
“Iya, ini dari rumah sakit. Ibu Anda ditemukan pingsan di lift rumah sakit kami. Di rumah sakit P,” ujar orang yang ditelepon. Aku panik. Rumah sakit P ya, berarti di rumah sakit ini. Tergopoh-gopoh aku lari dan segera bertanya pada resepsionis di ruangan mana ibuku dirawat. Ibuku tak sadarkan diri, tapi beliau baik-baik saja.
“Claustropobhia,” ujar dokter Hanif setelah selesai memeriksa ibuku. Kebetulan dokter Hanif pernah menjadi salah satu klienku. Tiga bulan yang lalu beliau baru saja resmi bercerai dengan istrinya yang juga seorang dokter.
“Kok saya nggak tahu ya Dok, kalau ibu saya claustrophobia. Tidak pernah ada tanda-tanda beliau takut dengan ruangan sempit atau gelap,” ujarku.
“Ini pasti sudah lama, bukan kejadian baru. Soalnya saya menemukan obat ini, jatuh disamping Ibu Anda,” ujar dokter menunjukkan botol obat berikut resepnya. “Ini resep penenang dan obat khusus claustropobhia,” lanjut dokter itu.
Aku masih terheran-heran sepanjang jalan. Ibu takut gelap? Atau ruangan sempit? Ibu tidak pernah bilang apa-apa. Atau aku yang selalu tidak mendengarkan?
Aku keluar dari ruangan dokter Hanif dengan langkah berat. Air mataku menetes, sungguh.... ibu menanggung semuanya sendirian. Aku yang begitu egois. Itulah aku selalu memikirkan diriku sendiri.
Aku masuk ke ruang 101, tempat ibuku dirawat. Beliau tersenyum lemah, menyambut kedatanganku. Aku mendekati ibu perlahan, air mataku mulai menetes.
“Anak ibu menangis?” ibu bertanya padaku seperti biasanya. Aku benar-benar terharu. Tangisku semakin keras saja. Ibu memelukku.
“Ibu..... Rina tidak akan bertanya soal ayah lagi,” ujarku tulus, masih dalam pelukan ibu.
“Tidak Rin, ibu memang harus cerita,” ibu melepaskan pelukannya sambil membelaiku manja. “Ini......,” ditunjukkannya sebuah foto tua. Ada empat orang disana, yang pasti satunya ada ibuku, ada satu lagi perempuan dan dua laki-laki.
“Siapa ini Bu?” tanyaku. Ibu menghela napas.
“Ini ayahmu,” kata ibu menunjuk ke salah satu lelaki di foto itu. aku memperhatikan foto itu dengan seksama, ayahku benar-benar tampan. Aku tersenyum.
“Ayahmu.... dia bukan laki-laki yang buruk sama sekali. Ibu tidak bisa bercerita. Ini terlalu berat buat ibu. Bagaimana kalau kamu pergi sendiri mencari tahu?” kata ibu sambil tersenyum.
“Ini dimana Bu?” tanyaku lagi.
“Di tempat asal ibu, di Poso, Sulawesi Tengah. Kejadiannya sudah lama sekali 15 tahun lalu. Kamu mungkin sudah lupa, waktu itu kamu masih kecil,” ujar ibu. “Kalau kamu ada waktu, kamu boleh kesana. Sudah saatnya semuanya terbongkar,” lanjut Ibu lagi.
“Tidak perlu Ibu. Rina sudah puas hanya dengan Ibu saja,” ujarku tersenyum. Lebih dari cukup buatku apabila ibu bahagia. Hari pernikahan juga sudah semakin dekat, pamali kalau pergi jauh-jauh,” jawabku sambil memeluk ibu. Aku memutuskan untuk tidak lagi memikirkan tentang ayahku. Mulai sekarang aku akan memperhatikan ibu. Mas Hendra juga akan menjadi suamiku segera. Tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan.
“Kamu yakin Nak tidak ingin menemui ayahmu?” tanya ibuku lagi. Aku menggeleng. Yakin.
“Ibu sendiri tidak menceritakan, berarti itu sangat menyakitkan. Ingatanku sebelum umur 10 tahun juga menghilang, berarti memang harus disegel,” kataku sambil memandang ibu. Ibu tersenyum sambil memegang kedua pipiku dengan kedua tangannya. Hmmm... hangatnya.
___________________________________________________________
Hari Minggu pagi, pukul 10.00. Aku mendapat panggilan dari kantor, padahal jelas-jelas sekarang weekend. Aku berpikir keras kira-kira apa yang terjadi. Sepanjang jalan, aku tidak tenang. Aku bahkan meninggalkan ibu sendirian di rumah sakit.
Kecemasanku semakin meningkat, ketika aku melihat pengacara-pengacara yang notabene adalah beberapa rekan kerjaku sibuk mondar-mandir di depan ruangan pimpinan.
“Gawat ini Bu Pengacara!” Nina, asistenku tampak sangat kebingungan.
“Ada apa sih Nin?” aku bertanya penasaran. Kutengok Alda yang juga terlihat cemas. Iya, pimpinan firma ini memang ayah Alda. Ketika aku memandangnya, ia menatapku cukup lama, tatapan mata yang tidak biasa sepertinya prihatin. Ia langsung berlari ke arahku, mengajakku masuk ke dalam.
“Ayo masuk! Ayah sedang marah besar,” ujarnya lemah. Aku ikuti saja apa mau Alda. Alda sudah membuka pintu sambil memberitahu ayahnya kalau aku sudah datang. Aku sedikit tegang ketika melihat ekspresi ayah Alda, Prof. Santoso.
“Kamu sudah baca ini? Ini koran hari ini!” kata Prof. Suroso membuang koran di depanku. Aku membaca artikel utama dari koran itu berjudul ‘percobaan bunuh diri istri anggota DPR RI, Didi Supriatna’. Aku benar-benar terkejut, yang paling parahnya nama inisialku disebutkan, firma hukum tempatku berkerja, malah disebutkan secara jelas nama dan tempatnya. Disebutkan bahwa aku menggunakan medical record pasien, yang sudah jelas tidak bisa menjadi barang bukti, karena itu ilegal.
“Apa? Itu kan second opinion? Bukan medical record, Prof saya bisa menjelaskan semua ini.................,” kataku tegas. Aku tidak terima disalahkan begini.
“Kita tidak bisa menghentikan media. Saya tahu Anda pengacara yang kompeten. Tapi untuk meredam pemberitaan, sebaiknya Anda istirahat dulu! Bukankah Anda akan segera menikah? Anggap saja cuti lebih awal,” Kalimat itu terdengar seperti petir di siang bolong.
“Tunggu dulu Prof! pemberitaan ini tinggal kita konfirmasi ulang dengan Pak Didi. Kita bisa membuat press conference untuk mengungkapkan kebenarannya,” ujarku memberi solusi.
“Tampaknya Anda memang tidak membaca koran atau menonton televisi kemarin,” kata Prof Santoso sambil menghela napas. “Ini saya perlihatkan video rekaman hasil wawancara kemarin dengan Pak Didi.
“Iya, saya hanya mengikuti perintah pengacara saya saja. Saya sama sekali tidak berniat merebut anak-anak dari istri saya. Pengacara saya yang menasihati agar saya membawa anak-anak ke tempat yang jauh karena resiko yang terjadi, mungkin anak-anak saya akan diculik, melihat kondisi istri saya yang sakit jiwa,” ungkap Pak Didi dengan wajah penuh kepalsuan. Aku sangat geram. Orang ini.... menipu dan menikamku dari belakang. Teganya orang ini. Ia memfitnahku demi imej politiknya. Sampah!!!!!!!
“Saya mohon Nak Rina, let’s take a break!” kata Prof Santoso berubah menjadi tidak formal. Aku memang akrab dengan Alda sejak masih SMA dulu. Dan semua sikap ini, bukan sifat Prof Santoso yang biasanya ketika berada di kantor. Aku tertunduk lemas, keluar dari ruangan Prof Santoso lunglai. Seseorang harus tahu kapan dia mundur. Alda masih menunggu di depan kantor ayahnya, terkejut melihatku keluar dari ruangan terlihat lesu sekali.
“Gimana Rin?” tanyanya penasaran padaku.
“Bagaimana Bu Pengacara?” Nina bertanya juga penasaran dengan apa yang terjadi di dalam. Kupaksakan tersenyum melihat Alda dan Nina.
“Kayaknya kita bakal libur lumayan lama Nin,” ujarku pelan. Nina menghela napas.
So are you suspended by my Dad?” Alda bertanya setengah berteriak kepadaku. Kubalas saja dengan anggukan.
“Biar aku yang bicara dengan ayah Rin!” Alda ingin menerobos masuk.
“Tidak usah Da, emang semua ini salahku!” kataku melarang Alda. Takutnya ayahnya semakin naik darah dibuat anaknya yang hot temperature ini. Aku tahu Alda dan emosinya, berarti akan memicu pertengkaran hebat dengan ayahnya?
Aku berjalan keluar firma dengan langkah gontai. Pekerjaan adalah segalanya bagiku, sehingga aku bahkan memutuskan untuk tidak berbulan madu, dan akan mengambil cuti tiga hari sebelum hari H. Namun kenyataannya aku harus mengambil liburan lebih panjang dari perkiraanku. Sebenarnya tidak ada jeleknya juga. Aku jadi bisa fokus pada persiapan pernikahan.
Ku keluarkan handphoneku untuk menelepon Mas Hendra, namun tidak dijawab. Aku memutuskan untuk ke kantornya saja, menunggunya sambil memberitahu kesedihanku. Baru aku akan kembali ke rumah sakit untuk merawat ibu.
Sebenarnya bekerja di firma hukum terkenal merupakan mimpiku sejak aku di bangku kuliah. Aku sudah meraihnya. Aku digaji dengan gaji yang tinggi. Semua itu tentu sesuai dengan budget dari klien-klienku yang notabene adalah pembesar dan artis. Hanya saja satu resiko yang tidak pernah diberi di mata kuliah hukum manapun selama aku kuliah, bahwa hidup di firma ini, kamu harus menerima kasus apapun itu yang diberikan, siapapun klien yang akan kamu hadapi. Entah itu bertentangan dengan hati nuranimu atau tidak.  Bukannya aku tidak bersyukur, sesekali pekerjaan ini membuatku dilema. Aku tetap tidak punya pilihan lain, selain melakukan yang terbaik untuk klienku.
Itulah yang menjadi bahan pikiranku, sampai taksi membawaku ke kantor kejaksaan. Aku memutuskan kesana dan menunggu Mas Hendra, lebih tepatnya untuk dihibur. Tidak ada salahnya ini terjadi, setidaknya aku punya waktu luang yang aku sendiri tak tahu harus dihabiskan untuk mengerjakan apa.
Aku menemukan investigator Dandi setengah mengantuk di ujung meja, ketika aku hendak masuk ke ruangan Mas Hendra. Ia segera terbangun melihat aku datang.
“Dandi, Pak Hendra ada di dalam?” tanyaku pada Dandi.
“Oh iya Bu Pengacara, ada..... tapi Bu......,” omongan Dandi terputus, ketika aku berdiri di depan pintu Mas Hendra. Terdengar suara yang sangat jelas di dalam. Suara Mas Hendra.
“Ibu.......,” Dandi hendak mengatakan sesuatu, tapi segera kuletakkan jari telunjukku diatas bibir, sinyal untuk diam. Terdengar suara dari dalam.
“Itu bisa diatur Pak, anak Bapak sudah pasti aman. Datang saja ke kejaksaan besok sebagai formalitas, keluarganya hanya nelayan, beberapa lainnya juga bisa diatur. Hanya saja kalau anak Bapak tidak datang sekarang, opini media terlalu kuat. Tidak baik untuk imej bapak nantinya,” suara Mas Hendra disambung dengan suara tawa dari Mas Hendra dan lawan bicaranya.
“Saya sudah sediakan sedikit hadiah. Ini ada obat tradisional,” terdengar suara lain yang mungkin lawan bicara Mas Hendra. Aku yang masih bingung, langsung masuk ke kantor Mas Hendra.
“Permisi Mas.... aku........,” belum selesai perkataanku, Mas Hendra langsung memotongnya.
“Ini tunangan saya Pak, Arina. Dia kerja di bidang hukum juga, pengacara Pak,” Mas Hendra menjelaskan identitasku. Aku tidak punya pilihan saat itu selain memperkenalkan diri.
“Oh, saya tahu..... dia sedang hangat di media. Kasus Pak Didi Anda yang menangani kan? Jaksa Hendra, kamu memilih orang yang tepat,” katanya terdengar seperti hinaan di telingaku. Mas Hendra mencubit tanganku. Aku pun segera memperkenalkan diri meskipun sedikit kesal.
“Saya Arina. Senang bertemu Bapak!” ujarku sambil menjabat tangan kandidat kuat ketua DPR RI, Bapak Andi Suseno. Pak Andi Suseno hanya mengangguk lalu tersenyum. Baru-baru ini anaknya yang baru pulang kuliah dari Amerika tersandung kasus, ia mabuk dan menabrak lima anak TK dan satu orang guru TK yang sedang yang berjalan di zebra cross. Diantara lima anak TK, hanya satu yang selamat, sedangkan sang guru tewas seketika terinjak mobil karena berusaha melindungi murid-muridnya.
“Kamu tidak mau duduk Sayang?” suara Mas Hendra membuyarkan lamunanku. Mas Hendra yang aku anggap sempurna itu, entah mengapa aku begitu kecewa. Aku bingung, kepalaku sakit.
“Mas.... aku...... kenapa Mas? Aku.....,” aku tak bisa melanjutkan kata-kataku lagi.
“Oh iya, kamu sudah lihat gedungnya? Terus gaun pengantinnya bagaimana?” Mas Hendra lagi-lagi memotong kalimatku.
“Mas, aku rasa ini tidak benar, Mas....... anak orang itu menabrak lima orang anak TK dan satu guru mereka Mas! Ini bukan saatnya kita membahas gedung atau gaun pengantin kita!” kataku geram. Kesal dengan kelakuan Mas Hendra yang berpura-pura tidak melakukan kesalahan apapun. Mas Hendra mendekat, lalu memelukku kuat.
“Kita hanya perlu menutup mata. Saat kita membuka mata semuanya sudah selesai,” ujar Mas Hendra masih memelukku. Aku berontak, menolak pelukan Mas Hendra. Ia kemudian melepasku. Aku mulai mundur, menjauh dari Mas Hendra. Pikiranku benar-benar campur aduk. Aku tidak tahu lagi, kemana perginya Mas Hendra yang aku temui 4 tahun yang lalu.
“Jangan mendekat Mas!” Teriakku mengancam Mas Hendra yang ingin mendekatiku lagi. “Mas, sepertinya pernikahan ini..... mari kita pikirkan dengan lebih matang. Ayo kita berpisah sementara waktu dan saling instropeksi diri!” lanjutku. Pandanganku mungkin terlihat seperti mengancam Mas hendra.
“Apa yang salah dengan itu? bukannya kamu sendiri juga melakukan hal yang sama, mengambil keuntungan dari masalah politisi dan artis? Semua itu demi apa? Demi uang kan?” Mas Hendra terlihat geram. Nada suaranya terdengar tinggi, pertanda ia sangat marah. Saat itu, aku merasa aku sudah benar-benar kehilangan Mas Hendra.
“Aku memang munafik Mas. Kamu juga. Hubungan kita juga adalah kemunafikan kita berdua. Karena itulah ini tidak akan berhasil!” nada suaraku saat itu memang cukup tinggi.
“Tunggu dulu Rin! Aku tidak bermaksud begitu, kamu sudah salah paham. Iya sayang, aku minta maaf! Ini semua salahku,” kata-kata Mas Hendra jelas memohon padaku. Bagaimana pun aku tidak akan luluh. Apa yang dilakukan Mas Hendra, aku benar-benar tidak dapat mengerti.
“Ini bukan salah Mas Hendra, tapi aku. Aku yang bermasalah. Mas.... justru karena itu kita harus memikirkan kembali pernikahan kita. Aku rasa kita terlalu berbeda. Jangan hanya karena masalah ini di hari kita sudah menikah kelak, malah membuat semuanya rusak,” ujarku sambil membuka pintu ruangan Mas Hendra.
“Tapi Rin.......,” Mas Hendra menggengam tanganku. Aku menahan air mataku. Mas Hendra membuatku merasa bersalah. Aku menepis tangannya pelan.
“Maaf Mas......,” suaraku mulai bergetar menahan tangis. Mas Hendra akhirnya melepaskan genggamannya. Aku keluar dari kantor sambil menangis. Kudengar dari luar kantor, Mas Hendra marah dan membuang sesuatu sehingga terdengar bunyi yang sangat keras. Aku tak tahu apa yang akan kulakukan. Pada akhirnya aku memilih untuk angkat kaki dari kantor Mas Hendra tanpa berpaling sedikit pun.
Siang itu aku menelepon Alda sambil menangis hebat. Alda yang mungkin kebingungan dengan teleponku, memutuskan untuk bertemu denganku. Kita berdua pun berjanji bertemu di kafe tempat biasa kami istirahat. Letak kafe tersebut memang tidak jauh dari firma tempat kami bekerja.
Alda datang tergopoh-gopoh, melihatku yang sedang duduk di salah satu meja tempat favorit kami. Ia segera berlari ke arahku.
“Ada apa Rin? Muka kamu sudah tidak karuan begitu,” kata Alda terkejut melihatku dengan mata bengkak khas pasca fase menangis.
“Aku putus sama Mas Hendra Da!” ujarku. Entah kenapa menyebutkan nama Mas Hendra membuat air mataku semakin mengalir deras.
What????????? Kamu putus sama Mas Hendra? Jangan bercanda deh Rin! Kamu udah mau kawin sama dia. Jangan gila Rin! Aku baru mau bilang undangan kamu baru saja selesai dicetak loh!” Alda jelas sangat serius sekaligus terkejut dengan semua ini.
“Aku benar-benar tidak tahu lagi Da, Mas Hendra yang dulu kemana. Kamu harus denger ceritaku dulu!” ujarku lagi masih tersedu-sedu.
“Oke, aku akan mendengarkan!” ujar Alda. “Tapi kamu tenangkan diri kamu dulu baru cerita!” lanjutnya.
“Jadi tadi Da aku.........,” begitulah aku menceritakan seluruh masalahku dengan Mas Hendra kepada Alda. Alda mendengarkan sambil sesekali memberi komentar tentang masalah itu.
“Aku tidak bisa menyalahkan kamu juga,” suara Alda terdengar prihatin dengan keadaanku. “Kalau aku jadi kamu, aku mungkin akan melakukan hal yang sama. Yang harus kamu lakukan sekarang menguatkan hatimu. Apapun yang kamu pilih, aku selalu mendukung kamu Rin!” lanjut Alda memberi semangat.
Pertemuan kami berakhir. Alda harus segera kembali ke kantor karena ada urusan penting. Aku sendiri hendak kembali ke rumah sakit. Sepanjang jalan menuju ke rumah sakit, aku terus berpikir keras mengenai apa yang harus aku lakukan selanjutnya. Aku benar-benar merasa bersalah pada Mas Hendra. Apa yang membuat aku seperti ini. Bukankah aku sama saja dengan Mas Hendra? Berapa penderitaan yang aku timbulkan dari kasus-kasus yang aku tangani? Aku tidak tahu. Aku bahkan tidak lebih baik dari Mas Hendra. Ibu Anita juga merupakan korbanku. Bagaimana dengan anak-anak korban perceraian? Pernahkah aku memikirkan perasaan mereka?
Diantara semua hal, sebenarnya hal ini yang paling aku sesalkan. Apa hakku untuk menghakimi Mas Hendra seperti itu? Masing-masing dari kami terlalu terbawa arus untuk kesuksesan dan uang. Hanya air mata yang terus mengalir membasahi pipiku. Menyesal. Disaat seperti ini aku merasa aku memang perlu istirahat dari hingar-bingar dunia hukum.
Entah kenapa tidak ada angin ataupun hujan, tiba-tiba ide gila muncul di kepalaku. Aku mengeluarkan foto 15 tahun yang lalu yang diberikan ibu. Aku berusaha meyakinkan diriku tentang apa yang ingin kulakukan.
Pukul 15.00 aku telah tiba di rumah sakit P, tepatnya di ruangan 101, tempat ibuku dirawat. Tergopoh-gopoh aku datang, sehingga membangunkan ibu yang sedang tidur. Ibu berusaha untuk duduk, aku pun membantunya. Setelah itu aku segera berlutut dihadapan ibu.
“Ibu maaf, Rina tidak bermaksud mengecewakan Ibu. Tapi Rina harus ke kampung Ibu. Rina benar-benar ingin melihat ayah kandung Rina!” kataku tegas masih berlutut dihadapan ibu. Ibu sedikit terkejut, namun akhirnya tersenyum.
“Bagaimana dengan Hendra? Dan pernikahan kamu?” ibuku tampak bingung dengan permintaanku yang sangat mendadak.
“Tolong Bu, Rina sedang tidak ingin membahas itu lagi, yang penting buat Rina sekarang adalah ayah, tolong hargain keputusan Rina Bu,” ujarku memohon. Ibu tersenyum. Membelaiku dengan penuh kasih sayang.
“Baiklah Nak, kalau itu memang yang kamu inginkan!” suara ibu terdengar pasrah. Beliau menyerahkan seluruh keputusan kepadaku.
______________________________________________________
“Panggilan terakhir untuk penumpang dengan nomor penerbangan 703 pesawat lion air dengan tujuan Makassar, segera menuju ke gerbang tiga, sekarang juga!”
Pengumuman itu membuatku terkejut. Aku lari terburu-buru. Salahku sendiri karena tidak cepat bangun, sehingga aku terjebak macet. Waktunya benar-benar terlalu mepet. Salahku sendiri memilih penerbangan pagi pukul 06.00. Sekarang aku jadi kewalahan sendiri. Setengah berlari aku menuju terowongan panjang. Alhamdulillah aku masih bisa naik ke pesawat tepat waktu. Kulihat kursi hampir penuh. Nomor kursiku sendiri 23 F, berarti letaknya di belakang.
Aku akhirnya dapat menemukan kursiku. Untung saja kursiku diujung, sehingga aku tidak perlu menggeser orang lain. Kulihat ada tiga kursi, ada seorang ibu-ibu yang seusia ibuku diujung dekat jendela. Disebelahnya ada seorang laki-laki usianya mungkin sama dengan Mas Hendra.
“Silahkan duduk Mbak! Pesawat akan take off sebentar lagi!” tegur pramugari yang tak tahu darimana ternyata sudah berdiri dibelakangku. Aku menggangguk. Segera saja aku duduk dan memasang seat belt.
“Adoh, bagaimana ini?” Ibu yang ada disamping lelaki menggunakan logat yang aku tidak bisa mengerti. “Saya mabok Nak kalau di pesawat. Baru sakit telingaku badengar suaranya pesawat ini,” lanjutnya agak sedikit panik. Ia mengorek badan lelaki yang seusia Mas Hendra tadi.
Cowok tadi reflek, ia melepas headphonenya, mungkin sedang mendengar musik. “Ada apa Bu?” tanyanya.
“Mau mabok kayaknya saya ini, bagaimana ini Nak?” tanyanya kepada si cowok. Aku berusaha tidak terlibat, namun aku merasa tidak enak juga.
“Saya ada obat anti mabuk Bu!” akhirnya aku memberi penawaran padanya. Kasihan juga melihatnya. Ibu itu terlihat lega. Pesawat sudah take off, pramugari mulai instruksi penyelamatan diri seperti biasanya. Tiba-tiba ibu itu hendak berdiri, sepertinya ingin ke toilet. Pramugari sudah selesai melakukan instruksi, kembali ke kabin. Ibu itu celingukan, wajahnya sangat pucat, khawatir juga aku dibuatnya.
“Ibu tidak apa-apa?” tanya cowok yang ada disebelahku mendahului keinginanku untuk bertanya pada ibu itu. Tanpa diduga, ibu tadi langsung muntah dan pingsan. Cowok tadi kena muntahan, sehingga terlihat shock. Kulihat obat yang kuberi tadi ternyata belum diminum. Astaga.....
Aku segera berlari ke pramugari untuk memberitahukan keadaan ibu tadi. Pramugari tadi terlihat panik juga. Kutengok ke belakang, ternyata kursiku sudah dipenuhi orang. Beberapa pramugari sibuk menenangkan orang yang mulai berkerumun tak beraturan.
Karena pesawat baru saja take off, maka demi keselamatan si ibu, pesawat berbalik kembali ke bandara Soekarno-Hatta. Beberapa petugas mulai mengangkut si ibu, beberapa mulai membersihkan. Beberapa pramugari juga berulang kali meminta maaf padaku dan cowok yang terkena muntahan ibu tadi.
Cowok tadi sudah pergi, mungkin ganti baju. Aku sendiri masih sibuk duduk sambil mengangkat kakiku karena petugas sibuk membersihkan tempat dudukku. Akhirrnya karena melihatku agak terganggu, seorang pramugari menyuruhku duduk di kabin.
Si cowok sudah kembali dari kamar mandi, sudah berganti baju. Ia berbicara singkat dengan pramugari, Ia datang sambil tersenyum dan akhirnya dia duduk disebelahku. Aku merasa sedikit tidak nyaman untuk mengacuhkan cowok itu. Aku memutuskan untuk memulai percakapan.
“Oh ya....!” tak diduga kami mengeluarkan kata yang sama. Si cowok salah tingkah. Ia sendiri menggaruk kepalanya yang jelas tidak gatal.
“Silahkan duluan!” Ia mempersilahkan aku bicara duluan.
“Anda tidak apa-apa?” tanyaku. Ia tersenyum.
“Saya.....? tenang saja, saya baik-baik saja,” ujarnya santai. “Oh ya kenalkan, saya Albert. Anda?” tanyanya padaku. Ia mengulurkan tangannya.
“Saya Arina,” kataku sambil menyambut uluran tangannya.
“Nama yang bagus,” ujarnya lagi.
“Hari yang berat ya?” ujarku tersenyum padanya. Ia juga tersenyum padaku.
“Tujuan Anda kemana?” tanyanya lagi padaku.
“Saya mau ke Palu, di Poso tepatnya,” jawabku singkat.
“Kalau begitu, tujuan kita sama!” ujarnya lagi. “Apa kampung halaman Anda disana?” tanyanya terdengar penasaran.
BERSAMBUNG.......